Oleh: Fariha Ilyas
Rambutmu tergerai ditiup angin
Seperti gelombang di samudera
Kau berdiri di padang Sahara
Tubuhmu kotor mandi keringat
Matamu tajam seperti elang
Kau menangkap kilau kedalaman
Kau rengkuh mentari
Kau sirami tubuhmu dengan kemilau cahaya
terpancar ke seluruh penjuru jagat raya
Kau dekap rembulan
Kau lumuri wajahmu dengan sinar keteduhan
Menyelimuti bumi beserta isinya
Kami menangis merinduimu,
kami merintih mencintaimu
Dalam doa 'ku selalu memuja
Keselamatanmu dan sahabat
Serta seluruh umat di dunia
Kau rengkuh mentari
Kau sirami tubuhmu dengan kemilau cahaya
Terpancar ke seluruh penjuru jagat raya
Kau dekap rembulan
Kau lumuri wajahmu dengan sinar keteduhan
Menyelimuti bumi beserta isinya
Kami menangis merinduimu
Kami merintih mencintaimu
(Kau Rengkuh Mentari Kau Dekap Rembulan, Ebiet G. Ade)
Kepada yang sama dengan kami, inilah ungkapan dari kami yang kehilanganmu, yang luput dalam membaca jejak-jejak manusia paripurna:
Salamku kepadamu yang tak lekang dalam ingatan alam, yang pelan-pelan mulai terkikis tipis-tipis dalam memori kami yang menjadi pikun saat namamu disebut. Maafkan kami jika saat ini kami masih saja sering bertanya: siapa kau sebenarnya?
Kau yang sama dengan kami, yang telah diperkenalkan oleh jagad sebagai raja sejati kemaharajaan manusia. Tak ada kebanggaan selain dipimpin oleh seseorang yang merupakan bagian dari kami sendiri, jiwa kami sendiri. Karena kau mengerti rasanya menjadi kami. Kau tahu rasanya menjadi kita.
Kau yang sama dengan kami, adalah pancaran cahaya yang menerangi dalam gulitanya hati, mengiring langkah, menuju titik tujuan tak terukur. Kami selalu lupa bahwa kau tak mati, bahkan kau selalu lahir kembali. Untuk itulah kami tak pernah berpikir mengingat hari kematianmu karena itu hanya akan membuatmu benar-benar mati. Kami hanya ingin memperingati hari kelahiranmu, untuk meneguhkan bahwa kau selalu ada menemani kami berjalan ke arah asal, pulang.
Tanpamu kami merasa nyaman dengan pikiran-pikiran kami, keasyikan dalam simpulan-simpulan yang kami rajut sendiri. Untuk itulah kemudian kami menerawang sejarah, mencarimu lagi yang tak lagi jelas dalam ingatan. Kami ingin melahirkanmu lagi di sini, di zaman yang kadang sulit kami mengerti sendiri.
Akan kami timang bayimu, Sang Nabi, dengan rasa bahagia, dengan syukur tak terkira.
Lucunya, tapi memang, di Zaman ini kau seperti bayi, ucapmu tak terpahami.
(Surakarta, 17 Februari 2012)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya