Mei 1933, Martin Heidegger resmi menjadi anggota Partai Sosialis Nasional atau Nazi pimpinan Adolf Hitler. Tak ada yang salah dalam tindakan Martin Heidegger sebagai individu yang bebas menentukan sikap politiknya. Walau banyak terjadi pro-kontra karena posisi Heidegger adalah rektor Universitas Freiburg, yang merupakan lembaga keilmuan yang mestinya bersikap kritis dan setidaknya berjarak dengan kekuasaan yang sarat kepentingan apalagi mendukung proyek ambisius Hitler yang kontroversial. Yang dinilai menyedihkan adalah karena kapasitas Heidegger sebagai filsuf besar ketika itu, tentu sikapnya tersebut menjadi sebuah lambang “robohnya ilmu pengetahuan di bawah telapak kaki kekuasaan”.
Namun ada yang lebih menyedihkan dari itu semua, saat itu Heidegger yang belum lama mempublikasikan karya terpentingnya, Zein und Zeit (Being and Time), akhirnya menghapus nama Edmund Husserl, pembimbing dan mahagurunya, kepada siapa karya itu semula dipersembahkan. Alasannya adalah: Husserl bukan berasal dari “Ras Arya”.
Peristiwa tersebut tentunya sedikit menyentil kesadaran kita tentang keanehan pikiran kita sendiri, karena kadangkala mudah bagi kita untuk menghormati dan berterimakasih kepada seorang kenalan baru, namun kadangkala kita perlu banyak sekali alasan dan pertimbangan untuk menghormati atau menyatakan terima kasih kita kepada seseorang. Kita semua mestinya pernah merasa benci kepada orang yang sebenarnya tidak ingin atau tidak layak kita benci. Dan kebencian itulah salah satu sumber bencana kemanusiaan. Sebenarnya banyak hal yang kadangkala merenggut ketulusan kita, sifat manusiawi kita sendiri. Sifat manusiawi kita tentu akan menolak saat kita mencoba mengingkari kenyataan, walau seberapa pahitnya. Jika kisah Malin Kundang bukan hanya legenda, saya yakin bahwa ia tentu akan bergetar hatinya saat menolak untuk mengakui siapa sebenarnya ibu kandungnya.
Heidegger, se-intelek apapun dia, sebesar apapun keteguhannya pada konsep Ubermensch yang pada mulanya dicetuskan Nietzsche tersebut, tentu merasakan bahwa pengingkaran itu adalah nyata dilakukannya. Bagaimana seseorang hilang rasa hormatnya kepada orang yang telah berjasa dalam hidupnya. Bagaimana bisa seorang Husserl, yang tak dapat dipungkiri lagi merupakan sosok penting dalam pergulatan intelektual Heidegger tiba-tiba menjadi begitu tak berarti, dan alasan ketidak-berartian itu justru sesuatu diluar hal-hal yang ia lakukan. Katakanlah (misalnya) konsep ras unggul itu benar, tentu bukan salah Husserl jika dia tidak dilahirkan dari garis keturunan ras tersebut.
Tentu menjadi hal yang meresahkan saat kita harus mencari-cari alasan untuk sekedar menentukan bagaimana kita bersikap kepada orang lain. Saat kesombongan menguasai kita, maka banyak hal yang tidak dapat kita lihat lagi dengan jernih. Lagi-lagi kemanusiaan kita mendapat tantangan, bagaimana kita mampu mencapai kemanusiaan kita sendiri jika kita tak mampu dan bahkan tak mau menghargai manusia yang lain?
Kita mestinya selalu mempertanyakan apa yang seharusnya kita jadikan alasan bersama dalam berhubungan dalam hidup ini, suatu prinsip yang melandasi segala sikap kita, kesadaran bahwa kita mestinya berjalan bersama dalam mengatasi segala rintangan dalam menggapai kemanusiaan kita sendiri, melawan segala bentuk sifat yang dapat mengakibatkan kita melenyapkan kemanusiaan orang lain. Kemanusiaan, bagaimanapun juga tentulah akan bermuara kepada apa yang kita sebut sebagai perdamaian. Untuk itulah maka kita selalu berupaya mendewasakan diri dengan berlatih mengabaikan label-label yang sebenarnya dibuat oleh manusia sendiri, yang tak lebih adalah bentuk ketakutannya sendiri pada ketidakmapanan identitas. “Identitas” bisa saja menjadi penting, namun jika menjurus kepada tindakan penghancuran atau peniadaan yang lain, identitas kita sebagai manusia justru terancam hilang oleh tindakan-tindakan nirhumanitas yang kecil sekalipun, yang kita lakukan untuk mempertahankan “identitas” itu.
Kita mestinya selalu berusaha memandang sesama sebagaimana adanya, sebagaimana yang kita alami, sebagaimana kita ingin diperlakukan. Kita juga mestinya memandang diri kita sendiri sebagaimana adanya.
Husserl memang tidak mati di kamar gas sebagaimana korban kekejaman Nazi, namun ia juga merupakan korban dari sifat angkuh dan congkak, yang jauh lebih mematikan daripada ribuan kamar gas.
(Surakarta, 6 Juni 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya