Senin, Januari 23, 2012

Bukan Karena Tuhan Cengeng

Oleh: Fariha Ilyas

Tak ada yang sepenuhnya terduga. Hidup selalu memiliki sisi yang tak terjamah perkiraan. Kalaupun kita merasa mampu menduga suatu peristiwa, kita tak pernah dapat memastikan sikap kita jika benar-benar menghadapinya. (Han)

Jika diperbolehkan bagiku untuk membagi beberapa hal yang sempat lewat dalam pemahaman yang selalu berubah ini, maka tak salah kiranya kutuliskan beberapa hal sejauh yang mampu kumengerti dalam perjalanan hidup yang sudah seperempat abad ini. Bisa jadi akan ada banyak overlap di dalamnya, namun begitulah hidup, ia tak melulu terstruktur, ia sangat lentur dan dipengaruhi oleh banyak hal yang begitu rumitnya.

Usia seperempat abad sebenarnya bukanlah apa-apa. Bolehlah bidang Psikologi memiliki teori-teori perkembangan yang berupa-rupa. Namun hidup tetaplah terlampau personal untuk direduksi dalam simpulan-simpulan umum, hampir dijadikan sama rata.

Hingga saat ini aku tak tahu pasti berapa usia mentalku, kedewasaanku. Fisikku boleh -dan memang jelas- bertambah tua, rapuh. Namun bisa jadi mentalku justru semakin kekanak-kanakan saja. Dari sini aku memetik sebuah pelajaran yang sudah sangat umum: Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu sebuah pilihan.

Ya, dari titik ini ingin kuungkapkan beberapa hal yang mampu kutulis malam ini.

1. Merancang Hidup

Dalam film The Mechanic, ada adegan tokoh utama film tersebut, Arthur, bertemu mentornya McKenna. Saat itu McKenna mengeluarkan sepucuk pistol yang berukir tulisan “Victory Loves Preparation” yang secara bebas dapat diartikan: “Kemenangan adalah milik mereka yang siap”. Ya, betapa banyak hal kesempatan-kesempatan yang kulewatkan karena ketidak-siapanku. Ketidak-siapan itu bersumber dari sikap yang mengabaikan kesempatan untuk belajar. Sekarang aku percaya bahwa seluruh peristiwa yang kualami adalah sebuah rangkaian yang mesti dijalani apa adanya. Lari hanya akan mengakibatkan kebingungan saat rangkaian peristiwa-yang sudah satu paket-datang menjelang.

Kesiapan, ternyata mudah sekali didapat, yaitu dengan tidak memandang hidup dengan sepotong-sepotong. Potongan-potongan nampak karena keterbatasan aku menjangkau bentang waktu yang panjang. Potongan-potongan kecil itu mestinya diterima dengan wajar, bukan dengan rasa puas atau tak puas. Karena hidup masih akan datang dengan potongan-potongan yang lain. Aku mestinya curiga dengan perasaanku sendiri yang sering tak terkendali. Jangan-jangan itu karena kita memandang hidup ini telampau kecil.

2. Iman, Cinta dan Cita-cita

“kesadaran adalah matahari,

kesabaran adalah bumi,

keberanian menjadi cakrawala,

dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata” (W.S. Rendra)

Iman, Cinta dan Cita-cita bukanlah sebuah barang jadi. Ia sering muncul sebagai sebuah ikrar atau pernyataan. Namun semua hal itu tak berhenti dan selesai setelah dicanangkan. “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah”. Ikrar selesai kemudian aku bergulat untuk hidup dalam bingkai Iman yang kita ikrarkan itu. “Aku mencintaimu”. Ikrar selesai kemudian aku jatuh bangun mempertahankan ucapanku itu. “Aku ingin menjadi kritikus seni”. Ikrar selesai kemudian aku melihat dan mengalami sendiri bahwa hidup membawa bermacam-macam kemungkinan lain yang tanpa ku sadari membelokkanku menjadi “sesuatu” yang lain, yang tidak sesuai dengan apa yang ku inginkan semula. Beberapa orang, bahkan banyak, mengatakan bahwa hidup yang nyata sering menjanjikan sesuatu yang lebih baik daripada idea-idea. Kurasa itu tak selamanya benar. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Apakah kita melihat konsistensi seseorang dalam memegang ikrarnya? Atau kita melihat seseorang dengan keadaannya sekarang?

Ada yang berikrar menjadi seniman, dan ia selalu konsisten menghidupi cita-cita itu walau hidup tak pernah membuatnya menjadi seorang seniman tulen. Hanya menjadi setengah seniman. Kemudian ia mati. Ia bisa dikatakan gagal, namun ia konsisten menjaga cita-citanya. Ada orang yang bercita-cita menjadi arsitek, namun hidup dengan segala kemungkinannya yang membingungkan membuatnya menjadi seorang pengusaha yang berhasil. Ia memang sukses menjadi pengusaha, namun ia gagal menjaga cita-cita awalnya.

Semua itu sebenarnya terlalu rumit untuk dihakimi, karena disadari maupun tidak kita tak seteguh itu dalam berikrar. Ruang waktu membawa banyak sekali peluang dan kemungkinan untuk merubah Cita-cita. Entah kapan dan apa motivasi itu hanya kita sendiri yang benar-benar mengerti. Tapi tiap kali kita merubah ikrar kita, kita tentu kembali dituntut untuk konsisten memegang dan menjalaninya. Itulah konsekuensi pilihan. Seseorang menjadi A, B, atau C, melulu hanya karena konsistensinya. Apapun dia.

Demikian juga yang terjadi pada Iman dan Cintaku. Iman dan Cintaku sebenarnya adalah proses memperjuangkan ikrar yang ku ucapkan. Iman dan Cinta sesungguhnya tak pernah terduga rasa dan perwujudnya. Tak seperti yang terkatakan dan terhubung dalam konsep-konsep yang konvensional. Iman dan Cinta adalah kebenaran, dan konvensi selalu meletakkan kita pada kebekuan. Iman, Cinta, terlampau agung untuk berhenti dalam definisi-definisi. Kubiarkan saja ia berangkat dari kekosongan, ketidak-mengertian. Seiring waktu Iman dan Cinta akan mengkristal sesuai pengalamanku. Itulah berkah perbedaan, di titik ini aku menyadari bahwa Tuhan mengajari kita semua dengan cara yang berbeda-beda.

3. Permainan, Manipulasi Kesadaran, dan Hilangnya Kebahagiaan

Jika melihat dinamika hidup dan cara hidup yang selalu berkembang dari masa-kemasa, patutlah kalau aku mengangguk setuju pada rumusan Homo Ludens-nya Johan Huizinga, bahwa pola-pola permainan selalu muncul pada awal-awal terbentuknya budaya. Ya, hidup ini layaknya sebuah permainan di mana kita adalah pemain sekaligus pembuat aturan permainan yang akan kita mainkan. Yang tak mengikuti aturan, yang curang, akan mendapat sanksi.

Betapa sialnya kita yang hidup dan tak kuasa membuat peraturan untuk hidup kita sendiri. Karena manusia terbatas, maka apa mampu ia pikir dan perbuat adalah sebatas yang pernah ia alami dan ketahui (sebagai referensi). Dari referensi itulah manusia membuat prediksi. Sialnya lagi, kita tak pernah ditanya apa yang benar-benar kita inginkan, apa yang membuat kita bahagia.

Hari ini kita saksikan betapa banyak bayi lahir yang tak lagi memiliki dirinya sendiri. Ia adalah pemain baru dalam hidup yang sangat sial nasibnya. Karena ia disambut oleh aturan permainan (the rule of the game), yang dirancang oleh generasi yang lebih dulu lahir dan “bermain”.

“Hey! Jangan berlari-lari! Berbahaya!”, kata seorang Ibu. Ia tak merasakan betapa si anak sangat berbahagia karena ia bisa berlari-lari. Hari ini anak-anak dipaksa menjalani pendidikan yang “memaksa”. Para generasi tua berdalih bahwa “masa depan” begitu kompleksnya, karena itu generasi muda harus dipersiapkan untuk menghadapinya. Percayalah, bahwa di zaman apapun manusia lahir, dunia tetaplah sederhana saat manusia itu masih balita. Kesadaran adalah landasan manusia memahami dunianya. Kesadaran ini juga bertingkat-tingkat, dan tidak menutup kemungkinan terjadinya overlap. Kesadaran dibentuk oleh kebudayaan dan karena itulah sebenarnya kesadaran bisa dimanipulasi.

Jadi sebenarnya apa yang terjadi saat ini adalah upaya manipulasi kesadaran. Tak bisa sepenuhnya disalahkan memang, karena manusia selalu ingin menjadikan kehidupan “lebih baik”. Lebih baik untuk siapa? Dengan terlalu menentang apa yang alami, yang sewajarnya, tanpa sadar kita sering mengorbankan kebahagiaan seseorang yang mungkin tergapai pada masa-masa khusus, hanya karena rasa cemas generasi selanjutnya akan tertinggal. Generasi tua sering menganggap remeh keunikan hidup yang akan dijalani setiap orang nantinya. Jangan-jangan hari ini kita bukanlah kita yang sebenarnya karena pikiran kita adalah hasil rekayasa generasi tua “pembuat aturan main” itu. Kita patut bertanya dan berpikir kritis, dan kekritisan hanya akan muncul dengan cara mengawinkan kehidupan yang kita jalani sehari-hari dengan refleksi. Namun akhirnya sikap kritis itu hanya berujung pada pertanyaan yang mencemaskanku: Siapa aku sebenarnya?

4. Hidup dalam Pergulatan Sesungguhnya

Segala yang dapat diketahui dan dipahami adalah proses. Dalam proses ada sebuah keadaan di mana-mau tak mau- kita dipaksa membuat hipotesis. Tanpa hipotesis kita akan selalu terapung-apung dalam hidup yang tak menentu. Sedang hidup selalu butuh pegangan sesuai keadaan yang kita alami pada suatu waktu tertentu, sedang simpulan ternyata tak kunjung tergapai karena ia terikat ruang-waktu yang tak pernah tetap. Kesadaran yang lebih tinggi diperlukan untuk mewaspadai timbulnya perasaan “merasa benar”. Karena kebenaran-kebenaran yang lain masih menanti untuk kita jumpai dalam perjalan hidup yang panjang dan tentu tak terduga ini.

Ada saatnya kita gagal dalam menggapai tujuan-tujuan kita, lalu kita kecewa, tak mengapa jika kita hidup sendirian. Namun kita ternyata tak bisa hidup semau kita sendiri, karena pada kenyataannya kita selalu membutuhkan orang lain untuk mencapai hal-hal yang kita inginkan, lebih dari itu, ternyata hidup kita tak sepenuhnya milik kita walau diawal tulisan kukatakan bahwa kita berhak membuat aturan hidup kita sendiri (karena ini adalah hidup kita sendiri). Akan ada yang ikut merasakan akibat dari keputusan dan tindakan kita.

Cita-cita terkait dengan keluarga, Cinta (platonik) terkait dengan kekasih, dan Iman melibatkan Tuhan.

Jika kita gagal menggapai cita-cita, kita akan kecewa, dan bisa jadi keluarga kita turut serta di dalamnya. Jika kita gagal membuktikan cinta, kita akan bersedih, dan bisa jadi kekasih kita akan kecewa, marah, dan menangis. Jika kita gagal merawat Iman kita, kita akan kehilangan sandaran hidup, dan bisa jadi Tuhan akan murka.

Saat ini adalah saat bagiku untuk (kembali) merenungkan lagi apa yang telah kucapai dan telah gagal kugapai dalam hidup, apa yang telah kuperbuat kepada diriku dan orang lain. Setahuku, aku sering membuat semuanya menangis: Keluarga, kekasih, dan Tuhan.

Keluargaku dan kekasihku menangis karena kecewa padaku. Aku tahu tuhan menangis, tapi aku tak tahu karena apa Tuhan menangis, tentu bukan karena Tuhan cengeng.

Entah, aku heran kenapa aku menulis macam-macam. Padahal aku tak memiliki Cita-cita, Cinta, dan Tuhan.

Aku tak memiliki apa-apa.

(Terimakasih untuk sahabat-sahabatku, kepada kalian jualah bangsat ini berguru. Surakarta, 3 Desember 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya