Oleh: Fariha Ilyas
Dari cinta kita bermula, begitulah kira-kira. Kita lahir dari buah cinta dua manusia yang ingin berpadu menapak hidup, bersama menjejakkan langkah menuju kehidupan yang paripurna, begitu katanya. Seperti kita pula, mereka-orang tua kita- adalah manusia yang hidup dengan menghirup wewangian cinta yang menembus zaman. Barangkali cinta adalah makhluk yang dikaruniai usia paling panjang di alam ini, seperti halnya antitesisnya: Kebencian.
Saat kita tumbuh dan mengakrabi semesta kenyataan, dengan sendirinya kita mulai meraba-raba hakikat sebuah rasa yang karena begitu kompleksnya membuat kita pantas memprotes perihal terlalu singkatnya nama yang diberikan untuk melabelinya: Cinta. Ringkas, tak serumit kenyataannya. Ya, bahasa kadangkala hanya menjadi tempat bersembunyi bagi hal-hal yang kadang terlalu dahsyat untuk bermanifestasi dalam bentuk lain. Maka dari itu kita cukup mengetik pesan singkat: “I love U”, misalnya, untuk memadatkan kecamuk dalam dada, gelora yang paling universal dalam benak manusia ini. Yang kadangkala saking besarnya bisa-bisa ia membinasakan orang yang kita cintai jika ia dapat mewujud dalam benda.
Dalam perjalanannya, cinta menjadi sesuatu yang begitu lentur untuk dimaknai, ditafsirkan. Banyak sekali makna cinta yang lahir dan terus membiak, yang berkaitan erat dengan kebudayaan dan spirit zaman di mana manusia menjadi bagian yang ada di dalamnya, melahirkannya, sekaligus terpengaruh olehnya.
Tarik ulur makna cinta itu sendiri menjadi sebuah epik yang rupanya menjadi kekhasan daripada cinta. Ya, kita tak pernah mendapati cinta yang mati dalam kebekuan makna, ia selalu hidup dan bergerak, berubah betuk tanpa kita sadari. Itulah kenapa kita selalu bisa bicara tentang cinta, atau diam-diam menghidupinya dalam hati, tanpa alasan yang jelas. Kita sulit mengerti kenapa cinta mampu mengambil tempatnya sendiri dalam benak kita, seperti yang juga dilakukan oleh antitesisnya: Kebencian.
Untunglah cinta itu abstrak, jika tidak, maka kita tak punya ruang kecuali hanya sejengkal saja untuk menafsirkannya. Cinta, kadangkala mengambil tempat yang jauh lebih sublim daripada tuhan. Jarang orang ingin adu mulut, saling menyakiti, atau membunuh karena berselisih paham tentang cinta. Karena bisa jadi orang masih merasa bahwa cinta memang punya fungsi dalam menggerakkan batin dan pikiran kita, atau setiap orang secara tak sadar mengakui bahwa mereka dilahirkan dari cinta, mereka adalah anak-anak cinta. Cinta sesuatu yang melingkupi manusia dengan disertai banyak keterlibatan manusia dalam membentuk gambarannya. Cinta tak menjadi terlalu kabur saat ia disebut dengan berbagai nama, bermacam istilah. Bahkan sehari-hari kita biasa meminjam istilah dari kebudayaan yang lain untuk mengatakan cinta kepada sesama kita, kekasih, atau keluarga.
Kali ini tuhan kalah mampu dengan ciptaannya sendiri dalam memengaruhi dan mengakrabi manusia. Jangan-jangan tuhan telah melakukan kesalahan dengan menyebut namanya sendiri dalam kitab suci. Hingga kita seakan telah benar-benar mengenalnya dengan mengetahui namanya, lalu kita berhenti, atau memang kita yang terlalu bebal dengan panjangnya sejarah, yang bisa jadi telah terlalu rumit untuk diurai kembali, agar kita bisa menerima jika memang ada kemungkinan bahwa tuhan juga memperkenalkan diri dengan nama lain kepada kita. Kita lebih akrab dengan cinta tuhan barangkali, daripada dengan tuhan itu sendiri. Karena tuhan rajin bersembunyi di balik teks, sedang cinta rajin menyeruak ke dalam perilaku dan buah karya manusia. Tuhan tak beranak, tapi cinta telah beranak cucu, kita adalah anak cucunya.
Kita, anak-anak cinta, kita lahir bukan dari cinta yang beku makna, kita lahir dari proses bergulirnya makna cinta dari zaman ke-zaman, dari generasi ke-generasi, kita lahir dalam pergulatan manusia dengan sesuatu yang selalu ingin ia pahami. Untuk itulah sampai hari ini kita pun tak lelah bicara tentang cinta, karena cinta tak pernah selesai, ia adalah roh kehidupan. Bisa jadi kehidupan inilah cinta yang sebenarnya.
Tak mengherankan jika kita selalu mencari makna cinta dengan berbagai cara, karena tak lain tak bukan kita sedang mencari asal-usul kita sendiri, dengan membaca jejak-jejak antara yang usang-yang terpatri dalam sejarah, sambil mencoba merasakan yang aktual, yang sedang berlangsung, yang bergetar dalam hati sanubari kita.
Hari ini kita lihat di etalase, di televisi, di majalah-majalah. Sekarang semakin banyak benda-benda yang ditawarkan untuk mengungkapkan cinta, banyak sekali acara di televisi yang menampilkan berbagai cara yang unik dan nyeleneh untuk mengatakan cinta, berbagai tips untuk menyatakan cinta. Menarik sekali sepertinya, kita menjadi kreatif sekali membiakkan semesta simbolis dari cinta. Tapi kadang ada semacam tanya dalam hati, jangan-jangan semua ini adalah akibat dari frustasinya umat manusia dalam menjelaskan cinta.
Saya sendiri juga masih belum ngeh. Makin saya tulis, makin membuat kepala saya sendiri pening. Hehehe.....
(Dini hari. Surakarta, 15 Agustus 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya