Oleh: Fariha Ilyas
Segala hal bermula dari keinginan.
Memilih seseorang untuk kita cintai bukanlah sebuah hal yang sederhana, apalgi bagi kita yang hidup di tengah konstruk masyarakat yang memiliki pemahaman bahwa cinta mestilah diawali dengan ketertarikan yang sifatnya emosional. Mungkin sebuah kesimpulan yang terlalu cepat, dengan mengabaikan bahwa dalam banyak kesempatan kita tentunya menyadari bahwa sebagian besar perasaan kita ditarik oleh hal-hal yang bersifat fisik atau kebendaan.
Apakah kita akan memungkiri bahwa rasa tertarik kita terhadap sepotong pakaian memang disebabkan oleh model atau warna pakaian tersebut? Kemudian muncul imaji di pikiran kita bahwa pakain itu akan bagus sekali untuk kita kenakan, akan menambah nilai keindahan dari tubuh kita. Bayangan akan indahnya tubuh kita dengan tambahan baju tersebut tentu telah didasari oleh beberapa fakta yang telah kita ketahui sebelumnya, tentang tinggi badan kita, bentuk pinggul, panjang kaki kita dan seterusnya.
Secara simplitis dapat dikatakan bahwa perasaan kita lebih kompleks dari sekedar apa yang kita rasakan. Di sini kita akan mencoba mengambil jarak dengan diri kita sendiri, memandang diri lebih obyektif dan mencoba memahami setiap perilaku yang kita lakukan, yang mungkin hanyalah sebuah hasil konstruksi budaya.
Lalu mengapa kita, yang sedang mencoba memperluas pangsa rasional dari perasaan kita yang emosional ini tetap kesulitan untuk tidak terbawa dorongan-dorongan yang selalu saja punya kekuatan untuk membuat air mata kita keluar, kita menangis, walau dalam otak kita telah tersimpan banyak sekali kosakata untuk mengungkapkan banyak hal yang ada dalam pikiran kita. Rasanya saat itu semua pengetahuan kita tidak memadai untuk menjelaskan sebab-sebab yang pasti dari fenomena itu.
Cinta, seperti halnya spiritualitas, merupakan sesuatu yang hingga hari ini belum dapat diukur secara kuantitatif agar dapat diuji di laboratorium, disimpulkan dan melahirkan sebuah bangunan teori yang mantap. Karena hingga saat ini kita toh masih lebih yakin untuk berpegang pada sesuatu yang telah terbukti empiris. Kita menjadi begitu paranoid terhadap ragam spekulasi dalam banyak keputusan yang kita ambil, atau dalam pengetahun yang kita anut. Di titik inilah filsafat memiliki celah yang menjadi begitu menggairahkan bagi pencinta kebenaran, sekaligus menjadi momok bagi para pencari kepastian. Apa yang mereka cari sebenarnya sama, yang berbeda adalah pemaknaan dari kebenaran yang sama-sama mereka rindui.
Kenapa kita, sering merasa begitu tidak berdaya menghadapi berbagai kenyatan yang telah dialami manusia yang telah lahir sebelum kita. Hal ini membawa setidaknya dua hal. Pertama adalah ketidakmampuan kita dalam menyerap dan memetik sebuah berbagai pelajaran yang harusnya dapat kita gunakan sebagai pencegah kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Kedua, fenomena ketidakberdayaan kita menunjukkan diri kita yang otentik, bukan sekedar eksemplar dari makhluk yang bernama manusia.
Keontetikan diri kita tentu merupakan ciri utama dalam jalinan rumit yang membentuk identitas, dan proyek tentang identitas inilah salah satu proyek terbesar dalam hidup manusia selain mengelola dunia seisinya.
Ketakutan kita, kegelisahan kita, adalah bagian dari ciri-ciri kita yang asali, yang paling primordial. Semua itu bermuara kepada ketidakmampuan kita menyatukan konsep-konsep pikiran dengan benda-benda. Saat kita menemui kenyataan yang tidak mampu kita cerna, kita kemudian merubah konsep-konsep pikiran yang sebelumnya kita percayai. Inilah yang membuat sebagian para pemikir menyimpulkan bahwa kita tidak dapat benar-benar mengetahui kebenaran.
Kebenaran fisik walaupun terindera hingga saat ini pun masih menjadi sebuah pekerjaan yang belum diselesaikan dengan tuntas. Apalagi kebenaran metafisik yang tak dapat diobservasi. Kebenaran metafisik adalah misteri yang cenderung lebih lambat dipecahkan jawabannya di sepanjang sejarah, karena terkait dengan subyektifitas dari para pelaku yang menyulitkan para pemikir untuk mencapai sebuah jawaban tunggal yang memuaskan. Cinta, tentu merupakan salah satu dari kebenaran metafisik itu.
Mungkin itulah kenapa hingga hari ini orang masih mencipta puisi. Memutar-mutar kata untuk menggapai maksud yang sukar sekali dijelaskan selama ribuan tahun. Mungkin bukan keindahn yang dituju manusia, namun hanya sebuah upaya melawan sesuatu yang begitu menakutkan jauh di dalam jiwa manusia, yaitu ketidaktahuan.
Betapa ketidaktahuan ini telah mendorong upaya manusia untuk memindahkan sisi gelap di dalam pikirannya ke alam yang terindera. Lalu lahirlah berupa-rupa bentuk berhala yang sebenarnya dapat dipahami sebagai manifestasi kekosongan yang bersemayam demikian kokoh di alam pikiran manusia. Begitulah kondisi sebelum tuhan mewartkan dirinya dalam sejarah. Cinta, tak lain tak bukan, adalah salah satu dari berhala itu. Tuhan hampir tak pernah muncul dengan wujud yang sebenarnya di dunia ini, dunia yang terikat dengan wujud-wujud jasmaniyah.
Hingga saat ini, kita hanya mampu mengenali diri kita sebatas yang berwujud fisik saja, jasmani, dengan sesekali menelisik sisi psikis kita. Namun pengetahuan kita tentang semua itu hanya sedikit saja, bahkan sangat sedikit. Pernahkah kita bertanya tentang diri kita yang metafisik?. Bagaimana mungkin seseorang mendaku telah mengerti tuhan yang metafisik, sedang upaya mengenal aspek metafisik diri sendiri saja tak pernah dilakukan.
Aku resah dengan segala ketidakpastian ini. Iman mungkin menjadi solusi banyak orang. Tapi sepanjang yang kuyakini, iman pun akan kosong tanpa filsafat. Jika orang mengatakan bahwa filsafat adalah upaya memahami semua hal dengan akal, maka kukatakan bahwa filsafat hanyalah upaya mencari titik terlemah dari akal, dan sepanjang sejarah titik ini terus bergerak, tak berujung. Paradoks, lagi-lagi paradoks, keterbatasan manusia seolah tak terbatas.
Rupanya memang ada jarak antara kebenaran dengan sesuatu yang dapat dibuktikan.
(Surakarta, 21 Mei 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya