Oleh: Fariha Ilyas
Kadangkala ada yang janggal saat banyak ritual ibadah yang pelan-pelan berubah wujud menjadi sebuah rutinitas belaka. Memang dimensi waktu yang dipadu dengan titik-titik pemberhentian yang nyaris sama seringkali membuat kesan bahwa rutinitas adalah sesuatu akan lahir dengan sendirinya seiring gerak kontinyu kita. Ya, rutinitas adalah anak sah dari kontinuitas. Namun di saat yang sama, kehadiran yang lain (the other) menjadi sebuah kerinduan tersendiri dalam memoles rutinitas menjadi sesuatu yang selalu sarat makna, sesuatu yang aktual, yang tak boleh usang karena sudah menjadi terlalu biasa.
Sepanjang hari selama sebulan ini kita yang berkewajiban menjalankan ibadah puasa dituntut untuk mengurangi apa yang dirasa berlebihan dalam diri kita. Apa yang dirasa berlebih itu tentu menjadi sesuatu yang berbeda dalam diri masing-masing orang. Tetapi toh kita perlu sebuah aturan yang jelas untuk mengawal segala bentuk ritual ibadah, yang tujuannya adalah sebuah ketertataan. Menahan diri dari makan dan minum adalah salah satu bentuk simbolisme dari upaya untuk mengarungi samudera makna dari: menahan diri.
Namun fenomena yang terjadi dalam keseharian seringkali tak sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari ritual ibadah yang diperintahkan untuk dijalani dan dihayati para penganutnya. Entah kenapa ritual ibadah yang sarat simbolisme seringkali hanya berhenti pada tataran permukaannya saja, kering, dan hampa makna. Puasa yang menjadi medan berlatih untuk membentuk pribadi yang mampu menahan diri-tidak selalu meloloskan keinginan- selamanya hanya menjadi medan berlatih, tanpa hasil berarti.
Sering orang mempersiapkan ibadah puasa layaknya orang yang akan menjalani sebuah hukuman. Makan dengan porsi yang sekiranya mampu membuat tubuh tak merasakan efek yang jauh berbeda dengan kondisi normal. Tak salah memang, karena selama kita berpuasa kita mestinya memang beraktifitas seperti adanya. Rasa lapar, haus, memang sebuah kondisi yang disimulasikan untuk membuat diri kita menemui tubuh kita yang sebenarnya tak dapat dilepaskan dari asupan nutrisi yang menghidupinya, dan yang lebih penting lagi adalah berjaraknya tubuh dengan keinginan yang selalu muncul dari rasa kurang yang kita miliki. Tubuh adalah penampung sebagian dari keinginan-keinginan kita yang bendawi. Dengan berjaraknya tubuh dengan akibat-akibat dari keinginan itu, ada peluang bagi diri untuk mendapati tubuh yang apa adanya.
Sekiranya memang demikian makna berpuasa, maka akhir dari bentuk ibadah ini tentunya akan jauh dengan sebuah perayaan yang penuh dengan kegiatan yang kembali mengasingkan tubuh, yang hanya menjadikan tubuh sebagai penampung benda-benda yang kita inginkan. Tubuh membutuhkan sesuatu yang takarannya sering kita manipulasi atau termanipulasi oleh nafsu yang tak kita sadari.
Kemenangan, yang sering kita teriakkan bisa jadi hanya sebuah kekosongan belaka jika kita gagal menemui tubuh kita. Dengan gagalnya pertemuan dengan tubuh, kita tentunya akan sulit menggapai yang batin, yang rohani, yang maknawi. Karena dalam keseharian, tubuh sringkali malah menjadi korban dari keinginan-keinginan yang tak diperlukannya.
Puasa adalah jalan pertemuan dengan tubuh, yang wajar, yang biasa, yang selayaknya. Pertemuan dengan tubuh membuat kemunculan yang lain (the other) menjadi jelas, yang kita sering sebut sebagai kepekaan, empati, dan timbulnya rasa kebersatuan dengan sesama makhluk tuhan. Hal inilah yang menegaskan bahwa segala bentuk ritual ibadah tidak hanya berfungsi sebagai bentuk ketaatan dan jalur komunikasi vertikal dengan tuhan, melainkan (yang utama) adalah sebuah upaya perbaikan diri yang mengarah kepada kehidupan sosial kemasyarakatan yang horizontal.
Niat, selalu kita tujukan kepada yang memiliki otoritas dalam menilai kualitas ibadah kita. Sedang akibat, selayaknya kita tujukan dan buktikan kepada sesama yang walaupun tidak memiliki otoritas dalam menilai kualitas ibadah kita, namun akan menjadi indikator tingkat keberhasilan kita menata diri selama berpuasa.
Semoga puasa kita tidak selalu menjadi latihan. Dan yang lebih menakutkan hanya menjadi budaya yang hampa makna.
(Surakarta, 9 Agustus 2011)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya