Oleh: Fariha Ilyas
Aku rindu kepada hijau, kepada dingin, kepada air. Sepanjang waktu lalu hidup kulalui dalam merah, dalam panasnya api. Bergegas aku pergi, saat mendung mulai menutupi matahari di atas kota ini. Kubelah angin jalanan dengan harap, dan kerinduan kepada hijau, kepada dingin, kepada air.
Di salah satu celah perbukitan, kuturuni ratusan anak tangga yang berkelok, menuju rumah bagi damai yang kuharap akan kujumpai dan menyambutku dengan sepenuh pelukan yang tak egois, yang tak segan memeluk siapa saja yang mendatangi rumahnya di celah perbukitan ini.
Sang tuan rumah, memberiku sebuah penyambutan istimewa dengan kesejukan udara, yang tak lama kemudian terasa dingin di kulitku. Di atas jembatan kecil aku berhenti, memandangi jernihnya air yang mengalir, tanpa menutupi dasarnya yang berpasir, berbatu, dengan warna-warna yang tak dibuat sendiri oleh tangan manusia.
Aku duduk di depan curahan air yang jatuh bergemuruh. Kututup telingaku dan lenyaplah gemuruh itu, hanya ada yang gerak dan warna. Lalu kubuka telingaku, dengan menutup mata kudengarkan gemuruh itu, yang nampak tak ada lagi. Hanya ada gemuruh, gemuruh, dan gemuruh. Suara mengisi alam pikiranku, hanya suara gemuruh air saja, karena pohon-pohon dan bebatuan tak ada yang bicara karena ia diam selalu sepanjang waktu jika angin tak menerpa dan menimbulkan gesekan-gesekan diantara daun-daun yang membuat setiap pohon seperti bergumam sendiri.
Air yang jatuh membentur tanah dan bebatuan di bawahnya menciptakan musik. Tak ada musik tanpa benturan, gesekan, pukulan, hentakan. Air, bebatuan, mungkin tak pernah sadar akan musik yang mereka hasilkan. Semua hanya berperilaku sewajarnya menurut nasib. Air mengalir saja seperti sewajarnya dan bebatuan diam belaka sepanjang waktu.
Layaknya diam-bisu kita.
Kita tak pernah lagi bicara, menyapa. Kita membiarkan beberapa bar dalam partitur hidup kita kosong. Kekosongan itu adalah bagian dari musik. Kekosongan yang bisa kita kita isi dengan jerit hati, tawa, bisik lirih, atau apa saja. Dalam kekosongan itulah ada kebebasan.
Dalam musik yang gemuruh di celah perbukitan itu, turunlah hujan deras yang bergemuruh juga. Tetes-tetesnya mengayun daun tumbuhan paku yang menjadi kuyup. Aku mendengar dan melihat bagaimana musik tercipta, dengan sederhana, namun tak bisa sesederhana nampaknya jika kita mengerti.
Ada dialog yang renyah, dalam kesyikan yang nyata, antara aku, hujan, tumbuhan paku, air yang mengalir jernih, bebatuan, lumut-lumut yang lekat, dan kau. Kau yang tak hadir di sini bukanlah kau yang tak ada. Kau yang tak hadir disini adalah separuh isi pikiranku, yang tak tergusur, tak terdesak musik yang gemuruh, atau seluruh hijau yang kurindui.
Dalam pelukan dingin, dalam rintik hujan yang segar di celah perbukitan itu, aku memang bertemu damai. Dan kedamaian itu tak seluruhnya sajian sang tuan rumah, melainkan separuhnya kubawa sendiri dalam pikir, dan inginku meraihnya.
Hujan reda benar saat sore mulai tiba. Dengan berat hati kutinggalkan celah perbukitan itu. Menyusuri kembali anak tangga yang basah, langkah-langkahku perlahan.
Berat, dan perlahan.
Musik masih gemuruh.
Masih.
Gemuruh.
(Surakarta, 25 Desember 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya