Kamis, April 21, 2011

Kenapa Aku Menulis Setengah Hati?

Oleh: Fariha Ilyas

Menulis itu pekerjaan yang gampang-gampang susah, gampang kalo kita gak mikir mikir macam-macam, santai, sekadar ingin menceritakan pengalaman kita, menyampaikan sesuatu, atau membuat sari pati (hikmah) sebuah peristiwa. Tapi menulis kadang juga menjadi susah jika dalam keadaan bingung. Hahay...... : )

PROLOG

Walaupun pada dasarnya kemampuan menulis seseorang sangat dipengaruhi oleh isi pikirannya (yang biasanya didapat dari banyak membaca), namun kadang banyak membaca menimbulkan efek kurang baik jika kita selalu mengkaitkan diri kita dengan sumber bacaan yang kita serap. Bagaimana kita ingin menulis sepotong cerpen, atau sebuah artikel ilmiah yang unik dan otentik jika banyak sekali hal yang telah membungkus pikiran, menutup pintu bagi ide-ide original kita. Saat kita pergi ke berbagai perpustakaan, browsing karya-karya ilmiah, sulit sekali menemukan celah, banyak sekali tulisan bertumpuk-tumpuk, rasanya melebihi ide-ide yang kita pikirkan. Lucunya, ada seorang profesor ahli bahasa yang menekankan tentang pentingnya kebaruan dalam penelitian, namun ternyata penelitiannya tidak “baru-baru amat” (kalo gak salah bahas hermeneutika Gadamerian).

Mau dibawa ke mana tulisan ini ya?

Lebih tepatnya tulisan ini akan menyangkut subyektifitas, tentang retak-retak pengetahuan kita, dan yang menarik tentunya tentang pikiran saya dan pikiran sya doooonk (hahahahaha) baiklah, yuk mari..........

PERIODE SEJARAH DAN MITOS

Kita dilahirkan di sebuah masa tertentu, kita diantara, antara generasi tua sekarang, dan generasi-generasi yang akan datang, kitalah generasi masa kini. Dalam pikiran kita ada pikiran-pikiran hasil olah pikir masa lalu ( kita telah banyak membaca sejarah tentunya), dari situ ada banyak sikap yang lahir, ada yang mengagumi sejarah, beserta hasil-hasil kebudayaan masa lalu yang sekarang berada di museum-museum. Ada kesan seolah-olah itu adalah pencapaian tertinggi sebuah kebudayaan. Hingga kesan “angker” melekat pada “berkas-berkas peradaban tersebut” contoh dari ranah seni rupa: Lukisan Monalisa Karya Leonardo Da Vinci yang mengandung sebuah teknik tingkat tinggi yang disebuit “sfumato”, yang sulit sekali ditiru. Dari ranah filsafat Islam kitab Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat) -nya Al-Ghazali yang hingga kini masih diacu oleh kelompok-kelompok penolak Filsafat, sebaliknya, kitab Tahafut Tahafut (Kerancuan dari Kerancuan) karya Ibnu Rusyd tetap diacu oleh kelompok penerima Filsafat. Musik zaman Barok (Baroque), zaman Klasik, dan Romantik, tak ketinggalan menyumbangkan banyak sekali “puncak-puncak kreatifitas” yang hingga kini masih begitu diagungkan. lebih ekstrim lagi, ada yang mengatakan bahwa seluruh kerja intelektual manusia hingga saat ini, melulu hanya untuk membuktikan tesis-tesis Aristoteles yang memberi landasan pada hampir semua cabang pengetahuan.

Yang patut menjadi sorotan adalah bahwa sejarah selalu berlumur mitos dan membentuk mitos-mitos itu sendiri, apa yang di paparkan di atas baik hasil karya maupun penciptanya saat ini telah menjadi mitos di bidangnya. Mitos lukisan Monalisa, mitos Da Vinci, mitos Mozart, Mitos Paganini, Mitos Affandi. Pencapaian-pencapaian hebat itu berbumbu kisah heroik, dramatis dan kadang-kadang mistis. Sedang apa yang kita alami dalam hidup kita sehari-hari rasanya “biasa” dan jauh dari kesan-kesan yang ada jika kita membaca sejarah. Betapa terasa jarak kehidupan kita dengan mitos-mitos itu.

TARIK ULUR PEMIKIRAN DAN RETAK-RETAK PENGETAHUAN

Dari sedikit paparan di atas sedikit ada gambaran bahawa sebagian diri kita sudah “tersedot” ke dalam pikiran-pikiran masa lalu, hal ini dapat berarti positif karena banyak hal yang telah ditempuh generasi lalu, yang telah mereka capai, yang tentunya dapat kita jadikan menjadi bekal menatap masa depan. Namun di sisi lain, wawasan tentang sejarah juga telak mereduksi banyak hal yang sedang kita rasakan, merampas ruang kontemplatif dalam pikiran kita. Kita kadang telah berpikir dengan “kepala orang lain” dalam melihat dan menilai banyak fenomena. Tarik ulur inilah sebenarnya yang pada akhirnya melahirkan Fenomenologi dan Hermeneutika.

Contoh: Pernah terbit sebuah buku yang berisi kisah-kisah yang disertai dengan komposisi musik. Seolah-olah itu sebuah karya yang unik, baru. Namun sebenarnya jika kita membaca sejarah kebudayaan tiongkok (china), karya sastra semacam itu telah ada berabad-abad yang lalu. Jadi hal itu kadangkala tidak menarik lagi jika sebelumnya kita sudah memiliki wawasan tentang hal serupa. Tulisan tersebut hanya menarik bagi orang-orang yang sebelumnya belum mengetahui. Ternyata begitu rumit sebab-sebab terjadinya subyektifitas. Namun saya yakin bahwa subyektifitas yang dilandasi selera lebih baik daripada subyektifitas yang didasari oleh kurangnya pengetahuan. Karena seprtinya kita secara kodrati lebih tertarik pada hal-hal yang belun kita ketahui sebelumnya. Di sinilah novelty (kebaruan) merupakan nafas dari olah pikir manusia. Manusia haruslah mencipta yang baru, yang berbeda dengan hasil ciptaan sebelumnya.

Beberapa waktu ini ada aksi yang bertujuan menyindir pimpinan negara dengan mengumpulkan uang receh karena dalam sebuah pidatonya, pimpinan negara itu mengatakan bahwa gajinya beberapa tahun tidak naik. Mahasiswa yang reaktif menjadikan hal tersebut sebagai pemantik aksi yang juga melibatkan masyarakat. Tidak terbayangkan sebelumnya bagi saya bahwa ucapan tersebut dinilai sebagai keluhan sang pimpinan negara, disamping nada pidato itu memang tidak ada yang mengarah kepada keluhan, beberapa tahun lalu kebetulan saya membaca bahwa memang yang melarang untuk menaikkan gajinya, karena itu bukan prioritas. Terlepas dari bahasa politik dalam teks pidato yang dibaca serta ditafsirkan berbeda oleh masyarakat tersebut, inilah salah satu contoh retaknya pengetahuan kita. Informasi yang terserap sangat memengaruhi penilaian kita pada sesuatu. Sepanjang tulisan ini juga pasti akan didapai retak-retak dan cacatnya wawasan dan pemahaman saya.

Kesimpulannya, wawasan memengaruhi cara pandang, cara pandang yang secara langsung berhubungan dengan apresiasi terhadap realitas (termasuk di dalamnya ada keindahan) memengaruhi proses penciptaan. bagaiman akan timbul pikiran yang maju jika cara pandang kita sempit? hehehehe....

KREATIFITAS DALAM ERA OBESITAS INFORMASI

Mencipta sesuatu yang baru itu sulit sekali, mungkin yang agak mudah adalah mencipta sesuat yang berbeda. Bagaimanapun kita kerahkan pikiran kita, jika kita cari, kemungkinan besar apa yang kita pikirkan atau kita buat telah dibuat oleh orang lain, oleh orang-orang di sekitar kita, atau mungkin di belahan bumi yang lain.Walau ada penemuan-penemuan hebat, namun hal tersebut sangat kecil jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah orang yang berpikir hal serupa.

Bagaimana sebuah karya otentik dapat dihasilkan? Lagi-lagi saya “terpaksa” meminjam kepala beberapa orang untuk menjawab pertanyaan saya sendiri tersebut. Sulit sekali bagi saya untuk menjelaskan sesuatu tanpa menukil barang sepotong dari periode sejarah. Mari kita kembali pada kajian membosankan tentang Posmodernisme. Roland Barthes dalam esainya, The Death of the Author menjelaskan bahwa diri otentik pengarang telah mati, karena teks menjadi otonom, teks bebas ditafsirkan oleh pembaca. Selain itu Derrida, sebagai seorang posmodernis yang masyhur telah menarik titik pusat “logos” dan menjerumuskan pikiran pada suatu permainan tanda (play of sign). Hal ini tidak terlepas dari pemikiran bahwa kita hidup dalam sebuah hutan kutipan, sesuatu selalu merujuk pada sesuatu yang lain yang kemudian merujuk lagi pada sesuatu yang lain, demikian seterusnya, berlapis-lapis. Pemikiran Derrida yang bertolak dari gerakan kembali kepada bahasa (Linguistic Turn) ini memberi kabar buruk bagi kedalaman makna. Semuanya berakhir pada referent yang tak jelas, makna selalu bergerak, kita seperti menginjakkan kaki dalam lumput atau terombang-ambing dalam lautan makna yang tanpa batas. Tidak ada lagi yang otentik.

Lalu apa kaitannya dengan obesitas informasi? Secara sederhana dapat dijelaskan seperti ini:

Dalam era global, teknologi memegang peranan vital dalam kehidupan manusia, berbagai hal, dapat dengan cepat kita serap, kita terima, kita ketahui. Bahkan lebih dari itu, sekarang berbagai hal yang (katakanlah) tidak kita inginkan pun dengan bertubi-tubi menyerang kita, berbagai informasi yang sebenarnya tidak kita butuhkan melumuri hidup kita tanpa dapat kita kendalikan lagi. Informasi ini lalu akan menjadi sebuah rujukan (referent) dalam berpikir, bersikap, atau mencipta. Banyaknya rujukan yang tak terkendali semakin banyak mereduksi hal-hal yang mungkin sedang dalam proses pematangan di dalan pikiran kita.

Cobalah kita berbicara dengan orang yang kurang terhubung dengan teknologi informasi dan kurang banyak menyerap informasi. Biarkan dia berbicara, lalu kita lepaskan pikiran kita dari apa yang kita ketahui, maka kita akan menemukan sebuah hasil pemikiran yang alami, yang tertanam dalam pikiran seseorang tersebut dengan kuat karena diperoleh dari sebuah proses panjang yang disebut pengalaman. Orang tersebuat akan merasakan sebuah kebahagiaan saat dirinya mampu menyimpulkan sesuatu. Menghasilkan sari pati kehidupannya sendiri. Namun jika kita kaitkan kesimpulan seseorang tersebut dengan wawasan kita, yang mungkin jauh lebih luas dari apa yang dapat dijangkau oleh orang tersebut, apa yang muncul adalah perasaan biasa saja, tidak ada yang baru, tidak ada yang “Fresh” (bagi kita) dari apa yang dipikirkan oleh seseorang tersebut.

EPILOG

Obesitas informasi kadang mampu memadamkan api pemikiran sebelum percikan-percikan bunga apinya sempat menyala, ada perbedaan mendasar pada diri orang-orang “pintar” saat ini, ada yang pintar karena olah pikir yang luar biasa, dengan sedikit referensi bacaan, ada yang pintar karena banyak membaca, tanpa disertai olah pikir mandiri yang memeras tenaga intelektual yang alamiah. Inilah yang saya anggap menjadi biang keladi “garing” nya hidup saat ini. Hanya sedikit yang membuat saya terhibur, bahwa ternyata saya punya banyak teman yang sama-sama bingung, bahwa ternyata saya menemukan diri saya dalam ketololan luar biasa, di hutan rimba pengetahuan yang diwariskan orang-orang sebelum saya.

Karena itulah saya bimbang setiap kali menulis, bimbang karena pembaca tulisan saya pastilah memiliki rujukan yang lebih banyak, lebih luas daripada saya. Saya takut sekali apa yang saya pikirkan ini ternyata hanya sampah bagi banyak orang yang telah menyerap informasi jauh lebih banyak daripada saya. Dan segera saja setelah ini, anda telah mengerti di mana retaknya pengetahuan saya. Tidak ada yang baru dalam seluruh tulisan saya, semuanya dapat dengan mudah anda bandingkan dengan banyak tulisan yang jauh lebih baik. Karena itulah saya bingung kalau ada yang bertanya : “suka nulis ya? Kenapa nggak bikin buku aja?”

Hahay, lucunya.....

Kapan-kapan disambung lagi ya, kenapa juga menulis itu masih perlu...

Bagi saya, menulis itu kadang ya mudah, kadang ya susah, tapi yang jelas seringkali mengerikan, apalagi jika anda pembacanya....

(Madiun, pagi biasa, 2 Februari 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya