Rabu, Januari 14, 2015

Tuhan, yang Kami Pantati

 Para jama'ah maghrib sulit memulai sholat dengan tenang. Terang saja, mbah Ni, yang biasanya berjaga di depan masjid dan sholat setelah para jama'ah pergi "mendadak" kini berada di hadapan kami, menjadi imam.

Haji Markum, entah ke mana dia. Kang Fajri, muadzin yang biasa menjadi badalnya pun kali ini tak hadir.

Entah kenapa, kebetulan tak ada yang mau maju jadi imam. Mbah Ni akhirnya menjadi imam kami maghrib kali ini. Meninggalkan puluhan motor di luar sana, di halaman masjid kota yang rawan.

Memang, setelahnya kami para jama'ah baru sadar -setelah usai saling berbincang singkat- bahwa selama ini ketenangan atau kekhusyukan kami saat sholat sangat tergantung pada keberadaan mbah Ni. Bahwa ia ada di halaman masjid berjaga mengawasi sepeda motor kami.

Saat mbah Ni tak ada di luar sana ketika kami sholat, batin kami 'mobat-mabit'. Untunglah memang, tak terjadi apa-apa. Aman. Meski akhir-akhir ini curanmor marak lagi.

Soal ini, dengan setengah guyon, mbah Ni berkata santai, "kowe weruh pora nek aku ki tenang-tenang ae. Soale mau aku dikandhani gusti, gusti sing ganti jaga neng njobo. Ya wes aku ra kepikiran, wong yo dudu motorku. Motormu to? Hahaha". (Kamu tahu tidak, saya tenang-tenang saja. Soalnya tadi tuhan bilang kalau dia yang ganti berjaga di luar. Ya sudah saya tidak kepikiran. Apalagi itu kan bukan motor saya. Motor kamu kan?).

Kami tertawa kecut. Sepanjang sholat tadi tak sedikitpun terpikir, bahwa tuhan (juga) ada di belakang kami, kami pantati.

Entah, pada siapa kami bersujud. Tadi.
Baca Selengkapnya... → Tuhan, yang Kami Pantati

Cerita Hujan

 Seperti suara snare, di atap. Rapat.

..... dan sruputan kopi panas membawaku kembali dari perjalan ulang-alik dari satu realitas ke realitas lain pada sore di awal tahun ini.
..... sebuah buku catatan terbuka di atas meja, di samping asbak. Di lembar-lembarnya liku-liku. Pada setiap kata adalah laku yang telah lalu. Ialah autobiografiku yang pasti akan membuatmu tertawa jika membacanya. Autobiografi yang dianggap konyol olehku sendiri. “kok bisa-bisanya ya?”, begitu gumamku sambil menahan tawa diri.
..... tidak mudah menerima diri sendiri. Orang sulit menikahi dirinya sendiri, diri yang berlapis-lapis ini. Diri yang sering sulit dipilah mana yang inti dan mana yang sekadar variasi.
..... untunglah ada catatan itu, yang membuat diri bisa dibaca dalam bahasa indonesia. Hahaha. Sungguh lucu sebuah diary. Di sana aku menjadi tokoh utama, pusat dunia. Dunia yang selalu versi.
..... dan begitulah pekerjaanku kala hujan sore begitu ritmis dan sering menghipnotis.
Baca Selengkapnya... → Cerita Hujan