Milik Siapa

Oleh: Fariha Ilyas

Setengah empat sore, saat aku duduk di hadapan fotomu yang tergantung di dinding. Kuhela nafas panjang, dan aku mulai kembali mencoba berdialog denganmu lagi, Sekar.

Aku tak henti bersyukur karena aku pernah menjalani waktu yang cukup lama denganmu. Aku bahagia karena kau setia mendampingiku melewati banyak peristiwa dalam hidup ini. Aku pun yakin kau dibanggakan oleh anak-anak kita.

Namun ada yang lebih dari itu, Sekar. Ada yang ingin selalu kutanyakan padamu, suatu pertanyaan yang tidak bisa kau jawab saat kau masih ada di sini. Jika sekarang aku adalah orang yang masih diberi kesempatan untuk mencintaimu, apakah kau juga masih mencintaiku?

Aku sungguh telah mengerti aku tak akan mendapat jawabannya. Namun aku juga telah lama tahu kapan aku harus bertanya. Saat kau masih ada di sini, pertanyaan itu tidak pantas kulontarkan, karena kau berada di tempat yang tak memungkinkan untuk menjawab.

Kini kau berada di tempat dan waktu yang tak pasti.

Rasa kehilangan menjadi pengganti keberadaanmu yang telah usai, telah habis waktumu. Aku tak bisa menemani perjalananmu menuju ke sebuah kehidupan yang dijanjikan itu, yang kekal itu. Telah habis waktuku denganmu, telah habis kesempatan kita. Rasa sayang dan segala perasaan memang tak bisa dihentikan dalam diri manusia yang masih mewaktu sepertiku, walau segala perasaan itu mengarah kepada makhluk yang telah bebas dari belenggu badaniahnya.

Sekar, Hanya kau yang tahu kesempurnaan itu, keabadian itu, cahaya sejati itu.

Besok, di waktu yang sama, akan kutanyakan lagi pertanyaanku padamu, seperti yang selalu kulakukan beberapa tahun terakhir ini. Sekarang memang waktuku untuk bertanya, karena aku yakin kau sudah punya jawaban, namun aku yang belum mampu menangkapnya.

Betapa kematian begitu perkasa, Sekar, menghalangi seluruh upaya manusia menggapai puncak-puncak impiannya, meruntuhkan segala harapan dalam hidup, harapan yang jauh lebih besar daripada kehidupan itu sendiri.

(Surakarta, 9 Mei 2011)