Selasa, Juni 14, 2011

Bagaimana kabarmu, Ibu?

Oleh: Fariha Ilyas

Dulu kusaksikan sendiri, kurasakan sendiri

Wujud dan ketulusan kasihmu


Suatu hari kusaksikan sendiri

Nafasmu mulai jarang dan akhirnya hilang


Kau rasakan sendiri

Nikmat perihnya kematian itu


Empat bulan ini sudah beberapa kali aku pulang ke rumah, dan setiap kali pulang aku merasa masih akan menemuimu duduk dan tersenyum melihatku. Ya, aku masih saja sulit menghilangkan harapanku ini walau kenyataan telah tertanam di memoriku. Kenyataan bahwa kau takkan lagi duduk di beranda rumah dengan daster dan rambut berubanmu yang kau ikat. Banyak sekali peristiwa yang terlewat diantara kita. Beberapa hal memang tak bisa dibagi, kau tahu itu.

Kita memang dekat sekali secara emosional, entah sejak kapan tepatnya, namun semenjak aku mulai dilingkupi kesadaran akan kesementaraan kebersamaan ini, aku sangat menikmati waktuku bersamamu. Saat memasak di dapur adalah saat-saat paling mengesankan bagiku, karena selalu saja saat itu penuh dengan pembicaraan kita tentang banyak hal, walau tak semua. Ada hal-hal yang belum kau ketahui tentangku.

Kau tak pernah tahu, bahwa sedari kecil aku gemar menghabiskan waktuku di pemakaman. Siang, sore, malam, sering kuhabiskan waktu menyendiri di sini. Bahkan beberapa tahun terakhir ini saat malam lebaran tiba dan takbir bersahutan di mana-mana, aku lebih memilih perkampungan sepi ini untuk merenung, perkampungan yang hanya berisi jasad-jasad yang dulu pernah menjejakkan kakinya di bumi yang sekarang masih kudiami. Beberapa tahun lalu jasad kakek menjadi warga perkampungan sepi ini. Sesuatu yang sudah kuduga sebelumnya. Aku tak pernah merasa heran dengan kematian, karena ia niscaya. Aku tak pernah merasa kaget dengan berita-berita kematian yang sering terdengar sebelum akhirnya kau juga diberitakan dalam kematian itu.

Semenjak kau terbaring lemah di rumah sakit, aku telah mempersiapkan diriku menyambut hari yang bisa saja merupakan hari terakhirmu, atau hari terakhirku sendiri. Karena seperti kematian, perpisahan itu juga niscaya datangnya. Kematian-kematian itu adalah salah satu jalan saja. Namun sekuat-kuat batinku, sesaat sebelum kau kembali ke asalmu, tiba-tiba saja seluruh cairan di dalam tubuhku naik, dan tumpah ruah keluar dari kedua mataku. Sesaat sebelum aku menangis keras bapak berkata: “Kalau memang ibu harus diambil sama Alloh, kita harus ikhlas”, entah kenapa hingga hari ini jika aku teringat kata-kata bapak itu aku masih saja menangis keras.

Dadaku masih saja terasa sesak dan air mataku masih saja tak terbendung jika aku ingat lagi beberapa kata-kata bapak bahwa: “Tugas ibu mengantarkanmu telah selesai, ibu hanya mengantarkanmu sampai di sini, setelah ini, kamu dan kita sekeluarga harus mampu berjalan tanpa Ibu”. Mungkin kata-kata bapak itu benar. Kau tak harus mengantarkanku dan saudara-sauadarku hingga ke puncak-puncak pecapaian yang kami impikan. Namun tak pelak kepergianmu membuatku tak punya kesempatan lagi untuk mengundangmu menghadiri hari-hari yang penting dalam hidupku. Semenjak dahulu aku tak pernah lupa meminta restu kepadamu menjelang aku menempuh ujian, dan saat-saat seperti itu adalah saat-saat terindah menjadi seorang anak, dan memiliki seorang ibu. Hidup dengan iringan do’a Ibu adalah hidup yang paling menggairahkan karena dunia ini terasa kecil saja di pandangan mata, terasa mudah saja ditaklukkan, bukan karena kemampuanku namun karena keyakinanku akan do’amu yang tulus untukku.

Berat sekali rasanya kau tinggalkan, kau adalah kekuatanku yang tak kentara. Hanya kau yang mampu meredam segala gejolak dan gundah hatiku. Untuk itulah aku selalu pulang jika tak ada tempat lagi yang dapat membuat perasaan resahku reda. Untuk itulah aku masih sering berbaring di sampingmu hingga aku dewasa.

Aku tak pernah memberimu apa-apa. Karena itulah semenjak masa sekolah dulu aku sudah punya keinginan untuk memberimu hadiah istimewa, aku ingin suatu ketika aku berucap kepadamu “Bu, minggu depan aku wisuda, pencapaian ini untukmu”. Aku tak pernah ingin kau hadir dalam seremonial macam itu, sebelum aku menyelesaikan jenjang S2. Itu tekadku. Untuk itulah kenapa dulu aku tak menyampaikan undangan wisudaku saat aku lulus dari pesantren. Malam itu hampir semua orang tua santri wisudawan bergembira dan berbangga. Aku masih malu untuk berdiri dan disaksikan olehmu. Aku harus mencapai sesuatu yang kurasa pantas kau pandang, kau banggakan. Walau waktu itu aku adalah lulusan terbaik tapi di benakku itu tak ada artinya, tak pantas untuk kubanggakan dan kupersembahkan. Hingga akhirnya aku kuliah dan keinginan itu masih terus kupendam, aku belum ingin kau menyaksikanku lulus S1. Aku ingin kau hadir nanti, saat aku merampungkan S2 dan itu bukan sebuah target yang muluk untuk saat ini, bahkan hal itu masih tak ada artinya dengan pencapaian-pencapaianmu dalam merawat dan mendidikku.

Entah apalagi yang hendak kukatakan tentangmu, sulit sekali rasanya. Tempo hari aku tak sengaja menemukan sebuah file rekaman suara di handphoneku, kudengarkan baik-baik, ternyata suara itu adalah percakapanku denganmu waktu di rumah sakit, entah bagaimana percakapan itu terekam, karena aku tak pernah dengan sengaja merekan obrolan-obrolan kita. Terbersit keinginan untuk itu pun tak pernah. Rekaman itu tak sengaja. Rekaman itu kini kusimpan baik-baik sebagai sebuah kenang-kenangan bersamamu. Sedikit sekali aku memiliki kenangan-kenangan berbentuk fisik denganmu, aku tak pernah dengan sengaja berfoto bersamamu. Aku lebih suka menuliskan hal-hal berkesan di catatan harianku.

Aku juga masih ingat pertengahan Desember tahun lalu, saat kau mulai merasa tubuhmu sakit. Kau memintaku memijit kedua kakimu seperti biasanya kulakukan saat kau merasa tak enak badan. Aku beruntung sekali karena masih diberi kesempatan untuk merawatmu walau tak sepenuh waktu karena masih harus sering ke berada di Solo. Aku menikmati saat-saat aku merawatmu Ibu, saat aku memasak untukmu. Ya, kau lah yang selama ini memasak untukku. Aku juga bangga masih diberi kesempatan membantumu mandi karena kaulah yang selalu memandikanku saat aku belum mampu membersihkan diriku sendiri. Hingga saat-saat terakhirmu tiba, aku memangkumu, saat kau mandi untuk yang terakhir kalinya. Ya memang begitulah semestinya.

Belum lama aku bersama ayah, adik, dan mbak berziarah ke makammu. Hari itu aku sebenarnya merasa enggan, semenjak kau pergi aku selalu takut pergi ke makam tempat di mana sering kuhabiskan waktuku. Aku merasa belum sanggup menanggung rindu yang kian hari kian berat kurasakan. Aku merasa belum memberimu kebanggaan apa-apa. Itulah yang selalu membuatku malu kepadamu.

Tak pernah, takkan pernah lagi akan kutemui manusia yang lembut hati dan menyayangiku sebesar dirimu. Untuk itulah kehilangan ini telah lama ingin kutangkal, ingin kuhindari. Untuk itulah aku pernah berdo’a kepada tuhan, agar aku pulang lebih dahulu daripada kau.

Do’aku memang do’a yang angkuh. Seolah-olah aku telah siap menghadapi kematian itu dengan segala kelengkapan kehidupan yang akan kujalani setelahnya. Namun saat itu aku benar-benar tak ingin kehilangan dirimu. Do’a itu tak terjawab sesuai dengan apa yang kuminta.

Baru saja aku berpamitan kepada bapak, mencium tangannya, dan masih kurang lengkap rasanya. Langkahku kurang mantap sebelum restumu mengguyur diriku yang selalu tak yakin ini.

Kau tetaplah yang tak tergantikan.

Petang ini aku didera sakit yang sering membuatku tak berdaya, aku sempat tidur sejenak, saat bangun aku masih saja merasa badanku tak enak. Namun sekilas ingatan tentangmu membuatku ingin bertanya dan selalu saja ingin bertanya:

Bagaimana kabarmu, Ibu?

Sebentar lagi bulan puasa tiba dan lebaran tahun ini jelas akan berlangsung tanpamu. Entah, apa aku sendiri juga masih akan diberi umur untuk melewatinya atau tidak. Namun rasanya jika aku harus mengunjungi pemakaman lagi saat malam idul fitri, aku mungkin tak tahan untuk terus diam seperti biasanya. Sekuat-kuatnya kukatupkan mulut ini, saat itu hatiku pasti akan tergelitik untuk bertanya:

Bagaimana kabarmu, Ibu?

Hari ini, entah, apakah cita-citaku sekarang masih mampu kulanjutkan. Langkahku limbung, do’a-do’amu tak lagi mengiringiku, dan aku pun kembali menjadi seorang peragu. Pada titik ini aku merasa tak punya kekuatan apa-apa. Semangatku luruh, berguguran. Hanya petuah-petuah bapak yang seringkali masih bisa mengangkat moralku yang sering jatuh setelah kepergianmu. “Kamu harus menjadi orang yang berjiwa besar”. Saat kata-kata itu meluncur dari mulut ayah tak banyak yang dapat kutafsirkan. Tetapi lambat laun sebenarnya kata-kata itu juga bermakna “Kau harus meneladani Ibu”.

Ya, tak dapat kusangkal lagi memang, bahwa kau adalah wujud nyata dari jiwa besar itu. Aku, kami sekeluarga menjadi saksinya. Orang-orang juga berkata hal yang sama. Hingga kemarin, masih saja orang membicarakanmu, lebih tepatnya membicarakan kebesaran jiwamu. Tak salah memang jika kita sering mendengar bahwa jiwa itu akan terus hidup, ia akan tetap menjadi bagian dari kehidupan yang ditinggalkan, setelah jasadnya sendiri kembali ke asalnya: Tanah.


Kematian itu niscaya

Ia hanya memisahkan sejenak

Sesungguhnya ia adalah pintu

Untuk sebuah pertemuan abadi


Biarlah gumpalan rindu ini

Kubungkus dalam kantong

Akan selalu kubawa dan kugendong

Hingga pintu itu kembali terbuka


(Petang hari, 13 Juni 2011)

1 komentar:

Tatik Fariha mengatakan...

bagaimana aku harus bicara??
tentang hal yang sama menyakitkannya,,
yang sama2 pernah kita alami,,

setidaknya aku tahu di luar sana ada orang yang lebih kuat dariku, yang menceritakan tiap detail hatinya,,

sama. tiap kali memoriku kuputar lagi pada hal yang sama yang pernah kita alami,,
ada rasa mencekik yg kuat di tenggorokanQ,,
dan meremas yang hebat di hatiku.

pada akhirnya, semua itu membuat kita belajar tentang "betapa berharganya seseorang"

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya