Oleh: Fariha Ilyas
Jam dinding tua tak berdetak, jarum panjangnya berhenti di angka lima, jarum pendeknya terpaku di angka sembilan. Sudah tujuh tahun roda-roda mekaniknya tak saling merengkuh, bergesek dan menggerakkan.
Di bawah jam kotak yang kacanya buram dan berdebu itu duduk seorang perempuan renta, mbok Nar, begitu ia biasa dipanggil. Sedari subuh tadi mbok Nar hanya duduk termangu di kursi tua yang terbuat dari kayu dan anyaman rotan, tatapannya kosong, mulutnya terkatup rapat, dan badannya seperti beku, tak bergerak. Di sampingnya terdapat meja kayu berbentuk bundar yang tak terlalu besar, di atasnya terpampang foto seorang pria yang berjaket tebal, menyandang tas carrier dan mengacungkan tangannya tangan terkepal ke udara.
Sementara di luar angin musim kemarau yang kencang dan dingin terus saja berlalu, menghampiri orang-orang, daun, dan rerumputan. Beberapa layang-layang masih menghiasi langit pagi, layang-layang yang sengaja dipanjer oleh pemiliknya. Suara takbir yang tak putus-putus sejak sore sebelumnya terdengar jelas dari pengeras suara masjid, takbir itu kian terasa penuh semangat pagi itu.
Dunia mbok Nar ternyata tak setenang tubuhnya yang seolah beku. Pagi itu adalah pagi paling riuh dalam hati dan pikirannya. Ia tak mempersoalkan dirinya yang mulai pikun atau seringkali terhuyung saat berjalan, keadaan itu bagi mbok Nar sudah disadari sebagai kelaziman, usianya memang sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi mbok Nar kadangkala menjadi manula yang sangat kesepian, itulah yang paling membuatnya sering bersedih hati. Tiga puluh satu tahun yang lalu anak mbok Nar satu-satunya yang kala itu beranjak remaja meninggal saat mendaki gunung di wilayah timur pulau Jawa. Mbok Nar dan suaminya merasa sangat terpukul dengan berpulangnya anak meraka yang terkasih.
Mbah Ram, suami mbok Nar, menyusul puteranya tujuh tahun lalu, mbok Nar pun mau tak mau harus menjalani sisa umurnya seorang diri. Dalam kesepian inilah kesedihan sepertinya menjadi mudah hinggap di hati perempuan tua yang baik hati itu. Kesedihan mbok Nar memang tak terlampau menyentuh hati tetangga atau kerabatnya, karena seolah seorang yang telah berumur tua itu memang harus kuat dan tabah menghadapi cobaan hidup, salah satunya adalah cobaan ditinggal orang-orang terkasih. Umumnya orang tentu lebih iba kepada anak yang ditinggal mati orang tuanya, daripada seorang tua yang ditinggal mati anaknya.
Mbok Nar memang tak hidup kekurangan karena suaminya mewariskan sawah yang cukup luas, yang selama ini digarap oleh beberapa buruh tani. Mbok Nar sendiri sebenarnya tak terlalu memikirkan hasil sawahnya yang digarap, ia hanya perlu sedikit saja dari hasil yang dapat dipetik, ia hanya bituh sekedar untuk makan sehari-hari, selebihya ia serahkan sepenuhnya pada para menggarap sawahnya yang rata-rata memang kurang layak hidupnya.
Sehari-hari mbok Nar membunuh waktu dengan menjaga warungnya yang sederhana, yang menyediakan minuman teh dan kopi beserta beberapa makanan sederhana. Orang-orang kadang heran kenapa mbok Nar yang sudah tercukupi mau bersusah-susah dengan membuka warung. Namun lambat laun orang mengerti kalau mbok Nar sebenarnya butuh teman bercengkerama, tak lebih.
Pagi itu, saat semburat merah di langit timur semakin hilang dan cahaya pagi semakin terang, pagi itu diantara gema takbir yang mengiringi langkah orang-orang menuju masjid, saat banyak orang merasakan kebahagiaan, saat itulah rasa rindu bagi mbok Nar semakin terasa keras, dan rindu yang keras itu berhenti di kerongkongannya.
Rindu memang tak pernah permisi, seperti halnya cinta dan kesedihan yang mudah saja datang dan pergi dalam hati manusia. Rindu juga tak pandang usia, status, dan jenis kelamin, ia adalah atribut perasaan seluruh manusia yang kadangkala merasa berat menanggungnya.
Butir-butir bening meluncur dari mata sayu itu, yang kelopaknya telah rapuh dan cekung. Butiran hangat itu terus meluncur pada permukaan kulit yang kisut keriput, berhenti sebentar di dagu mbok Nar, kemudian jatuh meresap di kain jariknya. Air mata yang masih sempat tertahan di pekuburan, mbok Nar urung menangis karena di sana ia menjumpai benyak sekali orang yng kehilangan sepertinya, Warto yang bapaknya baru saja habis selamatan kematiannya, Nisa dan Alfi, kakak- beradik yang cantik itu terpejam matanya, mereka khusyu’ dalam do’a di depan makam ibunya, atau mbok Warsi yang setiap tahun juga tak pernah absen nyekar ke makam mbah Din, suaminya. Semua orang yang sama-sama merasakan kehilangan itu membuat mbok Nar merasa lebih tegar.
Namun hati tetaplah hati, dan manusia yang serba terbatas tentunya wajar jika ia tetap merasakan kesedihan, seberapa kuatpun ia, seberapapun rentanya, seberapapun banyak ilmunya, manusia tetaplh boleh bersedih atau menangis. Selama hidup memang kita hanya bergulat secara lahir dan batin dengan sesama kita, bahkan lewat orang lain pula tuhan menyentuh kita.
Di bawah jam dinding kuno yang dulu selalu diputar oleh suaminya, di bawah penanda waktu yang tak berfungsi itu, di samping foto anak lelakinya, pagi itu mbok Nar berada dalam rindu. Hanya rindu. Rindu yang sunyi, sunyi sekali, menahun, membatu dan menggerogoti jiwa. Rindu itu hanya berhenti di kerongkongan, tak terkatakan.
Sementara takbir terus saja berkumandang. Namun mbok Nar sedari tadi tak mendengar apa-apa. Hanya ada butiran bening yang semakain sering.
Dan rindu selalu riuh, ia menari-nari, dalam sunyi.
(Untuk rindu yang tak kupahami. Madiun, 30 Agustus 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya