Rabu, Oktober 19, 2011

RINDU BAYANG-BAYANG

Oleh: Fariha Ilyas

Tak terhitung lagi hikayat tentang malam purnama yang diwarnai berbagai peristiwa. Rembulan purba yang mencapai puncak terang cahayanya selalu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi makhluk yang berpikir di bumi, walau rembulan di hari-hari biasa tak kalah menariknya.

Malam ini, sebagaimana yang telah kita ketahui, adalah malam pertunjukan bagi sang rembulan purba. Malam ini ketelanjangan sang rembulan terumbar tanpa selubung gelap yang di hari-hari lampau masih menjadi tabir kesempurnaan cahayanya.

Inilah salah satu kisah kecil di malam purnama itu:

Kembara dan suatu malam yang terang oleh cahaya purnama. Ia berjalan sambil menunduk di sebuah jalan panjang tanpa pepohohan di kanan-kirinya. Sebuah hamparan yang luas nampak jelas di hadapannya, namun ia abaikan itu. Ia begumam dalam hati tentang kerinduan akan bayang-bayang.

Suatu ketika di waktu lampau, seseorang pernah berkata kepadanya bahwa yang paling menarik dari malam purnama bukanlah terang cahaya yang berpendar menguningi segala benda, melainkan kepekatan bayang-bayang yang diciptakannya.

Kembara merenungi kembali ucapan seseorang itu. Ia terus berjalan, sembari menatap bayang-bayang diri yang hitam, walau tak sepekat bayang-bayang yang dilukis matahari saat siang. Ia lega karena malam ini segenggam kerinduannya akan bayang-bayang telah terobati. Ia lega sekaligus mulai resah jika harus kembali ke tempatnya semula, sebuah tempat yang penuh lampu. Kembara bukan tak suka kepada bayang-bayang yang dilukis oleh lampu-lampu, ia hanya rindu pada keteraturan yang tercipta saat sang rembulan yang melukiskannya. Bayang-bayang akan jatuh seirama. Itulah.

Namun bukan hanya itu.

Dengan menatap kepekatan bayang-bayang, ia tahu bahwa di atas sana rembulan masih bercahaya terang, mendatangkan keyakinan bahwa matahari masih bersinar dan akan menyapanya lagi esok hari. Cahaya rembulan adalah harapan akan sebuah kehidupan yang akan menjelang.

Bagi kembara memang tak ada yang lebih menenangkan selain dapat menemukan bayang-bayangnya sendiri yang dilukis oleh rembulan. Saat bayang-bayang mulai hilang, kecemasan akan sebuah kehidupan hari esok pun mulai menyeruak. Untuk itulah ia selalu bersujud saat bayang-bayangnya mulai terlukis, walau samar. Ia tahu bahwa rembulan telah muncul kembali, walau hanya sebagai sebuah garis lengkung yang lemah cahayanya. Soal kepekatan bayang-bayang, soal purnama, ia akan datang seiring waktu.

Entah kenapa Kembara sepertinya terbawa oleh pikiran seseorang yang banyak berujar kepadanya tentang keberadaan diri. Orang itu berkata bahwa kita selalu memerlukan pantulan diri kita untuk yakin bahwa kita masih ada. Untuk itulah kita masih senang bercermin.

Bayang-bayang, walau tak sesempurna cermin dalam merepresentasikan diri kita, ia tak mengundang kekecewaan karena ia tak mengumbar banyak tentang ketidaksempurnaan diri kita yang seringkali kita temukan dalam hal-hal kecil. Bayang-bayang hanya menyajikan bentuk kita yang paling mendasar. Tak banyak perbedaan diantara kita yang akan tersaji dalam bayang-bayang itu. Bayang-bayang mencegah kita menemukan perbedaan-perbedaan yang tak terlampau perlu dilihat, apalagi diperdebatkan.

Kembara terus berjalan sembari mematut diri. Menggali hakikat dan berupaya meletakkan dirinya dengan tepat, agar selaras dengan semesta yang melingkupi.

Demikianlah satu dari jutaan hikayat malam purnama.

Malam ini purnama berpadu dengan gerhana, kita tak terlampau cemas akan hilangnya cahaya itu. Karena kita tahu bahwa ia hanya sementara. Kita lebih cemas jika suatu ketika bayang-bayang kita lenyap, karena akan timbul pertanyaan: cahayakah yang tiada? atau diri kita yang sirna?

(Saat rembulan kemerahan. Dini hari, 16 Juni 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya