Oleh: Fariha Ilyas
Setahun.
Kau berada dalam keadaan yang tak kumengerti. Setelah isak tangis dulu, yang kulihat dalam hidupku hanyalah celah, yang ada karena ketiadaanmu. Sekarang isak tangis itu tak ada lagi, yang ada hanyalah sebuah kerinduan yang sangat. Rindu itu seringkali datang menghampiri saat aku hendak tidur di tengah malam.
Seringkali aku mendengar suaramu, memanggilku, menyuruhku mandi saat hari sudah mulai gelap sedang aku masih bermain di gundukan pasir di halaman rumah. Sesekali aku seperti merasakan sentuhan kulitmu, seperti dulu saat aku jatuh sakit dan selalu kau rawat dengan penuh kasih.
Dulu, jauh sebelum kau meninggalkan kefanaan aku seringkali berdiam diri di pemakaman, siang, sore, malam. Aku senang berada dalam kesepian pemakaman. Aku sadar bahwa seluruh kehidupan jasmaniah kita, tubuh kita, akan berakhir di pemakaman ini. Kita dan semua penduduk kampung hanya menunggu saatnya tiba bagi diri masing-masing.
Sekarang aku jarang pergi ke pemakaman, walau ayah hampir setiap kali ke sana, aku tak pernah ikut serta. Memandang pusaramu adalah sesuatu yang terlampau berat untuk kutanggung, karena setelahnya pikiranku akan terserang rindu yang besar, dan aku menjadi sakit. Sering-sering tangisku yang tertahan membuat dadaku sesak, panas, dan nafaskupun rasanya mampat. Tak akan kutemui lagi kau dalam dunia fana ini, begitu batinku berkata.
Hanya cintalah barangkali yang masih membuat aku masih memilikimu dalam pikir dan benakku. Cinta itu menembus jauh, tak hanya hati dan pikiran manusia yang mampu dimasukinya. Cinta bahkan mudah saja menjelajah batas-batas dunia untuk menghampiri siapa saja yang berhak atasnya. Kau adalah seseorang yang selalu dituju oleh cintaku, cinta anak-anakmu.
Ibu, sebagaimana kau, aku pun sekarang menjalani sebuah kehidupan yang semestinya teralami, seperti masa remaja selayaknya, aku sering sekali dihinggapi kebimbangan, kegamangan, untuk bersikap dewasa, untuk bertanggung jawab atas segala tindakanku sendiri. Kau tak perlu khawatir, Ibu. Semuanya akan kulewati semampuku. Kau telah mengajarkanku apa itu cinta yang sesungguhnya, maaf jika aku baru mengerti setelah kau tak ada lagi bersama-sama kami di sini.
Belum lama, kami, anak-anakmu, telah memiliki ibu lagi, yang akan mendampingi kami meneruskan jalannya hidup yang tak seorangpun tahu bagaimana akhirnya nanti. Kami bahagia di sini, kami selalu berusaha dan berdo’a demi kebaikan keluarga kita sepeninggalmu. Barangkali, dan memang, tugasmu mendampingi kami, tugas hidupmu di dunia fana ini telah selesai, telah kau rampungkan semuanya dengan sangat baik dan bijaksana. Tak ada lagi yang mesti kau lakukan, dunia ini memang bukan tempatmu lagi. Aku yakin kau menyaksikan semuanya dengan kasih, karena kau ada di sisi yang maha kasih, maha agung, maha mengayomi.
Ibu, dalam gelap malam, dalam sendiri dan dalam penziarahan batinku, aku selalu berharap menemuimu, entah dengan cara apa. Bisikkanlah kepadaku tentang hidup, tentang kebijaksanaan, dan tentang kematian yang sering-sering masih membuat banyak orang takut menghadapinya. Kabarkanklah kepadaku tentang duniamu sekarang, apakah seperti yang sering terbayang dalam benakku atau tidak. Aku mendamba sebuah berita, yang terucap langsung dari mulutmu, Ibu.
Jika tak mungkin kudengar bisikmu......
Aku hanya ingin kita bertemu kembali nanti, bersama-sama, dalam sebuah perbincangan hangat, yang kekal, yang tak usai.
Entah kapan dan di mana itu semua akan berlangsung.
Aku tak tahu, Ibu.
(Madiun, Surakarta, 13-16 Februari 2012)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya