Selasa, Juni 14, 2011

Kematian Sekuntum Mawar

Oleh: Fariha Ilyas


Sekar, malam ini aku kembali harus membayar hutang-hutangku kepadamu. Entah disebabkan karena apa, tidurku selalu tak nyenyak jika aku belum menuliskan sesuatu untukmu, atau tentangmu, atau karenamu. Mungkin karena belum lama ini kusadari bahwa aku berhutang sebuah kehidupan kepadamu. Ya, aku sadar bahwa tak ada sesuatu pun dalam diriku ini yang dapat kupakai untuk membayarnya, namun setidaknya kisah-kisah ini akan menghadirkanmu lagi di sini, di tempat yang telah kau ceraikan.

Waktu itu aku baru saja pulang setelah seharian menghabiskan waktu di perpustakaan. Jam empat sore, aku masih ingat bahwa sore itu adalah sore yang menawan, sinar matahari menebar warna keemasan. Sesampainya di rumah, aku langsung ambruk karena sejak siang aku sebenarnya telah didera sakit kepala yang seringkali membuatku tak berdaya. Kupejamkan mata sambil meringis dalam lekukan bantal di mana kepalaku kubenamkan.

Entah berapa lama aku dalam keadaan seperti itu, aku tak tahu. Hingga kudengar suara Ibu memanggil namaku dan menyuruhku keluar kamar. Aku pun bangkit membuka pintu kamar dan dengan langkah gontai berjalan menuju ruang tamu. Rumah yang sedari tadi terasa berputar sepertinya telah kuketahui di mana porosnya, kaulah poros itu. Kau tak ikut berputar karena pandanganku tersedot oleh ketenanganmu.

Sikap dudukmu yang sangat kukenali membuat semua terasa akrab. Kau tersenyum kecil dan matamu melirik ke arah meja di depanmu. Aku langsung mengalihkan pandangan dari wajahmu menuju meja. Di atas meja mataku menatap sekuntum mawar putih. Saat itu juga kau berdiri dan berucap singkat: “Untukmu”, kemudian kau tersenyum dan berjalan keluar, pergi. Hanya itu.

Setelah kau pergi sore itu kita tak pernah bertemu lagi. Kau hilang entah ke mana, namun sekuntum mawar itu selalu melahirkan pertanyaan di benakku, setidaknya hingga malam ini. Aku tak bisa mengorek apapun dari bayang-bayangmu, Sekar. Bayang-bayang tak mampu bicara, ia hanya bergerak-gerak saja. Tak kudapatkan keterangan apapun tentang mawar putih itu. Aku mulai menebak-nebak segala kemungkinan yang mampu menjawab rasa penasaran sekaligus kegundahanku.

Aku heran karena tak biasanya kau memberiku sekuntum bunga, kau tak suka romantika biasa karena bagimu romantika tak pernah terlepas dari kemanusiaan dan kelembutan. Itulah kau yang kukenal. Dalam pikiranku kau pasti akan memilih bunga tebu dan kau pun pasti takkan mengambil bunga tebu yang masih menancap di batangnya, kau takkan mematahkan glagah yang masih berdansa dengan hembus angin. Kau hanya akan memungut glagah patah dari tanah di mana glagah itu terbaring, lunglai, dan diam. Itulah kau yang kumengerti. Aku tak habis pikir kenapa kau memberiku mawar putih yang masih segar?

Malam itu, setelah sakit kepalaku mereda aku duduk diam memandangi mawar putih yang kuletakkan di atas meja bacaku. Lembar-lembar mahkotanya bersih sekali, melingkar saling memeluk. Beberapa helai daunnya mulai nampak layu. Duri-durinya masih tajam kuraba, namun batangnya buntung, tak terhubung lagi dengan tanah yang membuatnya hidup. Mawar putih itu hanyalah jenazah keindahan dan kekuatan. Sejak malam itu aku selalu memikirkan perihal mawar putih pemberianmu. Namun tetap saja tak dapat kusimpulkan apa-apa.

Malam ini aku masih tak bisa memahami maksudmu. Aku mulai mengingat, menyibakkan tumpukan peristiwa yang tumpang tindih. Diantara tumpukan itu ada suatu peristiwa yang semakin membuatku bingung kenapa kau memberiku sekuntum mawar putih yang masih segar?

Ada sebuah peristiwa yang mungkin masih kau ingat:

Suatu hari saat kita berjalan bersama, kau bercerita tentang keelokan bunga-bunga liar di sepanjang sungai. Katamu kau ingin sekali memetik bunga-bunga liar itu untuk kau jadikan penghias meja kecil di kamarmu. Namun perasaan tak tegamu muncul, karena kau tak bisa berbuat semaumu memetik tumbuhan yang sedang hidup dan bernafas seperti kita. Ya, bunga-bunga itu seperti kita, katamu. Kau berkata jika tak mampu membuat sesuatu yang lebih indah dengan bunga-bunga liar itu, kau takkan memetiknya. Kau merasa tak sanggup dan karena itulah kau urungkan niatmu.

Pembunuhan, katamu, tidak hanya soal nyawa. Tapi juga soal peniadaan kehidupan-kehidupan yang lain. Biarlah orang lain berkata bahwa segala sesuatu itu diciptakan untuk manusia, namun kita semua tahu pasti bahwa orang yang berkata seperti itu tak lebih dari seorang manusia yang kesepian, manusia tak berkawan.

Kau berkata lagi bahwa setiap hari hidup dengan banyak sekali kawan, kawan yang selalu berbag. Kita berbagi udara dengan pohon, semak-semak, rumput, ilalang, dan semuanya yang hidup. Setiap hari kita berbagi air dengan sapi, kambing, kuda, dan semuanya yang hidup. Setiap saat kita berbagi ruang dengan burung-burung, belalang, bermacam unggas, dan semuanya yang hidup. Bahkan dengan jenaka kau menyindirku bahwa aku pun telah lama berbagi kamar dengan cicak-cicak. Itulah mengapa saat itu aku tersipu, aku malu karena saat mananti kepulanganmu aku selalu merasa kesepian, aku selalu merasa sendirian. Padahal seringkali saat kutatap langit-langit aku melihat cicak yang kadang diam, kadang berkejaran, aku melihat semut-semut, aku digigit nyamuk. Ramai sekali sebenarnya, tapi aku merasa semua yang di luar label manusia bukanlah kawanku, kalaupun aku berkawan dengan kucingku yang lucu, itu hanya sekedar dalam hal bermain-main saja, bukan berbagi. Karena bagiku kucing bukanlah kawan yang sepadan bagiku yang merasa sebagai manusia.

Ya, merasa sebagai manusia kadangkala membawa konsekuensi yang mengerikan, ia seringkali mengundang banyak perangai buruk yang bisa menimbulkan tindakan merusak keharmonisan segala kelengkapan ciptaan ini. Merasa sebagai manusia melahirkan keyakinan atas keluasan hak kita sebagai makhluk yang boleh memperlakukan makhluk yang bukan manusia semau kita.

Kita sama-sama pernah mendengar kisah lama tentang Sunan Bonang yang menangis saat ia secara tak sengaja mencabut rumput. Ya, menangis untuk rumput segenggaman. Rumput itu tercabut saat ia tersungkur karena anak muda berandalan yang kelak dikemudian hari akan menjadi Wali termashyur mendorong tubuhnya dengan kasar.

Sunan Bonang tidak sekedar menangis karena pembunuhan kecil yang dilakukannya dengan tak sengaja, yang ia tangisi adalah pembunuhan terhadap rumput itu disertai dengan kesia-siaan. Rumput itu mati sia-sia karena tak digunakan untuk apa-apa. Lain halnya jika rumput itu sengaja dipangkas untuk dijadikan pakan ternak, rumput itu justru akan mencapai kesempurnaan kemakhlukannya.

Secara tak sengaja, malam ini, saat aku memulai menuliskan kisah tentangmu, diantara kisah mawar putihmu yang tak kupahami dan ingatan tentang kisah Sunan Bonang yang entah dapat dipercaya atau tidak itu kutemukan jawaban dari enigma mawar putih yang berkepanjangan.

Aku mengerti bahwa kau memang sengaja membunuh mawar putih itu. Kau sangat mengenalku, kau tahu bahwa suatu saat aku akan mengisahkan mawar putih yang pernah kau berikan dulu, kau tahu bahwa aku akan selalu kebingungan menelusuri berbagai alasanmu membunuhnya. Kau tahu aku takkan berhenti mencari jawabannya.

Aku pun mengerti kenapa saat itu kau hanya berucap sepatah kata: “Untukmu”. Itulah alasan yang membuatmu tak ragu lagi memetik mawar dan memberikannya padaku, karena kau tahu mawar itu akan kuhidupkan lagi malam ini, akan kugambarkan lagi keindahaanya yang tak sempurna. Aku baru saja mengenalmu dengan sebenar-benarnya, Sekar.

Kau selalu ingin aku yang menuntaskan semuanya, separuh pekerjaanmu selalu kau serahkan kepadaku. Malam ini, aku mencoba membuat sesuatu yang lebih indah dari sekuntum mawar putih yang kau berikan dulu. Karena sebenarnya kau yang memaksaku. Kau selalu saja mampu membuatku tak bisa menolak.

Kau memang bukan Sunan Bonang. Kau pasti tak ingin meratapi sekuntum mawar karena tindakanmu.

Aku berharap dengan berakhirnya kalimat dalam kisah ini kematian mawar putih itu tak sia-sia. Semoga inilah jawabannya.

Atau kita berdua harus menangis.

(Dini hari, 10 Juni 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya