Oleh: Fariha Ilyas
Empat belas hari, empat belas hari aku berusaha menjelajahi apa yang dapat kupahami atau kuterka dari semua hal yang pernah terjadi.
Satu hal saja telah membuatku kehabisan tenaga, aku berpikir tentang satu hal yang menjadi puncak pencarian manusia, Cinta. Sebelum membicarakan hal itu banyak sekali tahap-tahap yang mestinya kita lewati.
Dalam alur pikirku yang tak beraturan ini aku mulai merasakan sempitnya dunia kita masing masing. Aku merasa hidup dalam sangkar kecil saja, ada ketakutan luar biasa untuk keluar, berdiri dengan gagah dengan keseluruhan diri kita yang sebenarnya. Aku berada di lingkaran nyaman yang hanya sejengkal saja luasnya.
Aku hanya mampu menjadi diriku dihadapan sedikit orang. Selebihnya aku hidup dengan topeng dan jubah-jubah yang menyembunyikan diri dari keasliannya. Denganmu aku merasa jauh lebih baik, walau tetap saja ada sesuatu yang kusembunyikan jauh di dasar hatiku. Hal itu membuatku bertanya-tanya, apakah setiap orang juga mengalami hal yang sama? Apakah setiap orang memang memiliki rahasia-rahasia yang akan terus disimpan jauh di dasar hatinya. Sebuah rahasia yang bagiku merupakan kata kunci yang akan membuat kita selalu memiliki ruang untuk tuhan sepanjang hidup kita.
Aku merasa berat sekali menjalani hidup tanpamu yang paling mengerti aku. Betapa tidak nyamannya hidup ini saat kita menjalaninya dengan menipu diri kita sendiri, menghianati sesuatu yang walaupun belum tentu benar namun telah kita pilih dan tetapkan di hati kita. Aku merasa jijik saat aku memaksa diriku untuk melupakanmu.
Pernah kukais-kais rasa benci dari dasar hatiku hanya untuk memudahkan diriku melupakanmu. Pernah kuyakinkan diriku bahwa kau tak pantas terlalu kucintai hanya untuk membuang diriku sendiri dari perasaanku yang sebenarnya.
Betapa sulit bagiku untuk melupakan kisah. Sepertinya kita memang dihukum untuk mengingat banyak hal. Bisa saja kita tak merasa ada yang salah perihal ingatan yang kita miliki ini. Namun menurutku butuh lebih dari sekedar hati yang luas untuk menampung segala ingatan yang tak seluruhnya dapat kita terima dengan lega, atau kadang justru kita ingkari, naif sekali.
Saat aku mengingat segala kebaikan masa lalu, aku tersenyum dan ingatan mendatangkan semacam kebahagiaan yang rasanya selalu aktual. Kebahagiaan yang tak habis-habis, tak pernah hilang. Saat kuingat beberapa kesalahan masa laluku, aku hanya sedikit tersenyum karena saat ini aku telah mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Hanya terjadi riak kecil dalam pikiranku saat mengingatnya. Namun saat aku teringat tentang sesuatu yang belum terjawab, sesuatu yang enigmatik, aku menjadi seperti dihantam gelombang mahadahsyat yang menghempaskanku ke karang-karang tajam, sakit sekali dan aku terluka lagi.
Betapa beratnya memiliki ingatan, apalagi ingatan tak pernah memiliki jadwal tetap untuk menyeruak. Saat mata ini baru saja terbuka seringkali yang pertama terjadi adalah sebuah tragedi yang usang, namun selalu melukai. Aku hampir mati dalam tragedi ingatan ini.
Dalam hiruk-pikuk kehidupanku ini, dalam kehidupan yang lengkap ini, sebenarnya tersimpan sebuah ruang kecil dalam ingatanku, yang-walaupun kecil-merupakan sebuah tempat yang tak tersentuh kuasaku untuk menghapuskannya.
Setelah sekian lama aku bergulat dengan pencarian ini, sekarang hadir keinsyafanku akan diri kita, orang-orang biasa ini. Telah kutemui banyak orang yang dikaruniai kemampuan luar biasa untuk melakukan hal-hal yang jauh lebih hebat dari apa yang mampu kupikirkan. Dapat kau bayangkan bagaimana perasaanku saat itu. Aku, orang biasa -yang harus mengalami berbagai kesulitan untuk sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan hidupku yang sederhana- tentu merasa jatuh tersungkur, aku merasa tak pernah mencapai apa-apa.
Kemudian aku teringat tentang kita, anak-anak manusia yang sedang dalam pergulatan, terombang-ambing perasaan yang belum sepenuhnya mapan. Bukan maksudku untuk mengendurkan gairah pencarian kita. Aku hanya ingin kita membaca kembali cerita tentang kita, orang-orang biasa. Kita tak pernah menemui hal-hal yang dihadapi manusia-manusia raksasa itu, kita tak pernah memikirkan hal-hal yang dipikirkan oleh mereka yang telah menaklukkan waktu, menggoreskan nama mereka dalam sejarah peradaban manusia.
Aku ingin kita meresapi kembali dan tak sekedar membaca cetak biru diri kita, orang-orang biasa. Agar kita mengerti bahwa tak ada hal-hal istimewa yang kita miliki. Tak ada benteng baja di hati kita yang begitu mudah lumpuh oleh sedikit kekecewaan. Tak ada gemerlap cahaya kecerdasan yang memancar dari pikiran kita yang mudah suram saat sedikit saja kesulitan membungkusnya. Aku ingin kita tahu bahwa kita adalah orang-orang biasa.
Kita hidup dan menatap hidup sebagai orang-orang biasa, kita pun kelak akan mati sebagai orang-orang biasa. Tak lebih dari catatan kaki sejarah. Hanya pelengkap, bukan bagian utama. Karena kita orang-orang biasa.
Aku sungguh berharap kau selalu menggores kisahmu, dalam lembar-lembar yang telah akrab, dalam keseharian yang sederhana, kita orang-orang biasa hanya mampu menuliskan diri kita sendiri agar tak hilang oleh waktu yang selalu melahirkan pembaharu kita dalam berpikir dan bertindak. Aku berharap kita semua merasakan kegagalan yang menyakitkan, yang menghabisi seluruh semangat yang kita miliki, membunuh ruh perjuangan yang kita hidupi. Aku ingin kita merasakan hal itu. Karena hanya itulah peluang kita untuk merubah jalan hidup ini. Saat kita hampir binasa, di hadapan kita akan terbentang pilihan. Saat itulah akan muncul kesempatan untuk kita. Karena sepanjang yang kuketahui, para raksasa juga mengalami hal itu, dan mereka memilih menjadi raksasa, bukan memilih menjadi orang biasa.
Sayangku, aku sadar bahwa aku sering berpikir bahwa akulah tokoh protagonis dalam cerita hidup ini. Aku selalu merasa akulah yang paling berhak atas segala hal yang kuingini. Aku melenyapkan kemanusiaanmu, mengabaikan bahwa kau adalah pribadi yang punya hak untuk berkeinginan, memilih, dan menikmati apa yang paling kau damba dalam hidupmu. Orang lain yang selama ini kuanggap sebagai antagonis pun tentu demikian. Tak ada lagi pilihan selain mendewasakan diri kita, memperluas jiwa kita, agar kita tak hanya hidup dalam sebuah dunia sempit yang ternyata tak lebih dari hasrat kita yang membatasi. Hasrat yang selalu menjadi penghalang kita untuk mencapai hal-hal yang paling subtil dalam hati kita. Menggapai kemanusiaan kita sendiri.
Cintaku, tak pernah dan takkan pernah ada kata-kata atau karya seni yang mampu menggambarkan cinta dan keindahan sesungguhnya. Keindahan yang bukan dari sudut pandang kita, keindahan yang asali, yang tak mewaktu, tak berubah nilai.
Hari ini, kita semua masih bergulat untuk mencapai itu semua, atau setidaknya mencoba mencari jalan untuk menapaki pemahaman yang terus berubah setiap waktu seperti yang sama-sama telah kita ketahui.
Cinta yang kita pikir sebagai salah satu puncak keindahan itu akhirnya roboh berkeping-keping. Bagiku itu adalah luka, sekaligus petanda bahwa apa yang kita pikirkan masih saja tak mampu melampaui kenyataan yang berisi serba kemungkinan.
Aku akhirnya memutuskan untuk membuang jauh-jauh rasa benci dan kecewa ini. Karena apapun yang kubenci akan berpulang pada diri sendiri. Aku tetap hidup karena aku masih memiliki keyakinan, atau barangkali hanya sekedar hayalanku saja. Aku berkahayal tentang suatu masa, yang kelak akan menimpa kita semua, saat aku bersatu dengan seluruh manusia, seluruhnya, tanpa perasaan apapun, tak ada rasa lagi. Tak ada rasa di saat kita semua bersatu dzat yang merupakan asal mula kita dan asal mula segala.
Pada akhirnya segala resah kudaratkan dari alam pikirku ke dunia melalui kata-kata, aku ingin mengungkapkan cinta lewat huruf-huruf yang sederhana ini, karena aku yakin bahwa kalimat-kalimatku akan mampu bertahan lebih lama daripada ragaku, daripada perasaanku sendiri yang sangat mungkin akan berubah.
Aku memilih untuk memeluk cinta yang kudamba, yang menghangatkanku, menggerakkan pikiran dan jari-jemariku. Aku memilih cinta yang mampu membuatku mencipta keindahan, walau bahan dasar keindahan yang kuciptakan adalah luka.
Tuhan, pernah aku minta kepadamu berbagai macam hal yang kuingini. Saat aku tak sanggup merebutnya dalam kehidupan yang sarat oleh jejaring simbol moralitas ini, aku bersimpuh kepadamu, meratap dan memohon agar kau saja yang melakukan semuanya. Dalam benakku itulah cara yang sah. Hari ini aku menyesal, karena do’a permintaanku tak lebih hanya bentuk lain dari keserakahan dan keculasanku, keinginan merebut apa yang orang lain inginkan, apa yang orang lain impikan.
Tuhan, malam ini aku tak meminta apa-apa, aku hanya ingin menyapamu, terserah kau sajalah, kehendakmu tak dapat kuatur. Aku tak ingin menambah rumit alam cita-cita manusia yang aku yakin sudah sangat kompleks, yang setiap malam menjadi dunia tersendiri entah di mana tempatnya. Tak dapat kusangkal lagi hanya engkau yang mampu dengan sempurna mengatasi keinginan-keinginan manusia yang berlawanan satu sama lain. Aku sebenarnya malu karena tak mampu menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah yang lain. Jika ternyata aku mampu, kudapati masalah itu ada pada ketidakmampuanku untuk memikul risikonya sepanjang waktu.
Sebentar lagi aku akan tidur, akan hilanglah segala hasrat yang menggelayuti pikiranku. Jika ada kesempatan kau berikan, esok akan kukirimkan surat ini kepada seseorang. Namun jika kau ingin memanggilku hari ini, panggillah aku dalam tidur, saat aku tak berhasrat, karena hanya saat tidurlah aku tak punya keinginan apa-apa, tak memikirkan apa-apa, sedang saat mencoba bersujud di hadapanmu aku belum mampu melenyapkan hasratku.
(Pada Suatu Malam Biasa)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya