Rabu, September 23, 2009

Pendidikan Seni Rupa : Mendidik Apresiator

Masalah dalam dunia seni rupa memang seolah tiada habisnya, dalam segala hal, dan dari sekian banyak masalah tersebut ada satu masalah yang menarik untuk saya kemukakan dan saya bagi di sini. Berawal dari keheranan tentang seni yang ternyata sampai saat ini masih belum menjadi milik semua orang, seni masih milik orang-orang tertentu, masih sebagai menara gading yang tak terjangkau sembarang orang. Baik atau tidakkah hal itu ? saya rasa tidak, karena bagi saya hal yang baik, apapun itu, haruslah mampu menyentuh kehidupan banyak orang, merasuk dalam diri banyak orang dan merubah hidup banyak orang menjadi lebih baik.

Dalam kehidupan berkesenian kita, mungkin telah lama kita rasakan bahwa ada ketimpangan yang terjadi diantra kreator dan apresiator, saat si seniman sebagai kreator terus menerus memperkaya pengalaman artistiknya dengan tak henti-hentinya bereksplorasi, sudah semestinya hal ini juga diikuti oleh masyarakat umum yang menjadi apresiator. Namun pada kenyataannya toh perkembangan dalam kesenian kita berjalan timpang, pincang, kenapa ? karena perkembangan apresiator tidak secepat dan sepesat si seniman sebagai kreator, di saat dunia seni rupa terus bergerak, toh yang menjadi perbincangan adalah perkembangan karya-karya sebagai tolak ukur keberhasilan eksperimen si seniman, lalu bagaimana keadaan masyarakat sebagai apresiator seni rupa ? rasanya aneh memang bahwa seni rupa masih sulit dimengerti orang banyak, siapa sih yang mengerti dadaisme, suprematisme, kontemporer, dan sebagainya ?

Seni memang kadang membuat sesuatu yang kecil menjadi berarti, tapi kadangkala bahasa seni jauh dari jangkauan masyarakat umum, itulah yang menjadi sebab seolah perkembangan dunia seni rupa yang luar biasa saat ini seperti tidak ada gunanya. Untuk apa berkembang terus kalau gaya lama kita saja tidak dimengerti orang banyak ?

Itulah kenapa saya coba kaitkan dengan pendidikan seni rupa yang menjadi disiplin ilmu kita. Ada yang mengatakan bahwa menjadi guru seni rupa itu mudah, tinggal masuk, menyuruh murid menggambar, menunggu sambil bersantai-santai, memberi nilai, beres semua ! apa benar seperti itu ?

Justru itulah kesalahan mendasar yang dilakukan oleh guru seni rupa selama ini, perlu di sadari bahwa guru seni rupa berada di barisan terdepan, yang bertanggung jawab atas lahir dan tidaknya generasi yang ”melek“ seni. Tugas guru seni rupa itu tidak hanya mengajari murid agar bisa menggambar, mematung, mendesain, tetapi juga menanamkan dan membentuk jiwa yang peka terhadap keindahan. Dan sebenarnya hal itu ada dalam tiap diri manusia, maka sebenarnya tugas guru seni rupa adalah membangkitkan roh keindahan dalam diri setiap murid yang dibimbingnya. Dari sini kita harapkan adanya keseimbangan antara kreator dan apresiator, jika keduanya berada pada level yang sama maka keharmonisan dunia seni rupa akan terwujud dan masyarakat umum yang melek seni pasti akan menjadi apresiator yang baik, kritis dan menjadi stimulus bagi kreator untuk terus menggali hal-hal baru.

Memang tidak semua hal harus kita jelaskan, karena seni adalah media yang menggunakan kebebasan tafsir sebagai alat penyampai kebenaran, seni tidak menggiring kita kepada sebuah kesimpulan, tapi ia menuntun kita untuk menemukan sebuah kebenaran hakiki dalam diri kita.

Dan dampak yang akan dirasakan oleh insan seni rupa jika kita mendidik apresiator adalah : Keharmonisan, karena segala yang disajikan seniman dapat dimengerti dengan baik oleh masyarakat yang telah melek seni, maka diharapkan segala kontroversi yang berbuah konflik dapat dihindari, karena semua berjalan dengan selaras, seimbang. Pasar seni rupa akan terbuka luas, karena masyarakat sudah melek seni, tidak hanya sekedar penonton yang melihat, tapi diharapkan untuk tahap yang lebih serius, yakni penikmat seni. Dan sesungguhnya potensi ini sangat besar mengingat jumlah penduduk kita yang juga sangat besar.

Yang lebih spesifik lagi tentu hal ini memacu produktifitas seniman untuk terus berkarya, karena jelas karya-karyanya terus dinanti.

Dan segala hal diatas tentunya sangat diharapkan untuk perkembangan seni rupa. Jadi perlu disadari bahwa memang hal ini adalah tanggung jawab kita sebagai pendidik seni rupa, kita berada di garis depan penanaman ”sense of art“ pada generasi sesudah kita. Menara gading yang tak tersentuh akan berubah menjadi rumah biasa, rumah bagi setiap orang, dan tentunya kita sebagai pemilik rumah akan terus memelihara rumah itu, dan rumah itu bernama seni rupa.

1 komentar:

Wahyudiarta mengatakan...

agar tidak terjadi gradasi persepsi antara kreator dan apresiator, mutlak diperlukan sebuah evaluasi dalam sebuah karya seni yang nantinya menjadi standar value sebuah karya.

tetapi masalahnya??..seniman2 di negeri kita masih teralu egois dengan mengajukan standar2 yang berbeda.Kurator satu dengan yang lain mempunyai penilaian yang berbeda. Galeri satu dengan yang lain pun masing-masing mempunyai karakter "sense" sendiri2 sehingga ini menyulitkan bagi tercipta standarisasi "value" bagi sebuah artwork.

sekarang bagaimana seorang apresiator bisa menjalankan perannya dengan baik kalo misalnya dia dihadapkan satu persoalan dengan 100 jawaban yang masing2 jawaban benar ^_^.

mungkin inilah yang terjadi pada masa renaissance yang melahirkan banyak aliran2 seni.

apa mungkin sekarang sudah saatnya seniman turun dari menara gadingnya untuk selain memamerkan karya seninya juga memberikan pendidikan "sense of art"nya sebagai seorang individu bukan sebagai seniman..??

rangga pratama, S.Sn

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya