“Saya tahu jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak, lubang: jalan itu berbatu-batu, berjendal-jendal, licin….belum dirintis ! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati bahagia. Sebab jalan itu sudah terbuka dan saya turut membantu meneratas jalan yang menuju ke kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumiputera”
( Surat Kartini )
Kartini telah menjadi simbol sebuah perjuangan dan perlawanan terhadap sejarah yang tidak berpihak kepada kaum perempuan. Ia adalah seorang pelopor perlawanan terhadap ketimpangan nilai yang menjadi penghalang kemajuan kaum perempuan. Sejarah mencatat bahwa di zaman apapun, dalam tingkat peradaban apapun dan dimanapun, derajat kaum perempuan selalu dianggap lebih rendah dibanding kaum laki-laki. Yang mengherankan adalah diskriminasi tehadap kaum perempuan selalu terjadi hampir disetiap zaman, meskipun sejarah jelas-jelas telah membuktikan bahwa menempatkan perempuan di tempat yang tidak semestinya adalah sebuah kesalahan.
Lintasan gerak sejarah menorehkan jejak bahwa kebudayaan Yunani runtuh karena dalam kebudayaan Yunani perempuan tidak ditempatkan di tempat yang semestinya, Nazi Jerman juga runtuh karena perempuan juga direndahkan martabatnya. Bahkan semenjak kultur masyarkat Islam ( bukan agama Islam) kurang menempatkan kaum perempuan ditempat yang seharusnya, maka perlahan-lahan matahari kebudayaan Islam terbenam dan menjadi suram.
Sudah semestinya masalah perempuan ini tidak hanya menjadi pemikiran perempuan itu sendiri, karena masalah ini sebenarnya merupakan masalah ketimpangan segugusan nilai, dan tentu saja nilai-nilai tersebut bisa bercokol di kepala siapa saja, menjangkiti siapa saja, tak peduli apakah ia laki-laki atau perempuan.
Seperti sebuah siklus yang selalu berulang terjadi, maka di setiap zaman juga akan muncul perlawanan terhadap ketidakadilan, diskriminasi atau usaha-usaha lain yang jelas merendahkan derajat kaum perempuan, dan Kartini yang hidup dalam kungkungan feodalisme Jawa tentu merasakan betapa kaumnya tidak dipandang setara bahkan dianggap lebih rendah daripada kaum laki-laki, Kartini tentu mengerti bahwa dalam budaya Jawa kaum perempuan memang dianggap seperti makhluk yang lemah, tolol, hina dan hanya pantas menjadi pelayan laki-laki, hal ini salah satunya dapat kita lihat dalam karya-karya sastra Jawa lama seperti Serat Centhini, Kitab Clokantara dan Serat Panitisastra betapa kaum perempuan sangat disudutkan dalam budaya Jawa.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa Kartini adalah pelopor perlawanan terhadap sejarah (pada zamannya) dengan segala keterbatasan mencoba untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya yang sekian lama diinjak-injak, meskipun perjuangan itu mungkin tidak dapat dituntaskan oleh Kartini, tetapi setidaknya sebuah jalan telah dirintis, sebuah jalan yang mungkin sudah dilalui oleh seseorang yang mempunyai semangat juang serupa di lain tempat dan masa, jalan itu telah diberi patok-patok oleh Kartini, dan tentunya kita takkan melupakan usaha pematokan itu. Seperti yang dikatakan Maxim Gorky : “ The People Must Know Their History “
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya