Oleh: Fariha Ilyas
Aku Seorang Pecundang
Petang ini Han, Sekar, Laras, dan Kembara tiba-tiba mendatangiku. Mereka mengerumuniku seperti aku adalah bagian dari pertunjukan topeng monyet, dan jelas, aku lah monyetnya. Ini tak biasa, pikirku.
Tak mengapa, memang setelah kupikir-pikir hidupku serupa dengan pertunjukan topeng monyet yang sekarang mulai terpinggirkan. Hidupku pun tak pernah mendapat tempat di zaman yang penuh dengan warna ini. Hidupku tak beda dengan drama-drama lama yang buram. Menonton hidupku adalah seperti menonton sebuah pertunjukan drama lama, dengan pemain lama, cerita lama, teknikalitas lama, dan interpretasi yang tak kalah usangnya. Betapa membosankan. Barangkali tak salah jika seorang kawan pernah berkata kepadaku: “di masa sekarang, kamu hanya akan menjadi pecundang!”
Seperti itulah keadaanku petang ini. Han, Sekar, Laras, dan Kembara sepertinya ingin mengatakan hal serupa, yang tak lain hanya penegasan dari apa yang pernah dikatakan seorang kawan tadi: “Kau memang pecundang!”, kata mereka serentak, tak lewat kata, namun lewat tatapan mata mereka.
Ya, aku memang kalah segalanya dibanding mereka.
Han, adalah seorang pemuda yang sepertinya telah menemukan sebatang pohon kebijaksanaan dan melahap habis seluruh buahnya, hingga aku merasa menjadi seseorang yang sangat bodoh dan naif di hadapannya.
Sekar, ia adalah seseorang yang sangat mengerti apa yang benar-benar dia inginkan, ia tak pernah ragu-ragu dengan apa yang ia kerjakan, ia memahami konsekuensi segla tindakan. Di hadapannya aku menjadi seorang pengecut.
Laras dan Kembara adalah pemimpi, seseorang yang penuh rasa optimis menjalani hidup. Mereka masih mampu melihat berbagai warna kehidupan melalui kedua mata mereka yang berbinar penuh ketajaman dan tersambung kepada hati mereka yang kaya. Di hadapan mereka aku hanyalah makhluk yang nyaris habis, skeptikus yang terkurung dalam nihilisme yang kuundang sendiri namun tak mampu kulepaskan. Aku habis bersamaan dengan anggapanku bahwa dunia memang sudah habis.
Mereka berempat menatapku, sedari tadi aku masih menjadi monyet yang diam. Pelan-pelan batinku mulai tersinggung lagi dan aku mulai menari.
Aku berjoget dengan diiringin musik paling bising di dunia: kesunyian.
Aku terus menari, melompat, berjingkrak, dan berputar-putar diantara Han, Sekar, Laras, dan Kembara. Aku tak mau berpikir lagi tentang diri, tentang aku yang pecundang, atau tentang mereka yang mengatakan bahwa aku pecundang.
Aku masih menari.
Seiring warna senja yang mulai lenyap dan terganti gelap, empat sosok itu mulai hilang. Aku lega, karena tarianku telah mengusir hantu-hantu yang selama ini selalu saja mengusik hidupku.
Aku tersenyum.
Namun di ujung senyum itu ada kekhawatiran yang tak mampu kusembunyikan.
Malam nanti, biasanya hantu-hantu itu akan kembali.
(Petang hari. Surakarta, 9 Desember 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya