Oleh: Fariha Ilyas
Tuhan, malam ini aku ingin menulis sepucuk surat kepadamu. Aku yakin bahwa engkau maha mengetahui apa yang ada dalam benak setiap hambamu. Namun aku merasa perlu menuliskan surat ini untuk diriku sendiri, supaya kelak aku punya bukti bahwa aku pernah menyampaikan sesuatu padamu. Selama ini banyak yang mengira aku tak pernah punya hubungan baik denganmu. Sebagai saksinya ada banyak hamba-hambamu yang lain yang membaca surat ini. Walau sebenarnya aku tahu bahwa engkau cukup menjadi saksi segala peristiwa di alam raya ini. Tapi keyakinanku terbatas, dan aku perlu bukti otentik kelak jika ada lagi yang meragukanku. Ini hampir seperti syarat administrasi di universitas yang selalu butuh bukti kuitansi.
Baiklah, Tuhan. Awal surat yang berbelit-belit rupanya.
Walau yang aku tulis ini sebenarnya sudah engkau ketahui apa maksudnya dan bagaimana akhirnya.
Ya, kita mulai saja, Tuhan. Tapi maaf ya, aku pakai bahasa yang biasa aja. Tuhan nggak marah kan?
Aku pengen nanya sama kamu, Tuhan. Sekarang ini bagaimana keadaan ibuku? Apakah kamu merawatnya dengan baik? Apakah ibuku bahagia sekarang? Apakah ibuku menjadi tiada? Apakah ia kau siksa? Apakah ia sedang menunggu? Apakah ia sendiri? Apakah ia tersenyum? Apakah ia menangis?
Bagaimana pula kabar kekasihmu: Muhammad, Musa, Ibrahim, Sokrates, Gandhi, Romo Mangun, yang lain-lain juga: Mbah Kaji, Mbah Ram, Mbah Mus? Apakah ia bersama ibuku? Apakah ia berada di tempat yang berbeda?
Jangan tersinggung, Tuhan. Aku hanya ingin mengingatkan, walau aku juga tahu bahwa kamu maha mengingat, tapi rasanya aku tetap perlu mengingatkanmu, Tuhan. Setidaknya aku sudah berusaha mengutarakan inginku, seperti hamba-hambamu yang lain, yang selalu berdo’a kepadamu walau kamu sudah tahu apa yang akan mereka minta.
Aku pengen bilang bahwa ibuku dan ibu-ibu yang lain yang pernah benar-benar menjalankan perannya sebagai ibu haruslah mendapat tempat yang layak di sisimu, kakekku juga, guru-guruku juga, teman-temanku juga. Mereka kau ciptakan dengan mengambil bagian dari dirimu, kamu tentu mencintai mereka seperti cintamu kepada sederet kekasihmu yang tak kuketahui dengan pasti seberapa banyaknya.
Aku ini manusia, Tuhan. Kamu pasti sudah mengerti, bahwa manusia sering gelisah memikirkan nasibnya kelak setelah episode pertama ini lewat. Ya barangkali aku yang lebih pantas gelisah tentang nasibku di episode mendatang, kamu tahu sendiri lah aku ini seperti apa. Mungkin aku lupa membaca dan memahami ulang surat-suratmu yang kau kirimkan berabad-abad lalu.
Aku sering merasa kamu murka padaku soal itu, kamu murka kepadaku dengan tetap membentangkan panorama pagi, memancarkan matahari, memekarkan kuncup-kuncup bunga yang indah sekali kusaksikan. Kamu marah padaku dengan tanpa sedikitpun mengurangi kasih sayangmu yang tak pernah berhenti melingkupi hidupku.
Saat kamu kirimkan lahar, badai, gempa, dan berbagai bencana, aku tahu kamu tidak sedang murka. Kamu sedang mengajari kami untuk belajar mencintai dan menyelesaikan masalah-masalah hidup kami sendiri. Sedang kamu diam-diam menyusup di hati kami dan menggerakkan tangan-tangan kami untuk peduli. Sedang mereka yang mati telah kau amankan dalam kantung kasihmu yang tak terjangkau bagi kami yang hidup. Semuanya hanyalah cinta saja, selama ini aku belum bisa sepenuhnya menerima segala wujud cintamu.
Terimakasih telah membaca suratku, Tuhan. Segala kekurangan cara pandangku ini tentu karena aku hanya mampu memandangmu dari dimensiku. Sampai bertemu di episode kedua yang akan berlangsung dalam dimensimu.
Terimakasih atas segala pertolonganmu, karena walau tanpa perangko atau bantuan malaikatmu, surat-surat dari hambamu yang frustasi sepertiku langsung kau ambil sendiri dariku. Bahkan sebelum sempat kutuliskan tadi.
(Dini hari. Surakarta, 18 November 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya