Rabu, September 30, 2009

Pagi, Hujan dan Piano


Pagi ini aku terbangun oleh suara alam yang khas, gemericik hujan. Perlahan kubuka mataku dan dengan sisa rasa kantuk kupaksakan untuk melangkah menuju jendela kamar. Tak dapat kusembunyikan lagi rasa takjubku pada pagi ini, setiap tetes air yang membasahi rerumputan di luar sana seolah membawa cerita tentang hal-hal yang terjadi sepanjang ribuan hari kehidupanku.

Di tengah perasaanku yang mulai melayang jauh, pandanganku tertuju pada piano di sudut kamar, sebuah piano hitam yang gagah dan berwibawa. “Tidak! aku tak sanggup!“ teriakku dalam hati. Tapi sekuat apapun kuabaikan perasaan rindu pada nada-nada itu, pada getar dawai-dawai yang membius itu semakin kuat pula kekuatan yang mendorongku untuk kembali menyentuh tuts-tuts gading dan ebony yang telah lama menjadi titian bagi tarian jari-jemariku.

Entah kekuatan apa yang merasukiku , tapi pagi ini aku menyerah, kudekati piano yang telah lama tak kujamah sejak aku kalah dalam kompetisi piano klasik beberapa tahun lalu. Aku duduk berhadapan dengan piano berusia lebih dari seratus tahun yang sepertinya juga menyimpan rindu yang sama seperti rinduku kepadanya yang selama ini kukekang dalam keengganan. Jantungku berdegup kencang saat nada pertama terdengar di telingaku menerobos ruang-ruang hatiku yang sekian waktu kubiarkan sunyi tanpa bunyi, aku terbius.

Di sela-sela rintik hujan pagi ini aku larut dalam melodi-melodi yang melemparkanku jauh ke masa lalu. Tergambar wajah Ayah yang selalu mendorongku berlatih piano sepanjang waktu. Kurasakan butiran hangat keluar dari kedua pelupuk mataku.

Nada-nada bersahutan diantara hujan yang makin deras dan detak jantungku yang makin kencang. Tiba-tiba muncul bayangan Ibu, Ibu yang tak pernah kulihat dalam kehidupan nyata, ibu yang hanya kudengar lewat cerita-cerita ayah, Ibukulah yang dulu sering memainkan piano ini, begitu yang kudengar dari Ayahku. Ibu adalah salah satu pianis terbaik pada masanya. Ibu berharap kelak anaknya menjadi penerusnya. Lalu lahirlah aku, yang kemudian harus ditebus dengan air mata kesedihan Ayah yang kehilangan Ibu. Tapi aku sadar sepenuhnya bahwa akulah harapan itu, akulah mimpi itu. Ayah selalu mengatakan hal itu kepadaku dengan suara bergetar dan kedua mata penuh harapan. Butiran hangat berubah menjadi anak sungai yang membasahi pipiku. Nada- nada perih berhamburan dari pianoku.

Hujan bertambah deras. Muncul bayanganku sendiri, aku yang tak pernah berhenti berlatih, aku yang selalu bermimpi menjadi apa yang diharapkan oleh ayah dan ibu harus terpuruk sekian lama hanya karena ketidak mampuanku menerima kekalahan, menerima diriku sendiri.

Hujan semakin deras karena sekarang aku tak bisa lagi membedakan antara air hujan dan air mata kesadaranku, antara halilintar dan jerit tangis penyesalanku. Nada pianoku mulai dan berakhir diam.

Pagi ini, hujan kali ini, menjadi pijakan bagiku untuk hidup kembali bersama harapan dan mimpi-mimpi yang telah dibangun sebelum aku dilahirkan. Pagi ini, hujan kali ini, membuatku menemukan kembali jalanku, ya, aku akan terus bermain piano, bukan untuk menebus kekalahan, menggapai mimpi atau sekedar menjalani takdirku, aku akan terus bermain piano untuk menuntaskan kerinduanku pada ibu. Aku akan menjadi mimpi indah dalam tidur Ibu yang tak berbatas waktu.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis apa yang anda pikirkan terkait tulisan-tulisan saya