Selasa, Juni 14, 2011

SEBUAH PERJUMPAAN

Oleh: Fariha Ilyas


Di ujung hari ini, aku, Han, Sekar, Laras, dan Kembara bertemu di ladang tebu. Angin mengayun batang-batang glagah dengan lembut. Rerumputan ikut menari seirama dengan rambut Sekar dan Laras yang terurai.

Sinar matahari menimpa wajah kami berlima, mata kembara memicing menahan silau matahari sore yang khas, sedang aku, Han, Sekar, dan Laras memilih untuk menunduk, menatap lekat pada jari-jari kaki kami.

Entah apa yang ada di pikiran Han, yang telah berkelana beberapa tahun terakhir ini, menjelajahi tempat-tempat yang jauh, dari surat-suratnya yang tak rutin sedikit dapat kutebak apa yang ada di kepalanya. Sekar, tak dapat kuketahui dengan pasti apa yang selama ini ia lakukan, yang kuketahui adalah ia hidup dalam sebuah dunia yang tak tersentuh oleh kami, sahabat-sahabatnya. Laras, ia masih saja larut dalam tanggung jawabnya sebagai seorang ilmuwan, di mata umum laras adalah remaja kebanyakan, hanya kami yang mengerti siapa dia sebenarnya. Kembara, lagi-lagi tak ada yang dapat kukatakan tentang pemuda ini, sepeti kakaknya yang menyimpan berbagai misteri.

Kami berlima adalah representasi dari jiwa-jiwa yang tak berinti. Kami berdiri di atas lumpur pemahaman yang selalu bergerak. Kami mencari sesuatu yang hanya kami sendiri yang tahu. Tak ada dan tak dapat kami ceritakan hal-hal yang telah kami dapat dari pencarian ini, yang mampu kami suguhkan adalah diam.

Langit makin memerah, halus sekali perubahan warnanya, tanpa kami sadari, belum sepatah kata pun yang kami ucapkan. Saling menyapa pun tidak. Yang ada hanya isyarat yang terus menerus menindas kata-kata yang sedari tadi sudah berbaris rapi di ujung lidah kami. Aku mengerti karena ini bukan pertama kalinya kami berlima tak sanggup bicara dengan kata-kata.

Glagah makin menghitam dan menjadi siluet. Dalam fragmen senja kali ini masih terasa kebekuan yang nyata. Entah kenapa tahun-tahun ini seolah menjadi semacam sihir yang tiba-tiba saja melenyapkan keakraban, kehangatan, dan canda tawa.

Kupikirkan dalam-dalam apa yang sebenarnya terjadi, namun kebingungan menamparku lagi, karena apa yang kupikirkan tak mampu kupahami sendiri. Sepenggal pemahaman tersimpan rapat di kepala Han, sepenggal lainnya terkunci di mulut Kembara, sepenggal lainnya tersimpan rapi di benak Sekar dan laras.

Sore ini kutemukan arti diriku. Bahwa aku selalu tak kuasa hidup dengan mengandalkan kepalaku sendiri. Adzan maghrib berkumandang, kutengok ke arah mereka, dan yang kudapati hanyalah hamparan kebun tebu yang hitam sempurna. Kulangkahkan kaki, dan rasanya berat sekali, sepertinya kakiku tak hanya menyangga tubuhku sendiri, melainkan juga empat tubuh lain yang entah siapa.

(Madiun, 24 Mei 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya