Sabtu, Februari 18, 2012

Hidangan & Filsafat

Oleh: Fariha Ilyas



Daging panggang medium, bukan hanya makanan semata. Ia adalah sebuah filsafat. Duduk di meja makan kehidupan, dengan menu moral di hadapan anda. Mata anda menjelajahi hidangan utama, penyelera, dan hidangan dengan pelbagai cara meski anda tahu bahwa daging panggang medium adalah pilihan yang aman, waras, dan pasti. Edna Feber (1887-1968)

Di hadapanku ada beragam hidangan yang seharusnya menggugah selera makanku. Jika tadi aku tak berjumpa dengan seorang gelandangan yang sedang mengais-ngais sampah di dekat sebuah warung makan. Seharusnya tak ada lagi yang kupikirkan saat ini, di hadapan hidangan kegemaranku yang biasanya kusantap tak bersisa.

Namun sekarang tak ada yang tersaji selain nilai-nilai yang mengganggu pikiran, menghilangkan selera makanku. Aku teringat sebuah do’a yang sedari kecil diajarkan untuk selalu dibaca sebelum makan:

Ya Tuhan, berkahilah kami dalam segala rizki yang kau berikan kepada kami, dan cegahlah kami dari api neraka.

Mengucap kata kami dalam do’a itu membuatku tercekat, kerongkonganku seperti tersumbat, sehingga nafasku macet di sana. Betapa rumitnya semua ini.

Mengucap kata “kami” adalah ujian, bukan soal teks, tapi makna, dan bukan hanya makna yang mengambang, tapi sebuah kenyataan terbentang. Kami adalah ilusi, sementara ini. Karena kami telah mengkerut menjadi aku. Dan rizkimu bagi yang di luar aku kadang-kadang kusita dalam serakahku sendiri.

Aku seringkali berpikir bahwa kau adalah yang memelihara mereka. Tak perlu kupikirkan dalam-dalam masalah ini. Namun menuntutmu bekerja, memelihara mereka seperti layaknya merpati yang langsung menyuapi bayi-bayinya adalah ilusi yang keterlaluan.

Kenapa ada orang miskin? sering hatiku bertanya. Ada yang miskin karena ada yang serakah, begitu kata para tetua.

Keserakahan membuat kita jatuh kepada pelayanan kepada diri sendiri yang melenakan, yang sungguh jahat namun tak terasa.

Kuiris sebongkah daging di hadapanku, tanganku gemetar. Kumasukkan sepotong kecil ke dalam mulut, kukunyah. Rasanya jijik tak terperi, seperti mengunyah tubuh manusia, dan mengunyah sebuah kehidupan yang tak berarti, selain sekedar pengenyang.

Inilah filsafat, batinku. Ialah sumber segala keresahan, yang tak enak, yang menunda, yang meragukan pikir. Tapi di sana ada kemanusiaanku, yang penuh lobang keterbatasan, penuh ruang berisi kebodohan. Di sana terbentang jalan, untuk selalu memahami dan mencari arti.

(Surakarta, 16 Februari 2012)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya