Oleh: Fariha Ilyas
Barangkali kita lupa bahwa dulu kita menjerit-jerit dalam rahim ibu, saat ruh kita terpisah dari ruhnya. Saat diri kita terpisah dari dirinya, memasuki alam kasar, kehidupan fisik ini. Tangis itu tak pernah terdengar hingga ke luar, karena itulah tak ada orang yang tahu.
Kita menjerit sejadinya tatkala kita keluar dari rahim ibu, itulah tangis kita yang pertama terdengar orang lain, yang merambat ke telinga mereka melalui udara. Namun sebenarnya itu adalah tangisan kesekian kalinya yang keluar dari mulut kita. Itu hanyalah sisa-sisa. Dapat kita bayangkan betapa dahsyatnya tangisan kita sebelumnya, saat perpisahan itu baru terjadi.
Langsung saja setelah kita lahir, di telinga kita dibacakan nama tuhan, agar kita tak merasa asing di sini, agar kita tak kebingungan, agar kita yakin bahwa yang kita rindui-yang kita berpisah darinya-juga berada di alam ini.
Namun yang selalu dirindui itu tak pernah berperilaku biasa. Ia selalu membingungkan, membuat kita nyaris selalu meleset mengenalnya, mengenal sang kekasih yang kini sering menjadi asing. Orang-orang yang merinduinya mencoba menggambarkannya dengan beragam bentuk, citra, dan cerita. Itulah akibat dari sebuah kerinduan hakiki yang tak terobati, seperti tanya yang kunjung terjawab, yang memaksa si penanya menggagas jawaban sendiri.
Sayang memang, kembali ke rahim adalah hal tak mungkin, untuk mendekat kepada saat tangis kita yang pertama. Ialah mimpi, ialah ujung pangkal perjalanan umat manusia. Yang hidup memekik tangis, iri kepada yang telah kembali kepada tangisannya. Yang kembali menangis lagi dalam rahim ar-rahiim.
Seperti para sahabat yang merinduimu, maka kubentangkan jalan menujumu yang selalu membuatku rindu untuk menangis. Datanglah, datanglah wahai inti kehidupanku. Dalam garang, dalam warna-warna, dalam suara membahana. Obatilah rindu ini. Sejenak saja.
(Surakarta, 17 Februari 2012)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya