Oleh: Fariha Ilyas
I wonder what's keeping my true love tonight
I wonder what's keeping her out of my sight
It is little she knows of the pain that I endure
Or she would not stay from me this night, I am sure
(I wonder what's keeping my true love tonight, Kate Rusby)
Sayangku, malam ini kudengarkan lagu yang asyik sekali. Kate Rusby, ya, suaranya yang menggerakkan batinku untuk kembali menulis, dan untuk mengingatmu lagi. Tapi tak hanya Kate Rusby saja, ada konser dua biola rekaan Vivaldi yang saat kudengarkan seksama tak ubahnya seperti sepasang kekasih yang sedang bercakap-cakap dengan riang, penuh cinta dan optimisme. Sepertinya mereka sedang membicarakan segala ingin, segala yang dapat diimpikan di masa depan. Masih hangat dan wangi sekali cinta mereka, walau percakapan penuh cinta itu diciptakan lebih dari 200 tahun silam.
Sayangku, karena lagu-lagu itu malam ini aku kembali terheran-heran akan cinta yang masih saja membuat kita berdua saling memikirkan, saling mendo’a, walau isi do’a kita adalah mustahil seluruhnya. Tapi karena kemustahilan-kemustahilan itulah Tuhan ada, sayangku. Jika seluruh dunia ini mungkin dalam benak dan gerak kita, maka Tuhan telah lama pensiun dari tugasnya, karena seluruhnya bisa kita capai sendiri. Dunia ini memang mungkin, sayangku, dalam benak dan gerak Tuhan saja.
Sayangku, walau banyak yang mustahil bagi kita, aku tahu ada yang selalu mungkin, kau juga pasti telah memahami bahwa manusia juga memiliki dunia serba mungkin, dunia yang juga dipilih oleh Tuhan untuk memperkenalkan dirinya kepada kita, dunia itu ialah dunia simbol. Tuhan, sayangku, telah mengambil tindakan penuh risiko dengan menggunakan dunia simbol sebagai media mewartakan diriNya kepada manusia, risiko itu adalah: Tuhan bisa menjadi berhala terbesar yang disembah oleh manusia.
Sayangku, Cinta, seperti kau tahu, tak pernah terpahami sempurna, lewat kata-kata, nada, dan warna. Tak ada media yang mampu mengantarkan kita pada pemahaman cinta sempurna. Aku takut sekali, sayangku, jika cinta yang kita kenal adalah sama seperti Tuhan yang menjadi berhala.
Sayangku, aku tak pernah melupakanmu, karena lupa adalah musuh segala penemuan. Kita tak akan pernah menemukan diri kita ada di suatu titik jika kita tak memiliki ingatan-ingatan akan keberadaan kita sebelumnya di titik lain. Karena alasan itulah aku tak pernah memiliki keinginan untuk melupakan sesuatu. Aku takut jika suatu saat aku bertemu kembali denganmu, dan saat itu aku harus memecahkan kepalaku, mengurai otakku, mencari ingatan tentangmu, agar kau tak menjadi asing bagiku.
Sayangku, malam ini kau kupeluk erat dalam selimut rindu yang selalu hangat, yang tak pernah mampu ditembus dinginnya ketakacuhan dan bekunya saling diam. Selimut itu adalah sebuah pemberian, ia takkan kucampakkan, walau selimut itu kadangkala membuatku merasa gerah. Sayangku, itulah kepasrahan.
Peluk dan ciumku selalu untukmu, sayangku. Aku harap kau mampu merasakannya, seperti kau mampu merasakan kehadiran Tuhan yang hanya hadir dan selalu kau sapa hanya dengan kata-kata.
(Malam. Surakarta, 19 Desember 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya