Senin, Januari 23, 2012

Setelah Nyanyian John

Oleh: Fariha Ilyas

Petikan gitarku rasanya tak berarti, puluhan ribu penonton yang memadati stadion tempat konser berlangsung telah terbius oleh performance John. Tak mengherankan sebenarnya, karena John selalu menyanyikan lagu-lagu yang ditulisnya sendiri itu dengan sepenuh hati. Talenta dan kesepenuh-hatiannya dalam menyanyi tak pelak menjadi paduan yang sempurna untuk menjadi sesuatu yang kerap disebut dengan kata “Seni”. Ya, John adalah bagian dari terjadinya peristiwa seni itu, yang selalu mampu berulang sempurna dari panggung ke panggung.

Malam itu aku masih ingat sekali saat lagu terakhir yang kami bawakan mampu membuat John menganggur di atas panggung. Hampir seluruh lirik dinyanyikan oleh penonton. Rasanya seperti mimpi saja, heran karena tak semua orang yang mencipta seni mendapat kesempatan melihat respon orang lain yang begitu merasuk ke dalam karya yang diciptakan. Lagu terakhir itu-yang akhirnya hanya sebait saja dinyanyikan oleh John-adalah lagu ciptaanku bersama John. Lagu terakhir yang menjadi penutup rangkaian konser panjang yang kami lalui hampir setahun lamanya. Ya, malam itu lagu pamungkas di konser terakhir kami terasa sempurna.

Setelah konser usai kami berpelukan di belakang panggung dan menangis. Perjalanan yang melelahkan usai sudah. Setelah konferensi pers yang berlangsung singkat, aku dan John bergegas menuju hotel, kami ingin segera beristirahat karena lelah yang tak tertahankan. Di sepanjang perjalanan terasa ada yang janggal dengan John, sikapnya tak wajar. Ia diam saja sembari sesekali tersenyum. Kami hanya berbincang sepatah-dua patah kata saja soal jadwal kepulangan kami besok.

Setibanya di hotel aku langsung masuk ke dalam kamarku dan tidur lelap sekali. Entah pukul berapa waktu itu saat suara pintu yang digedor membangunkanku. Dengan malas aku berjalan ke arah pintu dan membukannya, di hadapanku berdiri seorang staf hotel yang mengatakan sesuatu yang takkan pernah kulupakan sepanjang hidup. “Tuan, Mr. John melompat dari jendela kamar hotel, ia tewas”.

Gelap.

Di dalam dunia yang tak jelas, antara sadar dan tak sadar, di telingaku berseliweran suara-suara percakapanku dan John, entah berapa tahun lalu percakapan itu berlangsung, rasanya sudah lama sekali, namun disaat yang sama terasa masih begitu segar.

“Max, satu hal yang selalu mampu membuatku tak pernah merasa lelah untuk berpikir dan mencipta lagu: saat banyak orang tersenyum atau menitikkan air mata saat mulut mereka menyanyikan lagu-lagu yang aku bawakan di atas panggung”, kata John.

“Oh ya??”, Jawabku sekenanya.

“Ya, karena saat itulah orang bukan saja mengucapkan kata-kata, namun ia sedang mengunyah makna”, jawab John sok filosofis.

Ia melanjutkan:

“Max, kau adalah orang yang selalu dekat denganku disaat berbagai hal menimpaku, di puncak kesuksesanku ataupun di saat-saat terberatku, kau mengerti kadar kecintaanku pada musik, kau memahami untuk apa semua lagu ini kutulis, tak lebih, dan sekali lagi tak lebih hanya untuk membuat orang-orang memiliki sebuah dunia sederhana mampu menghadirkan diri mereka sendiri sepenuhnya”

Ia kemudian berujar panjang:

“Dulu, saat aku remaja aku mempunyai seorang teman yang gagap, betapa sulitnya ia mengucapkan kata-kata, betapa merepotkan baginya untuk berujar, walau apa yang ia maksud sebenarnya sederhana. Lambat-laut kusadari bahwa banyak orang yang demikian itu, yang kesulitan untuk sekedar menjembatani maksud dengan orang lain. Bahkan akhirnya aku bekesimpulan bahwa tak hanya orang gagap saja yang sulit berucap kata dan menjembatani makna. Orang yang normal kadang juga kesulitan mengungkapkan banyak hal yang sedang berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Untuk itulah aku dan kau selalu bekerja, berfikir, menyelami sesuatu yang paling mendasar yang ada dalam setiap jiwa kita. Aku sering berkata padamu bahwa kita mencipta lagu bukan hanya untuk keindahan itu sendiri, melainkan kita ingin banyak orang merasakan perasaannya masing-masing, yang selama ini mengeram dalam dirinya”.

Aku terbangun, keping demi keping kesadaranku terkumpul. “John....” gumamku lirih, rasanya seperti mimpi-dan aku harap memang demikian. Namun ternyata tidak. Beberapa orang berkerumun di sekitarku, memandangiku dengan tatapan cemas. Dalam kekaburan pandangku seseorang diantara mereka mendekat dan berkata dengan sangat jelas: “Tuan, pemakaman tuan John akan dilangsungkan besok”.

(2 Agustus-23 November 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya