Oleh: Fariha Ilyas
“Aku melihatnya sekali berdansa di depan patung Balzac. Wajahnya sangat tampan, tangannya sangat anggun, sama seperti ia melambaikan senyumannya. Ia adalah semua diriku dulu, maka aku curi momen itu dan menyimpannya ke dalam pikiranku, untuk menghiburku di akhir hayatku” (Pierre Auguste Renoir, dalam The Winner)
Yang dimaksud dalam catatan Renoir tersebut adalah Modigliani, nama lengkapnya Amedeo Modigliani, yang lebih suka dipanggil “Modi”, seorang seniman asal italia. Modi yang semasa hidupya bersinggungan dengan Pablo Picasso saat ia merantau di Paris merupakan seorang seniman yang unik. Hidupnya yang berliku, kegemarannya mabuk-mabukan dan sifatnya yang cenderung temperamental (walau sebenarnya ia juga seorang pria yang sangat romantis) membuat ia selalu dikenang sebagai seniman yang eksentrik.
Modi terkenal dengan lukisannya yang tidak lengkap pada bagian mata. Ia memiliki aturan untuk dirinya sendiri bahwa ia akan melukis mata orang yang dilukisnya saat ia telah mengetahui jiwa orang tersebut. Lukisan-lukisan pertamanya yang modelnya adalah Jeanne yang tak lain adalah istrinya sendiri juga tak bermata lengkap.
Malam pembukaan kompetisi lukis, tepuk tangan yang gemuruh tak henti setelah kain penutup lukisan dibuka. Sesosok perempuan berpakaian biru duduk dengan kepala tertunduk, sebuah pose yang tak terlalu istimewa. Namun yang menakjubkan adalah kedua bola mata perempuan dalam lukisan tersebut, yang menjadi pengundang tepuk tangan yang bergemuruh. Mata perempuan itu mengungkapkan seluruh dunianya, hidupnya, cintanya. Mata perempuan itu laksana lembar-lembar kehidupan yang terbuka, seperti sebuah buku, namun lebih ajaib daripada buku. Buku harus dibaca, sedang sorot mata perempuan itu bicara, dan yang mendengar adalah mata setiap orang yang menatapnya.
Itulah karya Modigliani, lukisan yang berjudul “Jeanne” itu tak pelak membuat hampir seluruh pengunjung galeri menangis, reputasinya dalam melukis potret yang sangat terkenal membuat orang terhenyak pada malam itu saat mereka menyaksikan karyanya. Akhirnya ia melukis mata seseorang.
Jeanne-seperti pengunjung galeri malam itu- juga terisak, air matanya mengalir deras sekali, ia tersedu, haru, sebiru lukisan pria yang amat dicintainya. Malam itu Jeanne menemukan keutuhan cintanya dengan Modi. Ya, Modi telah mengenal jiwanya. Terngiang-ngiang di telinganya kata-kata Modi dulu saat mereka baru saja merajut cinta, saat Modi menjadikannya objek suci untuk lukisan-lukisannya: “Jika aku mengenal jiwamu, aku akan melukis matamu”.
Di saat yang sama, pria yang selalu setia dengan botol minumannya, sekarat di atas salju tebal, berdarah dan merintih tak berdaya. Malam itu Modi dianiaya oleh perampok jalanan.
Tak lama berselang Modi menghembuskan nafasnya yang terakhir. Perasaan Jeanne hancur saat pria yang paling ia cintai telah tiada. Mereka telah lama saling mencintai, tak ada yang meragukan itu. Namun Modi, sebagai seseorang yang benar-benar ingin mencintai Jeanne sepenuhnya tak ingin membuat sesuatu tentang Jeanne tanpa benar-benar yakin tentang apa yang ia ketahui tentang Jeanne.
Itulah kenapa Jeanne sangat mencintai Modi. Ia memang ingin dicintai dengan sungguh-sungguh, tidak hanya dengan dasar perasaan, namun juga berdasar pada kenyataan yang apa adanya tentang diri, hidup, dan perjuangannya mempertahankan cinta yang mendapat banyak tantangan karena ia Kristen dan Modi adalah seorang Yahudi.
Kisah cinta berbalut upaya manusia mencapai kebenaran lewat seni yang merupakan jalan hidup Modi dan Jeanne mungkin sudah cukup untuk menjadi penjelasan tentang apa itu kebenaran cinta. Cinta tak melulu romantis, ia kadang datang terlampau dramatis, menerjang, mengoyak, dan saat ia ada di hadapan kita, kita dipaksa menangis. Itulah saat kebenaran tiba.
Mungkin saja.
(Surakarta, 23 September 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya