Selasa, Juni 14, 2011

Antara Aku, Sekar dan Tuhan yang Bermetamorfosa

Oleh: Fariha Ilyas


Sekar, diantara kita mungkin tak ada yang melupakan pelbagai peristiwa. Segalanya, pahit manisnya.

Aku masih ingat sekali hari paling berkesan dalam hidupku. Mungkin hanya satu hari, namun hari terindah itu hanya mungkin terjadi karena akumulasi peristiwa-peristiwa yang kita alami sebelumnya, perdebatan-perdebatan kita, senda gurau kita yang hangat, dan tentu saja diam kita berdua.

Pagi itu dingin sekali, kau dan aku sama-sama mengenakan jaket tebal dan berkaus kaki rangkap dua. Di tanganmu kau pegang sebuah buku catatan yang selalu kau bawa-bawa. Kau tersenyum padaku saat kuketuk pintu kamarmu. Aku pun terperangah melihat kecantikanmu pagi itu, senyumanmu serta-merta menghangatkanku.

Kugandeng tanganmu dan kita berjalan berdua menyusuri jalan setapak diantara hutan pinus yang asri. Aroma getah pinus yang disadap menyeruak mengiringi setiap langkah kita, khas sekali. Sepanjang jalan kudengarkan semua celotehmu, dan aku terkagum-kagum pada letupan kecerdasanmu dalam memandang sebuah fenomena. Jarak yang kita tempuh pun habis tanpa terasa, kita berdua sampai di tepian jurang yang dalam. Dari tempat kita, terlihat hamparan hutan yang samar-samar, memucat terselubung kabut.

Satu jam, dua jam, tiga jam. Tak terasa kita berdua larut dalam pembicaraan yang mengasyikkan, kau ceritakan semua hal yang pernah kau temui dalam banyak perjalanan panjang yang penuh dengan kejadian menantang. Aku senang sekali karena ceritamu bukan sebuah reportase biasa, melainkan sebuah ungkapan seorang anak manusia yang mampu mendedah segala peristiwa hingga ke dasarnya. Aku senang sekali kau mendapatkan banyak pelajaran berharga dari berlikunya jalan pencarianmu, dari kerasnya hidup yang kau pilih dan kau pertanggung jawabkan. Aku senang sekali terutama karena kau membaginya denganku.

Senja mengumbar pesonanya dengan cepat seperti ingin mengatakan kepada kita bahwa keindahan tak ingin berlama-lama menetap. Ia muncul dalam sebuah perubahan yang tak kentara, ialah gradasi warna yang terlukis di bidang waktu, sebuah lukisan yang pasrah kepada takdir kefanaannya. Ia berbeda dengan mahakarya ciptaan kita yang mencoba menembus sekat-sekat zaman, warna senja adalah keindahan yang selalu berjalan beriringan dengan kefanaan kita.

Senja kemudian lenyap dengan tak kentara pula dan malam turun menjejakkan kakinya. Kita berjalan pulang menapaki jalan yang sama sebenarnya namun menjadi lain bukan karena saat ini adalah malam dan bukan lagi pagi hari, melainkan karena kita tak lagi berada di waktu tadi, yang kini surut dan entah ke mana perginya. Dunia ini, Sekar, selalu baru karena waktu yang tak henti mencacah kenyataan hingga menjadi belahan-belahan yang halus sekali, yang tak nampak oleh kita, hingga kita tak mengetahui bahwa kenyataan benda-benda ini hanyalah belahan yang tipis dan sangat rapuh. Kenyataan ini sangat rapuh, Sekar.

Setelah bersantap kau dan aku berbaring di lantai kayu, menatap langit-langit kamar berwarna coklat muda. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kita berdua, yang ada hanya diam. Diam itulah yang hari ini membuatku mampu menulis penjelajahan pikiran kita dalam memahami satu sama lain dan merasakan saripati hidup.

Malam itu, dalam diam itu, jika kau tahu, Sekar, aku tak lagi merasakan perbedaan di antara kita. Kau bukanlah perempuan di benakku saat itu, dan aku pun tak merasa lagi sebagai seorang laki-laki. Sebagian sifat bawaanku telah luruh dalam perjalananku mencarimu, dan sebagian yang lain kudiamkan saja agar ia tak lagi punya sangkut paut dengan pikiran dan keinginanku. Itulah kenapa malam itu tak ada ciuman hangat yang biasanya selalu menjadi ritual yang kita pilih untuk mengungkapkan perasaan kita atau meloloskan gejolak yang bercokol dalam diri kita, gejolak yang telah berumur sangat tua, menembus zaman, dan selalu melahirkan cerita yang sama.

Itulah kenapa diam tetap saja menggumpal saat kau beringsut mendekati tubuhku, kemudian kau letakkan kepalamu di dadaku. Udara malam di luar sana beku dan waktu terasa sama bekunya, ia seperti enggan bergerak, karena ia tahu bahwa di benak kita tersimpan sebuah keinginan yang bukan apa-apa, semacam kerinduan terhadap kekosongan. Waktu ingin mengabadikan keseluruhan peristiwa yang rapuh itu. Jika waktu bergerak, ada banyak sekali kemungkinan yang akhirnya membuat kita menggores cerita yang sama dalam sebuah tema besar :cinta yang berlumur kegairahan badaniah.

Beruntungnya kita malam itu, karena waktu diam, bahkan lenyap dan kisah tak bertambah dalam sejarah. Kita telah menjadi abadi sesaat. Jika kita selalu berpikir keabadian itu adalah kemampuan mengarungi waktu yang sangat panjang, itu hanyalah keabadian khayali karena tak ada keabadian hakiki yang masih melibatkan keterbentangan waktu sebagai tolak ukurnya. Keabadian itu ketiadaan waktu. Itu yang sering kau katakan kepadaku.

Malam itu membuatku menemukan kesejatian. Sederhana sekali ternyata. Kesejatian kutemukan dalam diam, bukan dari kata-kata yang riuh-rendah kupakai untuk membicarakan kesejatian yang kudambakan. Saat diam menjadi sempurna, kesejatianlah yang mengambil alih diri kita. Namun kau tentu mengerti bahwa diam yang mengantarkan kita kepada kesejatian itu bukanlah diam yang sederhana, diam itu adalah sebuah totalitas dari berhentinya aktifitas seluruh sifat yang selama ini kita kenal sebagai ciri kita sebagai manusia, dan lucunya kita selalu saja menerima ciri-ciri itu untuk memaklumi diri kita sendiri.

Tanpa kita sadari waktu tiba-tiba bergerak lagi. Malam mulai terasa begitu lama, kita kembali menjadi diri yang apa adanya, kita sama-sama menahan segala dorongan yang akan mengulang kisah yang tidak kita ingini, setidaknya untuk malam itu.

Aku yakin sejak awal kau juga mengalami hal yang sama denganku. Kita memang sama-sama tak ada saat itu. Yang ada hanyalah dua tubuh yang berbaring di lantai kayu.

Sekar, rasanya sulit sekali mengisahkan kembali hari itu, karena tak semua perasaan dalam sebuah peristiwa mampu kita terjemahkan dengan kata-kata, bahkan dalam kalimat panjang yang meliuk-liuk. Kita betul-betul telah mengerti hal itu. Hanya saja masih tersisa sedikit tanya yang mungkin takkan segera menemukan jawabnya.

Sekar, adakah kesempatan kedua bagi kita untuk mengulang saat-saat terbaik dalam hidup kita? Apakah sorga adalah tempat berulangnya kembali saat-saat terbaik itu?

Jika sorga memang kesatuan ruang waktu yang terbaik, aku yakin sekali bahwa peristiwa itu akan terulang kembali nanti. Aku rasa kita tak perlu mati terlebih dahulu untuk menggapai sorga. Sorga di awang-awang itu hanyalah untuk orang-orang yang tak pernah yakin bahwa dalam kehidupan fana ini terselip kesejatian yang teriris oleh waktu yang menjadikannya lembar yang sangat tipis. Sorga di sana hanya untuk orang-orang pencipta batas yang tak mau berupaya menarik sorga dari yang abstrak menuju yang konkrit. Dalam upaya itulah seharusnya kita hidup.

Hari ini, kau dan aku kembali dalam kehidupan seperti biasanya. Kita akan mendaki kembali puncak-puncak pemahaman kita dengan langkah-langkah kecil, dengan rasa lelah yang sering menghinggapi. Tak mengapa, Sekar. Inilah jalan kita, kelak akan kita jumpai lagi kesejatian dan keabadian itu menampakkan dirinya sesaat, lalu lenyap, dan kita akan mendaki lagi dari bawah, begitu seterusnya.

Yang terakhir aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang selama ini kusimpan karena ketidakmampuanku memilih ungkapan yang tepat. Setelah sekian lama mengenalmu, aku melihat sesuatu yang bermetamorfosa dalam pikiranmu, sesuatu yang selalu menggelitik pikiranmu selama ini. Sesuatu itu selalu berubah, tak pernah menetap dalam pemahamanmu. Itu yang dapat kutangkap dari cerita-ceritamu yang selalu menjadi pengisi utama perjumpaan kita. Aku melihat metamorfosa tuhan.

Ya, biarlah banyak orang yang tak bersepaham dengan kita, biarlah orang lain meyakini tuhan yang definitif, tuhan yang selalu sembunyi di balik namanya sendiri. Namun kita akan tetap membiarkan tuhan itu muncul dan bertumbuh sewajarnya, karena mungkin tuhan baru saja lahir di pikiran dan sanubari kita.

Kita tak beriman dengan kesederhanaan, Sekar. Karena kita masih menghargai kompleksitas pikiran kita yang masih mungkin bergerak lebih jauh sembari terus berubah-ubah.

Esok atau lusa, tuhan di pikiran kita akan terus bermetamorfosa, sebuah proses yang sering diingkari oleh orang yang ketakutan kepada tuhannya sendiri yang definitif, yang terkekang oleh sifat-sifat yang tak diwartakan seluruhnya.

Tuhan, bagi kita berdua adalah tujuan yang tak henti-henti memperbaharui jaraknya, sesuatu yang tak kunjung selesai.

Dalam hidup ini kita hanya mampu menangkap dan mencoba memahami metamorfosanya, dalam diri kita sendiri.

(Surakarta, 8 Juni 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya