“Politik yang sesungguhnya tak terpisahkan dari kehidupan dan sebaliknya. Mereka yang menganggap dirinya tak berpolitik tidak lain karena telah berpadu dengan politik yang berlaku, maka tidak merasa lagi, dianggap sudah sewajarnya. Terutama di masa sejarah, hampir semua karya sastra adalah berpolitik tentu saja orang perlu membukakan pengertiannya dan menerima kenyataan, bahwa politik bukan kepartaian, tetapi segala sesuatu yang berhubuangan dengan kekuasaan. Selama orang hidup didalam masyarakat, selama itu dia ikut serta dalam politik dalam sastra jawa Mahabharata, Ramayana, Arjuna Wiwaha, Bharatayuda, Lubdaka,dan seterusnya sampai pun pada negara kertagama, bukankah itu mengagungkan kekuasaan yang berlaku pada masanya, maka juga berarti karya politik sekaligus karya sastra”
Kutipan dari Novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pramoedya Ananta Toer di atas menyiratkan betapa politik dan kesenian memang sulit dipisahkan. Seni sebagaimana politik, adalah bagian dari masyarakat yang saling mewarnai satu sama lain, saling mengangkat, tapi kadang juga saling menjatuhkan.
Politik sendiri adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Berdasarkan teori pragmatik, seni dapat dipandang sebagai sarana untuk menyampaikan kepentingan dan tujuan tertentu kepada publik penikmatnya. Jenis karya seni dalam konteks ini memiliki kegunaan praktis, dalam arti langsung dirasakan manfaatnya. Salah satu tujuan yang menjadi muatan itu adalah tujuan yang bersifat politis. Sebagai contoh musik dangdut, ketoprak, ludruk, dan sebagainya ditampilkan untuk membawa misi atau tujuan tertentu, misalnya propaganda calon pimpinan partai, bupati, gubernur, presiden, dan sebagainya. Atau pertunjukan teater, karikatur, atau karya satra yang mengangkat masalah-masalah politik sebagai temanya. Tentu hal ini sah-sah saja mengingat seni dapat dipandang sebagai suatu alat untuk menyampaikan hal- hal yang diinginkan penyajinya, bahkan kadang-kadang unsur politik itu sendiri dapat menjadi warna tersendiri yang menjadi ciri khas sebuah karya seni yang diciptakan (setidaknya dalam suatu era tertentu) seperti dalam novel-novel Pramoedya, puisi-puisi Chairil, lukisan-lukisan Sudjojono atau Affandi misalnya.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah seni yang di tampilkan akan mendapat respon estetik dari publik sebagai pemberi nilai pada sebuah karya seni di tengah muatan-muatan bersifat politis yang menyertainya ?
Mungkin akan sulit terjawab karena semua itu ada pada nilai yang diberikan oleh masyarakat sebagai apresiator, tapi dalam sejarah semua itu seolah melebur dan seni tetaplah sebagai seni terlepas bahwa seni dalam kenyataannya sering mendapat muatan politik. Seni akan tetap indah dan bernilai ditengah muatan-muatan yang menyertainya sepanjang seni tidak keluar dari pakem-pakemnya. Justru disinilah tantangan bagi seorang pencipta karya seni untuk dapat mengolah sebuah muatan (politik) sebagai sumber kekayaan estetis yang dikandungnya.
3 komentar:
Yup saya setuju, bahwa politik tidak dapat dipisahkan dengan seni, dan begitu juga sebaliknya. Karena Politik itu sendiri sebenarnya adalah seni tanpa ruang. Ketika kita berpolitik maka kita juga akan memikirkan cara bagaimana seninya dalam berpolitik. Terlepas dari ruang mana yang bakal kita pakai, itu hanya soal media penyampainya saja.
kutipannya dari buku pramoedyanya halaman berapa ya?
bagaimana pula dgn masalah jika seni itu dlm politik
Posting Komentar
Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya