Oleh: Fariha Ilyas
Malam dan segalanya
Apakah manusia telah begitu terbiasanya denganmu?
Hingga gagal menangkap setiap kalimat yang kau bisikkan
Malam dan segalanya
Apakah kau adalah rutinitas yang tak bermakna?
Sampai-sampai tak satupun hurufmu yang tercerna
Kami berdiri di sini, menatap malam dan segala
Dari tempat yang berbeda, dengan pikiran yang tak sama
Biarlah segala pikiran kami ini berpadu
Dengan malam dan segalanya
Tak pernah kering, tak pernah habis
Malammu kami tafsirkan
Dalam gerak, nada, kata, dan warna
Musim kemarau seperti pembuka tabir antara kita, rembulan, dan bintang gemintang. Bersihnya langit malam membuat keindahan samawi leluasa memamerkan pesonanya. Kita selalu bersuka cita menikmati itu.
Keluasan langit dan benda-benda angkasa semenjak dulu telah menggetarkan jiwa manusia. Karena ketakterjangkauannya oleh pikiran, di berbagai belahan bumi manusia menyembah kepada langit. Namun yang disembah terlalu jauh, terlalu luas, terlalu tak terpahami, maka sesudah itu manusia membuat dewa-dewa yang merupakan proyeksi dirinya yang diletakkan dalam dunia ideal yang didamba manusia.
Hingga akhirnya tuhan mewartakan dirinya dalam sejarah. Wahyu turun mengabarkan kepada manusia tentang hakikat semesta yang tak lebih adalah ciptaan yang sederajat dengan manusia sebagai makhluk yang bersifat baru. Karena kesetaraan derajat itulah alam tak layak disembah. Posisi alam semestapun bergeser.
Ilmu pengetahuan berkembang, dengan demikian pemahaman manusia terhadap alam semeta menjadi semakin mendalam. Di pihak lain, alam imajinasi manusia yang masih bertalian dengan kemampuan inderawinya terus saja bergejolak, menafsirkan alam dengan cara kerjanya sendiri. Untuk itulah kita bisa menikmati gemerlap bintang dan dalam diri kita muncul rasa keindahan. Kita mengabaikan pengetahuan kita tentang bintang-gemintang yang jika ia dekat sekali dengan kita, ia akan menjadi bencana. Inilah titik di mana kita memahami betapa relevannya jarak ideal antara kita, dan seluruh benda-benda demi bangkitnya rasa keindahan.
Kita tentu tahu betapa banyaknya karya seni yang diciptakan manusia yang sumbernya adalah alam semesta yang terindera. Malam ini, sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu, kita mencoba memahami di titik mana para maestro mencipta. "Moonlight Sonata", sebuah komposisi agung rekaan Beethoven menjadi sesuatu yang sangat mengherankan, karena masih mampu menggetarkan jiwa banyak manusia lebih dari 200 tahun semenjak ditulis untuk pertama kalinya. Di titik manakah Beethoven berdiri dan mengambil jarak dalam menghayati segala sajian malam yang mungkin tak jauh beda dengan yang kita alami?
"Starry Night", sebuah lukisan tentang malam yang penuh cahaya bintang yang gilang-gemilang karya Vincent Van Gogh tak ayal menjadi tonggak pencapaian manusia dalam mencecap keindahan malam. Kita tentu akan kembali bertanya: di titik mana Van Gogh berdiri dan mengambil jarak terhadap pesona malam gemintang?
Masih banyak lagi karya-karya manusia dari era yang lebih modern yang tak kalah mengagumkannya dibanding karya-karya maestro-maestro itu. Lagi-lagi mestinya kita tergelitik untuk kembali bertanya.
Siklus alam kali ini kembali menghadirkan bentang mahaluas itu di hadapan kita, berbagai kemungkinan sudut pandang telah tersimpan di pikiran dan benak kita masing-masing. Malam dengan rembulan dan bintang-bintang kembali menjadi obyek penafsiran kita yang plural. Malam bisa menjelma sebagai gadis yang elok, atau menjadi makhluk yang menakutkan. Malam bisa menjelama menjadi apa saja setelah melewati kompleksitas imajinasi manusia yang tak terduga kemungkinannya.
Kita hanya perlu berdiri di tempat yang tepat, mengambil jarak yang proporsional dengan malam yang begitu kaya akan keindahan, dan keindahan itu hanya mungkin tergali dengan membuka jiwa kita seluas-luasnya dihadapan sesama makhluk tuhan yang bernama malam. Kita buka ruang-ruang percakapan sunyi antara jiwa kita dengan jiwa malam. Kita hidup dan salah satu tugas kita adalah menerjemahkan kalimat-kalimat tuhan yang tidak semuanya termuat dalam teks-teks suci yang kita kaji saban hari. Di alam semesta inilah termuat kaidah-kaidah kehidupan yang masih sangat luas kemungkinannya untuk diselami. Di alam semesta inilah sebagian diri kita menanti untuk kita rengkuh, demi mencapai keutuhan diri yang kita impikan bersama.
Ya, barangkali inilah saatnya kita kembali melempar pandangan ke luar diri kita, sebagi sebuah upaya refleksi terhadap keberadaan kita sebagai kesatuan dari semesta raya ini. Kita seringkali terjebak dalam keasyikan kita memandang ke dalam diri kita. Tak salah memang, karena hal itu juga merupakan sebuah upaya identifikasi diri, sebuah proyek yang memakan waktu ribuan tahun dalam sejarah manusia, dan hingga kini belum rampung sempurna.
(Malam, 10 Juni 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya