Senin, Januari 23, 2012

Surakarta dan Buku Lama Ayah

Oleh: Fariha Ilyas

Buku itu bertanggal 12 November 1992, bersamaan dengan masa saat aku masih belum bisa bernyanyi dengan benar lagu “Aku Seorang Kapiten” di Taman Kanak-kanak. Buku itu adalah buku tentang Raden Ngabehi Ronggowarsito, Pujangga Kraton Surakarta yang terakhir. Buku itu milik Ayah.

Entah kapan aku mulai membacanya, lama sekali rasanya. Yang kuingat adalah bahwa aku tak sekali –dua kali membacanya. Terlalu sering. Tak sedikit yang masih melekat isinya, salah satu kata di dalamnya bahkan masih membuat hatiku gemetar, walau telah empat tahun aku hidup di kota yang sejak lama telah terpatri di pikiranku, ya, Surakarta.

Saat itu tak pernah sedikitpun terbayang bahwa suatu hari aku akan lama menjalani hidup di Surakarta.

Surakarta, terlalu panjang jika harus kutulis apa saja yang terkait dengan kota tua ini. Sejarah terlanjur merentang begitu panjangnya, hampir-hampir aku tak mungkin menggapainya lagi. Imajinasipun rasanya akan kehilangan dayanya untuk menghadirkan kembali berbagai gejolak dan peristiwa masa lalu di kota ini, saking panjangnya sejarah.

Untuk itulah aku tak mau membicarakan sejarah, juga apa yang berkaitan dengan Surakarta yang tertulis di buku lama Ayah. Aku ingin bicara tentang kini, sedikit kemarin, dan sedikit nanti. Hanya sedikit-sedikit saja, agar tak terlalu panjang, agar terasa, dan agar mudah dihadirkan kembali.

Jika Wikipedia menerangkan bahwa:

Surakarta, juga disebut Solo atau Sala, adalah kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah, Indonesia yang berpenduduk 503.421 jiwa (2010)[1] dan kepadatan penduduk 13.636/km2. Kota dengan luas 44 km2 ini berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan.[2]. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Bersama dengan Yogyakarta, Solo merupakan pewaris Kerajaan Mataram yang dipecah pada tahun 1755.

Maka aku menjelaskan bahwa:

Surakarta adalah sebuah persinggungan ruang-waktuku dengan ruang-waktumu. Di Surakarta kita banyak bicara tentang apa yang sering mengusik pikiran kita masing-masing. Di Surakarta kita saling mencintai, dan mencemburui. Di Surakarta kita mencari-cari sesuatu yang kita pikir akan memperbaikai hidup kita kelak. Di Surakarta kita sama-sama berpikir bahwa Surakarta ternyata tak penting, karena apa yang kita alami itu bisa teralami di mana saja. Karena kita tetaplah makhluk yang senang mencintai, mencemburui, dan mencari.

Untuk sahabat, musuh, dan guru-guruku yang tak bisa kusebutkan namanya: Terimakasih karena tak mengingkari persinggungan ruang-waktu kita. Kalian -mau tak mau- adalah bagian yang tak dapat lagi kupisahkan dari hidupku, dan tak mungkin lagi kucerai dari ingatan.

Sial. Akulah orang terhukum. Aku dihukum untuk mengingat banyak hal. Dan mengingat nama-nama ternyata begitu sakit, jika yang kita ingat hanya tinggal nama, tanpa "ada".

Karena itu aku takut sekali pada perpisahan dengan "ada".

Karena ketakutan itu pula saat tengah malam hatiku sering berkata:

Tuhan, akrabkan aku dengan mereka yang sempat merasuk dalam ingatanku. Agar aku tak bingung menentukan di mana aku menempatkan diri di sisiMu kelak. Hanya mereka yang sempat bersinggungan ruang-waktunya denganku yang mampu membuat aku memiliki tempat dalam hidup, karena mereka menyisihkan ruang-waktunya untukku. Aku berharap persinggungan kedua dengan mereka, persinggungan yang tak melibatkan ruang-waktu yang membingungkan.

Tanyaku: Maukah kalian mengakrabiku lagi nanti?

(Dini hari. Surakarta, 11 Desember 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya