Senin, Januari 23, 2012

Cinta adalah Anak Yatim Piatu

Oleh: Fariha Ilyas

I

Cinta, aku adalah orang yang lama mengenalmu, aku selalu ingat itu. Aku selalu ingat saat kau datang menepuk bahuku dengan sebuah perasaan tak biasa. Sejak saat itu kita tak terpisahkan lagi, kau selalu mengikutiku ke manapun aku melangkah, kau menungguiku saat aku mencipta puisi, saat aku resah, saat aku marah.

Sesekali kau goda aku dengan rindu yang sakit. Sesekali kau suntik aku dengan harapan yang membuatku mampu melampaui diriku sendiri. Cinta, masa-masa itu adalah masa-masa yang sangat memengaruhiku dalam menjalani hidup.

Sampai pada suatu ketika kau juga menyapa seseorang yang telah lama kukenal. Kita bertiga akhirnya menjadi makhluk yang akrab. Tak semenitpun kita bercerai-berai, mungkin hanya saat kami berdua tidur kau terjaga sendiri, selebihnya hanya ada kata bersama. Cinta, saat itu kulihat kau makin manja dan gendut saja. Lucu sekali rupamu. Kau hidup diantara kami berdua yang tak pernah kehabisan persediaan asupan gizi untukmu.

II

Cinta, entah kapan keberadaanmu mulai terusik. Tapi aku memahami keadaan yang tidak mengenakkanmu untuk tetap bermain, melompat, berlarian di dalam hati kami berdua. Kau pasti merasa tak nyaman di sana. Kami tak henti menyakinkanmu tiap malam menjelang tidur. Kami selalu membisikkan kata:

“Cinta, jangan pernah risau, kami takkan membiarkanmu pergi. Hati kami berdua adalah taman bermain untukmu. Tetaplah di sini, kami akan selalu merasa berdosa sepanjang hidup kami jika kami menerlantarkanmu. Kau adalah anak Tuhan, karena itulah kau merupakan yatim piatu sesungguhnya di alam ini. Tuhan tak pernah mengaku kalau ia melahirkanmu, ia tak beranak, katanya. Kami berdua tak menyalahkan Tuhan karena kami mengerti bahwa Tuhan melahirkanmu untuk kami, sebagai anak kami. Kau adalah anak rohani yang memang seharusnya diasuh oleh seluruh umat manusia dari zaman ke zaman.”

Akhirnya kau pun menjadi tenang.

Namun dunia luas tak selalu sama dengan taman bermainmu yang mengasyikkan di hati kami berdua. Kau tetap sering mendapatkan kabar pengusiranmu.

Cinta, aku tak dapat mengingat lagi berapa kali kami berdua menangis karena kau tak pernah mendapat tempat di hati orang lain. Aku tahu bahwa kau ingin hidup di banyak hati, tak hanya hati kami berdua. Aku yakin kau masih ingat pada suatu hari yang begitu rawannya, suatu hari saat orang-orang itu ingin mengusirmu dari hati kami. Mereka berbuat seperti itu karena mereka tak mengenalmu, cinta. Mereka alergi karena di mata mereka kau bukanlah cinta. Cinta yang mereka kenal hanyalah cinta yang menyapa mereka saja.

III

Cinta, kini aku melihatmu meringkuk dalam selimut sendumu yang tak seorang pun tahu. Cinta, dalam remang duniamu aku ikut menangis atas ketakpedulian orang yang melukai kelembutanmu. Aku kebingungan, mereka mengaku mengasuh cinta, namun mereka bertindak culas terhadapmu. Cinta, aku ingin bertanya: Kenapa mereka menolakmu? Apakah mereka tak mengenalmu? Apakah dulu kau menyapa mereka dalam wujudmu yang lain?

IV

Cinta masih meringkuk, lemah, sakit, luka, remuk. Keindahannya pudar karena kebencian yang memanggil balatentara dengan jumlah tak terhitung yang bernama dendam dan antipati. Aku tak tahu apa yang dirasakan cinta, ia menjadi seonggok makhluk yang tak bergairah, hancur dan kalah.

V

Malam biasa, sebuah keluarga berkumpul melingkari meja makan yang besar. Mereka tertawa, saling memandang satu sama lain dengan tatapan penuh cinta. Merekalah pengusirmu, cinta. Kau tahu.

(Petang hari. Surakarta, 8 Desember 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya