Senin, Januari 23, 2012

Malam Rembulan Purba

Oleh: Fariha Ilyas

Sekarku sayang, banyak yang berubah di dunia ini, kamu pasti ngerti hal itu. Pohon-pohan banyak yang ditumbangkan, diganti dengan rumah, atau rumah-rumah dibongkar diganti dengan gedung, atau yang semula sawah menjadi gudang, atau SPBU tentu saja.

Kamu pasti pernah merasakan apa yang kurasakan saat tiba-tiba ada rasa kangen dengan sebuah bangunan, atau pohon, atau gedung sekolah, atau seseorang barangkali. Lalu kita mencari. Tapi ternyata yang kita dapatkan bukan lagi seperti yang sempat kita tinggali, lihat, kenali, temui. Pohon, gedung, tak selamanya berdiri --seperti yang kukatakan tadi, orang juga akhirnya mati.

Seperti yang telah kamu tahu, sejak dulu kita gemar menatap bulan, aku menyebutnya “Rembulan Purba”. Ia adalah saksi dari banyak kisah cinta yang diikrarkan di bawah terang cahayanya, manusia sepertinya memang tak pernah merasa capek berurusan dengan romansa. Ia juga saksi dari banyak perang, ya, perang dan pembunuhan. Dan tahukah kau bahwa pembunuhan tak selalu terkait dengan pencabutan nyawa, pembunuhan juga bisa menjadi nama lain dari pelenyapan angan dan cita-cita.

Hingga sekarangpun rembulan purba itu masih setia menjadi saksi dari banyak peristiwa, seperti bumi yang juga demikian halnya.

Malam ini, atas segala kesadaran itu aku tak mau untuk tidak memanfaatkan kesetiaan rembulan purba yang kali ini cantik sekali, walau tak secantik kamu. Aku ingin sekali ia melumuriku dengan cahaya yang ia peroleh dari matahari. Untuk itulah kucari tempat paling gelap di kota ini, dan tak temukan rupanya. Lalu aku pergi ke sawah, sebuah keputusan yang niscaya mengantarkanku pada hasil yang kuingini, tentu saja.

Sampai di sawah aku tak terlalu bisa memikirkan maksudku semula karena aku bertemu kepiting. Kasihan dia, ia tak bisa membuat lampu, ia hanya berumah di lubang-lubang pematang yang gelap. Aku tak tahu apakah ia bahagia atau tidak. Aku tak habis pikir kenapa orang tak menaruh banyak lampu di sawah? Agar hewan-hewan penghuni sawah juga ikut merasakan kemajuan yang katanya hasil olah pikir manusia untuk kehidupan yang lebih baik. Lebih baik untuk siapa, kau tahu? Untuk manusia saja. Mungkin di alam nirsadar manusia ada kalimat: “ya biarlah binatang berpikir sendiri untuk kemajuan hidupnya”. Aku tak tahu, aku tak tahu. Pikiran manusia toh tak mampu memahami “kesadaran” hewan.

Ingatanku kembali, terang sekali, seterang matahari siang tadi.

Sekar manisku, tahukah kamu bahwa takkan ada yang melarang kita jika malam ini kita sama-sama bercerita, ngobrol, atau bercengkerama dengan diri kita sendiri—di bawah rembulan purba—agar apa yang menjadi beban di kepala kita ini tak menggumpal saja, lalu membuat pikiran kita cedera. Berbicara sendiri di bawah rembulan bukanlah perbuatan gila, itu wajar saja karena ia adalah saksi purba, profesi yang (barangkali) disandangnya dengan terpaksa. Tapi siapa peduli? Rembulan purba akan tetap menjadi saksi malam ini.

Aku mulai berguman sendiri, pada akhirnya.

Sekarku sayang, dengan apalagi kita harus mempersatukan perasaan yang sama-sama sering memberontak ini?

Wahai rembulan purba! Wahai saksi dari banyak ikrar cinta! Maukah kau berkisah tentang ikrar cinta yang paling menggetarkanmu?

Sekarku yang sering menangisi cinta, dengan apalagi aku harus mencarimu yang selalu sembunyi, dalam keseluruhan duniamu yang menolakku, cintaku, sekaligus menolak balasan cintamu kepadaku?

Wahai rembulan purba! Maukah kau memberitahuku tentang sebuah peristiwa pencarian cinta paling besar yang pernah kau saksikan?

Sekarku yang ingin kupeluk, kenapa aku sulit sekali untuk tidak memikirkanmu? Kenapa aku masih merasa sayang membuang segumpal masa lalu yang sangat riskan untuk dibuka, dibentangkan kembali, untuk dilanjutkan lagi seperti angan-angan kita dulu?

Wahai rembulan purba! Mestinya kau pernah menyaksikan seseorang yang membulatkan tekad untuk melupakan cintanya! Jika memang demikian, jangan ceritakan itu padaku. Kalaupun kau hanya mau bercerita kepadaku tentang hal itu, kurasa itu percuma. Kau tentu ingat apa kataku:

Ingatanku terang sekali, seperti matahari.

(Tengah Malam. Surakarta, 13 Desember 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya