Oleh: Fariha Ilyas
Han dan Kumandang Adzan
Sinar matahari menerobos sela-sela ventilasi kamarku, ia masuk setelah melewati jarak yang jauh sekali, menembus lapisan atmosfer bumi, luput dari hadangan awan dan setelah dengan mudah menembus kaca ventilasiku yang agak buram, tanpa ampun ia menghantam mataku.
Aku terbangun dari tidur yang entah seberapa lama. Dengan sedikit melihat ke arah cahaya kemerahan yang tajam itu aku tahu bahwa sore ini matahari memamerkan kuat cahayanya tanpa dibiaskan oleh awan-awan.
Kulangkahkan kaki menuju tempat biasa setelah membasuh muka dengan air yang sore ini terasa dingin sekali. Rupanya cahaya bergerak yang tadi hanya sebentar melewati ventilasiku merupakan isyarat bahwa aku harus bangun dan melangkah di sebuah jalan yang mestinya kulewati dalam rancangan takdir hidupku. Hal inilah yang baru kuketahui belakangan, setelah peristiwa yang akan kuceritakan ini usai.
Di pematang sawah yang tempatku biasa duduk, terlihat sosok yang tak asing, Han. Mungkin inilah hari yang memang telah ditentukan sebelum kelahiranku, hari yang mempertemukanku dengan Han untuk yang kesekian kalinya dan berdialog dengannya untuk yang pertama kalinya dalam hidup.
“Han....”. sapaku.
“Ya”
“Apa kabar kau, Han? Kemana saja kau selama ini?”
“Aku baik-saja. Aku pergi ke suatu tempat yang tak dapat kau bayangkan”
“Tempat macam apa yang kau maksud?”
“Suatu tempat yang penuh dengan cahaya, hingga aku tak mampu melihat apapun, bahkan diriku sendiri”
“Adakah tempat seperti itu di bumi ini, Han?”
“Ada”
“Di mana?”
“Tempat di mana saja kau berada”
“Bagaimana kau tahu itu, Han?”
“Aku mencari”
“Kemana kau mencari? Dengan apa?”, cecarku.
“Ke dalam diriku sendiri. Dengan diam dan melupakan”
Aku tak mengerti apa yang dikatakannya, namun tak lama kemudian adzan berkumandang. Suara pengumandang adzan itu akrab sekali, dan hampir setiap hari aku mendengarnya. Ya, itu suara bapak.
“Pulanglah! adzan maghrib telah berkumandang”, kata Han.
Aku diam saja tak menjawab apa-apa.
“Masih saja kau keras kepala rupanya”, Han membaca pikiranku.
“Aku tak bisa lagi Han, suara itu tak menggetarkan lagi”, aku berujar lirih.
“Hatimu telah mengeras, karena tak kau hiraukan lagi hal-hal di sekelilingmu, kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”, kata Han dengan suara yang meninggi.
“Kau pikir semua hal bisa kau tentukan ukurannya lewat dirimu sendiri? Kau pikir kau berhak menentukan apa yang sebenarnya harus dan tak harus kau lakukan? Kau pikir kau sedang berjalan di atas kebenaran?”, ia melanjutkan.
Aku diam saja karena aku memang tak sanggup berkata apa-apa. Han, kembali berucap:
“Kehidupan ini sudah cukup panjang, dan memang kita berhak memaknai kembali hal-hal yang hanya dikabarkan itu, dari situlah hidup menemukan artinya. Namun bukan berarti kita punya kebebasan mutlak menafsirkan segala hal dengan pandangan kita sendiri. Segala sesuatu itu tetaplah memiliki batas-batas, walau terlingkupi oleh relativitasnya masing-masing. Kau tetaplah harus memilih, dan pilihan itu mencakup segalanya, tak ada yang bisa kau tinggalkan dalam keutuhan sesuatu yang akan mengantarmu menuju hakikat dirimu. Hidup memang harus punya arti, itu semua hanya mungkin tercapai, dengan meleburkan diri kita ke dalam sebuah aturan yang lengkap, bukan setengah-setengah!”
Suara Han yang bertubi-tubi melebur dengan suara adzan itu, suara bapak. Hatiku seperti ditusuk-tusuk. Aku gemetar. Kedua kakiku yang sedari tadi terasa begitu kuat berdiri tiba-tiba terasa lumpuh.
Han berdiri, memandangku dan mengucap salam. Kemudian ia berjalan ke sebuah horizon maha luas yang mulai tak jelas lagi garisnya. Cahaya yang kian surut mempercepat lenyapnya sosok itu dari pandanganku.
Adzan hampir usai, menuju kalimat terakhirnya yang masih sangat kuhafal. Namun sebelum itu jasadku telah roboh.
(Madiun, 12 Juni 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya