Oleh: Fariha Ilyas
Entah, hingga berapa lama nama kita akan tetap diingat, apakah nama kita akan mati tak lama setelah raga kita tak bernyawa.
Betapa sering kita mendengar nama “mayat-mayat” yang dengan mudah kita temukan di kota-kota, menjadi nama-nama jalan. Kota ini sebenarnya tak jauh beda dengan sebuah taman makam raksasa. Mereka itulah-yang namanya terpampang di papan-papan nama jalan-para penakluk waktu. Sosok-sosok mereka secara sistematis diperkenalkan kepada kita di ruang-ruang kelas, dengan latar sejarah yang monumental.
Demikianlah kisah orang-orang besar.
Tak seberapa jauh dari tempat kita berada, tentulah terdapat area pemakaman, tempat bagi warga kampung kita yang telah habis umurnya. Diantara sekian banyak nama yang terukir di batu-batu nisan yang tertancap di pemakaman itu, beberapa mestinya kita kenal, walau sebagian besar pastilah tidak kita ketahui.
Demikianlah kisah orang-orang kecil.
Betapa tidak berharganya sejarah mereka dalam hidup kita sekarang. Jangankan sejarah, nama mereka pun tak ada artinya untuk kita. Pernahkah kita mencoba menelisik lebih jauh tentang alur kekerabatan kita? Pernahkah kita bertanya tentang asal-usul kita sejauh yang masih mungkin kita dapatkan sepenggal-penggal kisahnya?
Kita, yang masih hidup tentunya memiliki banyak kemungkinan untuk terus belajar dari sejarah, dan sejarah dalam hal ini bukan melulu dominasi dari mereka yang namanya berkibar-kibar sebagai seseorang yang berjasa besar dalam perjuangan bangsa ini, sejarah juga milik individu-individu yang tak kita kenal dalam buku-buku atau dongeng, sejarah juga milik kakek buyut kita yang juga mempertahankan sebuah kehidupan kecilnya di masa lalu, saat kita masih di awang-awang, saat kita menjadi harapan mereka, saat kita menjadi tumpuan cita-cita mereka yang belum mampu mereka wujudkan. Sejarah adalah milik setiap manusia yang hidup.
Betapa menggelisahkannya kerinduan yang tak bisa mendarat di tempatnya ini. Betapa sulitnya kita untuk mengira-ngira seperti apa orang-orang yang menurunkan kita dari silsilah keluarganya dahulu. Pikiran kita sulit sekali mendapatkan referensi dari apapun, karena memang tak banyak yang kita ketahui dari mereka. Yang ada hanya sebatas imaji sosok-sosok, melayang-layang, kabur, tak pasti.
(Surakarta, 19 Mei 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya