Oleh: Fariha Ilyas
Agak mustahil jika aku ingin bertanya kepada Edgar Degas kenapa ia gemar sekali melukis penari Balet (Ballerina). Bisa jadi karena ia tak bisa melihat penari Kecak, Serimpi, atau Gambyong. Ah, tak penting. Inti dari tarian adalah gerak. Degas tentu tertarik kepada gerak. Tak hanya tertarik, ia mampu melukiskan gerakan dengan sangat baik, yang akhirnya menjadi ciri paling menonjol dari karya-karya seniman Perancis tersebut.
Malam ini aku melihat secuil gerakan balet. Entah secuil atau setengah cuil, aku tak tahu. Ia adalah tumpuan keseimbangan tarian itu. Ia adalah kekuatan penting dalam tarian itu. Aku melihatnya di ujung jari mungil yang terbungkus sepatu. Bukan mengada-ada karena tiba-tiba saja ujung jari itu memang membuatku teringat akan tari Balet. Ia adalah tarian yang membutuhkan keseimbangan tinggi, kekuatan, dan kelenturan. Kadangkala tari Balet nampak seperti ombak bagiku, surut, menghimpun tenaga, datang lagi dengan kekuatan dan hentakannya yang anggun. Ya, seperti ombak. Dan ombak adalah gerak.
Kita tak asing dengan gerak.
Jika sejak kanak-kanak kita telah terbiasa dengan gerak, itu wajar. Kita saat kanak-kanak adalah manusia yang penuh gerak bebas, kita bisa saja berjoget sembarangan saat mendengar irama musik. Namun saat dewasa kita menjadi sering merasa gamang bergerak karena kita pikir itu tak penting, kekanak-kanakan. Gerak kita tak bebas lagi, ia menjadi terstruktur, kaku, dan tak alami lagi. Itu kalau kita bukan seorang penari.
Hanya penarilah yang tahu apa yang ia rasakan saat ia menari. Barangkali ia menemukan bahwa “Aku” adalah sesuatu yang selalu yang melekat dalam gerak. Tak pernah dapat dipisah-pisah. Aku ingin bertemu seorang penari untuk memastikan tanyaku. Barangkali Degas malu bertanya kepada penari, sehingga ia hanya terus melukis sang penari Balet. Degas barangkali juga ingin tahu, seperti aku malam ini.
Gerak, gerak, gerak. Gerak adalah aku, aku adalah hidup, dan hidup tak pernah teralami tanpa gerak. Untuk itulah selayaknya kita terus menari. Menari dalam menghadapi segala kenyataan yang lewat, menghantam, menguji kita tanpa pernah ada habisnya. Kita mestinya hidup dengan menari.
Malam ini aku sepakat dengan apa yang ditirukan Goenawan Mohamad dari kata-kata Nietzsche: ”Aku hanya percaya kepada hidup yang menari—yang menemukan, menemukan, menemukan….”
(Malam. Surakarta, 10 Desember 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya