Selasa, April 26, 2011

Image, Dance, Music, Text

Oleh: Fariha Ilyas





Kau mencari, meresapi, dan mencipta keindahan lewat nada, dia mencecap keindahan lewat garis dan warna, sedang aku berkelana di alam keindahan lewat kata.

Kau berbicara dan bercerita lewat komposisi musikmu yang kau jadikan sebuah lapangan untuk berlari dan menari. Dia bergumam dan berkisah lewat komposisi warnanya yang dia jadikan hamparan untuk berguling-guling dan berjingkrak, aku mendesah lewat kalimat yang kurangkai dan kujadikan ia berirama serupa musik, atau serupa bingkai lukisan.

Apakah aku salah jika di hati ini terbersit keinginan untuk saling memahami bahasa yang engkau gunakan untuk membentuk kembali duniamu? Apakah aku terlalu berlebihan jika aku ingin memahami dunia yang ia ciptakan dengan bahasanya?

Mari kita keluar, dan melihat keindahan yang diciptakan, yang setiap saat dapat kita nikmati bersama. Mari kita coba mencipta keindahan dari setangkai ranting kering yang menjadi bayang-bayang gelap di malam purnama. Akan seperti apakah ranting itu dalam musikmu? Akan seperti apakah ranting itu dalam kalimat-kalimatmu? Lalu apakah ranting itu akan tergambar sebagaimana adanya dalam kanvasmu? Atau bagaimana?

Atau kita mulai saja dari rintik hujan. Bagaimana rintik hujan itu dalam kalimatmu? Bagaimana nada yang kau pilih untuk memindah, dan bahkan memeprindah suara rintik hujan itu dalam musikmu. Bagaimana suara rintik hujan itu harus kau jelmakan ke dalam warna-warna yang kau seleksi dengan intuisi dan seluruh isi kepalamu.

Atau kita mulai saja dari satu kata: “Marah”, bagaimana marah kau ungkapkan lewat susunan nada yang kau ingini, bagaimana warnamu mewakili “marah” itu, dan apakah puisimu akan menuliskan kata itu saja untuk mengatakannya?

Aku ingin kita melukis musik, melukis kata, menyanyikan warna,menyanyikan kata, menulis nada, menulis warna, aku ingin memahamimu sebenarnya, itu saja. Siapa tahu keindahan-keindahan itu akan melahirkan keindahan yang tak terhingga. Siapa tahu?

Siapa tahu kita menjadi lupa tentang diri sendiri, hingga benar-benar hilang apa yang kita selalu katakan sebagai “aku”. Aku ingin hanya “kita” yang tersisa.

Dan saat tulisan ini hampir kuhentikan, tiba-tiba nampak olehku bayang-bayang yang meliuk, anggun dan mistis. Ia merangkai dunianya dengan gerak. Aku tercekat, rasanya semakin kuat kurasakan betapa kebutuhan manusia akan keindahan dan penciptaan keindahan adalah kebutuhan yang primordial. Tentunya kau sudah lebih mengerti daripadaku.

Suatu saat bahkan pernah seseorang berkata padaku, bahwa kita juga bisa merangkai sebuah cerita, bahkan sebuah dunia hanya dengan diam.

Diam yang melampaui segala gerak mekanis, diam yang tak membuat sepi namun mengundang kebisingan.

(Surakarta, 25 April 2011)

Baca Selengkapnya... → Image, Dance, Music, Text