Senin, Desember 15, 2014

Khotbah Wayne Mies di Masjid para Imigran

Saudara-saudaraku sekalian..

Jum’at ini kita lagi-lagi berkumpul untuk sembahyang bersama, seperti jum’at-jum’at yang lalu. Saya sebenarnya agak merasa bimbang beberapa hari ini, apa yang harus saya sampaikan untuk diri saya sendiri yang bodoh ini. Saya bisa mangkir, dan memilih untuk menenggelamkan diri di perpustakaan, atau hiking sekadar untuk merasakan kebesaran alam, dan tak perlu lagi saya ucap apa-apa kepada diri saya ini.

Namun, saya pada akhirnya mesti harus tetap menjalankan tugas rutin ini, yang saya tidak tahu apakah saudara-saudara sekalian merasa bosan dengan saya atau tidak. Hari ini, terlalu banyak jalan bagi kita untuk bisa belajar dan mengetahui, menghimpun sebanyak mungkin jawaban bagi rasa ingin tahu kita pada apapun. Termasuk rasa ingin tahu kita kepada Tuhan, dzat yang kita sembah setiap hari, yang membuat kita semua yang berada di sini merasa memiliki sebuah ikatan, sebuah kesamaan.

Saudara-saudaraku yang saya hormati..

Di masjid kita ini seminggu sekali kita berkumpul di sela-sela kesibukan kerja kita, di antara upaya kita memperjuangkan kelangsungan hidup kita ditempat yang jauh dari tanah di mana kita dilahirkan. Sungguh, bagi saya pertemuan dengan saudara-saudara yang berasal dari segala penjuru dunia ini merupakan suatu rahmat yang sangat saya syukuri. Namun demikian, saya merasa ada sesuatu yang mengganjal di benak saya selama bertugas di sini. Apakah kita memiliki tuhan yang sama? Apakah kita menyembah tuhan yang sama?
Saudara-saudara mungkin agak terkejut setelah berada di masjid ini saya justru melontarkan pertanyaan seperti itu? Seolah saya menganggap diri saya dan saudara-saudara sekalian berada di sini dengan suatu alasan yang meragukan. Bukan, bukan seperti itu yang saya maksud.

Saya memimpikan sebuah dialog dengan saudara-saudara sekalian. Dialog yang akan membuka pikiran saya sendiri yang masih banyak berselimut kebodohan dan ketidaktahuan tentang tuhan. Setiap hari beberapa diantara kita yang berjamaah di masjid ini sering berbasa-basi satu-sama lain. Membicarakan pekerjaan, keluarga, rindu kampung halaman dan masa depan. Saya juga seorang imigran, sama dengan saudara-saudara semua, saya tamu di tempat ini. Lalu apa yang membuat kita merasa begitu dekat? Setiap malam saya memikirkan hal ini.

Saya terdorong rasa ingin tahu yang besar untuk menguak pikiran-pikiran kita yang berlapis-lapis. Mungkin ini sebuah kelancangan saya, saya minta maaf jika dianggap demikian. Saya kira dorongan-dorongan semacam itu akan baik jika dengannya saya memahami isi pikiran orang yang menjadi rekan saya berbicara. Selama ini saya merasa bersalah jika menyampaikan khotbah-khotbah yang saya susun berdasarkan pengetahuan saya yang didukung oleh buku-buku yang saya baca. Saya mengajak, menggiring saudara-saudara pada apa yang saya ketahui dan pahami. Saya tidak mengetahui apa yang saudara ketahui dan pahami.

Pikiran saya berontak pada semua ini, hati saya pun merasa tak nyaman. Saya berkeyakinan bahwa saudara-saudara sekalian memiliki pengalaman, keunikan, yang lahir dari perbedaan tempat, budaya, situasi, yang mengitari awal mula hidup kita, mengiringi pertumbuhan kita. Semua itu saya kira sangat memengaruhi diri kita, apa yang terpikir, dan apa yang dirasakan. Untuk itulah tadi saya bertanya-tanya, apakah kita menyembah tuhan yang sama?

Dulu di kampung saya, saat saya masih kecil, saya memahami tuhan saya yang menciptakan ayah ibu saya, laki-laki dan perempuan kaukasoid yang bertulang besar, berambut pirang dan bermata biru. Tuhan saya lah yang menciptakan salju dan dingin yang membekukan saya saat musim dingin tiba. Ia mencipta pohon poplar, dandelion, bunga matahari yang indah warnanya itu. Ketika saya mengenal buku bacaan di sekolahan saya terpukau dengan pelajaran geografi, biologi, antropologi, sejarah, seni, yang membuat saya melihat hal-hal yang tidak saya temui dalam kehidupan saya secara langsung. Saya merasa bahwa pohon itu, yang gambarnya tertera di buku itu bukanlah pohon yang diciptakan tuhan saya, demikian pula dengan bunga-bunga dan binatang itu. Yang paling jauh adalah, saya merasa orang-orang luar negeri yang gambarnya bisa saya lihat di buku itu bukan ciptaan tuhan saya. Saya terkungkung dalam pemahaman semacam itu.

Hari ini, setelah beberapa tahun saya hidup bersama saudara-saudara di sini, setelah banyak waktu kita saling bicara, saya belajar dan mulai berubah. Misalnya saya bertemu dengan saudara saya Mas’oud dari Maroko itu. Saya belajar mengerti banyak, saya mendefinisikan ulang diri saya bertolak dari pemahaman dan perjumpaan-perjumpaan baru. Memang itu hal sepele, hal biasa yang dialami setiap penjelajah dunia. Tapi bukankah selama ini kita terbentuk dari hal-hal yang sepele itu? Sedari kecil saya makan bubur gandum, kentang, kacang, sementara saudara Fadli dari Malaysia kenyang dengan bubur nasi. Bukankah itu sepele belaka? Lalu kita tumbuh besar dari itu semua hingga saat ini. Saya rasa saudara-saudara sekalian juga mengalami apa yang saya rasakan dan pikirkan itu.

Saudara-saudaraku yang saya cintai..

Saya kira, persoalan perubahan keyakinan pada tuhan itu bukan hanya wilayah debat para teolog, menjadi sesuatu yang mesti dilegitimasi dengan setumpuk argumentasi teologis yang dipelajari di sekolah-sekolah. Saya rasa persoalan semacam itu adalah persoalan diri kita dan upaya mengkristalisasi pengalaman hidup kita. Kita mesti menyadari dan menghayati dari mana kita berangkat dan bagaimana kita bermula memahami apa dan siapa itu tuhan. Kita sering melupakan hal itu, dan justru setelah kita dewasa dan bisa mempelajari banyak hal dengan membaca buku dan mendengar ceramah agama, kita tanpa sadar dengan sukarela menukar pengalaman hidup kita dengan pemahaman baru yang disusun oleh pikiran dan disarikan dari pengalaman orang lain. Kita tak percaya diri dengan pengalaman dan penghayatan hidup kita sendiri. Kita sendiri yang menghakimi pengalaman hidup kita ini tak terlampau berarti. Bukankah itu sebuah tragedi?

Kita akan selalu berbeda. Saya yakin hal itu. Tak soal, kita tak perlu takut akan kehilangan ikatan. Yang terpenting dari ini semua adalah saling mengerti perbedaan itu, mengenalinya hingga akarnya, sehingga kita menemui keutuhan pemahaman. Kita tak menuntut terlampau banyak pada orang lain sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita akan terbebas dari kekhawatiran-kekhawatiran kita soal kebenaran. Selama ini kita menyaksikan ketakutan-ketakutan itu menjangkiti umat manusia hampir di segala jaman dan di segala tempat.

Orang takut kesalahan ada pada dirinya. Ia mesti benar dengan cara membuat yang lain nampak salah. Ia enggan melihat, mendengar, memahami. Sedang untuk merefleksi diri orang tak lagi merasa sempat dan perlu. Diantara berbagai penyakit pikiran ini, marilah kita saling mengenal kembali dengan sungguh-sungguh, dengan niat dan tujuan yang jernih. Agar rasa takut di dalam diri kita ini berangsur lenyap.

Pedih perih dari luka-luka peradaban manusia ini, sebagian besar bukan diakibatkan oleh kebodohan pada mulanya. Ia disebabkan oleh ketakutan, ketakukan melihat kebenaran yang lain di luar diri kita. Bukankah kita telah mengingkari semangat kita sendiri yang setiap saat mendaku sebagai pencari kebenaran? Kita tak sungguh mencari. Kita lebih sering duduk diam, dan menghakimi.

Hari ini bayangan tentang diri kita tak lagi seperti dahulu. Kita dapat saling melihat sejak dini. Bagaimana saudara kita, sesama manusia berpikir dan berbuat di tempat hidupnya. Kita sudah melihat perbedaan. Tapi melihat saja tidak cukup, kita mesti mendorong diri kita untuk mengerti. Tak heran sekarang hidup kita juga masih diwarnai sengketa. Karena kita tidak ingin memahami. Segala yang dapat dengan mudah kita saksikan itu hanya kita biarkan menambah tumpukan asumsi-asumsi negatif. Kita makin brutal menghakimi, bahkan menghakimi diri sendiri pun kita tak lagi punya sandaran jelas.

Ada persoalan yang halus tapi pelik dalam kehidupan kita ini. Sejarah peradaban manusia ini saya anggap sebagai pembentuk siluet tuhan. Tuhan yang beribu tahun selalu mengiringi perjalanan hidup manusia tidak semakin utuh rupanya. Jika kita hanya bisa melihat siluetnya dari tingkah polah kita, sikap kita, apakah salah jika saya mengatakan bahwa tuhan itu tidak jelas? Karena ia selalu mendorong manusia untuk melakuakan hal yang berbeda-beda. Apalah kaum imperialis tak bertuhan? Apakah para penjahat tak bertuhan? Apakah para sufi dan pertapa saja yang bertuhan?

Tindak-tanduk kita, rumusan sikap kita, mencerminkan tuhan macam apa yang kita sembah. Saya percaya, kita punya hak merumuskannya secara pribadi. Karena hidup kita, pikiran, hati kita, diserahkan secara pribadi oleh tuhan kepada kita. Kita menyusuri waktu sebagai pribadi, dan akan kembali kepada tuhan sebagai pribadi.

Pribadi ini adalah alam-alam tersendiri. Seluruh alam adalah ciptaan tuhan, kata sandi tuhan yang kita terima berbeda-beda. Kita mesti belajar memahaminya ke kedalaman diri kita. Lalu dengan itu kita akan berhenti memaksa orang lain untuk mengerti.
Baca Selengkapnya... → Khotbah Wayne Mies di Masjid para Imigran

Kata yang Menunggu

Kisah ini baru saja dimulai. Ya, baru saja. Aku ingin memulainya saat tak lagi ada cerita masa lalu yang dapat kuingat. Orang selalu butuh cerita. Tak hanya butuh, tetapi orang memang hidup dalam sebuah cerita.
Hidup adalah cerita yang tak pernah jelas kapan dimulainya.  Di dalamya kita kadang-kadang berpikir, mencari cara, merancang akhir. Tak semua mesti dipikirkan, memang. Seperti saat kita bicara di sebuah kafe suatu sore. Kata-kata meluncur begitu saja seperti hembus angis di sawah atau lautan. Sesekali sempat juga kita dapati kata-kata itu menabrak, menabrak kekosongan konsep. Lalu kita diam sebentar. Bukan untuk berpikir, melainkan menunggu kata-kata keluar sendiri dalam bentuknya yang lain.
Jarum jam dinding kafe itu bergerak dalam kecepatan biasa saja, lazim. Tapi tidak dengan jarum jam di kepalaku. Entah, mesin sekuat apa yang membuatnya berputar begitu cepat hingga aku sendiri tak bisa menandai jam berapa ini.
Ada sebuah kata menunggu. Lupakan.
Ada yang lebih menarik sore ini dan kita mesti bergegas meninggalkan kafe. Ayo! Ayo cepatlah! Satu kisah lagi akan lahir!
Sebentang padang putih dengan pohon-pohon tanpa daun yang tumbang. Tak sedikitpun batangnya menyentuh tanah. Dahan dan rating-rantingnya menyangga batang pohon tua itu. Ganjil. Betapa kuat ranting-ranting kecil itu. Tak ada yang pernah tahu atau sekadar percaya kecuali kita yang menyaksikannya sore itu.
Ada sebuah kata lain yang menunggu. Abaikan.
Dari padang itu kutarik tanganmu dan kuajak kamu berlari ke sebuah mata air jauh di dalam hutan. Sesampainya di sana kita celup kedua kaki kita dan sejuk menjalar hingga ke ujung rambut.  Aku tertawa, juga kamu.  Tawa kita tak pernah terdengar oleh manusia-manusia lain yang jauh di sana. Di hutan ini hanya kita manusia pertama yang pernah masuk di dalamnya. Hutan ini penuh hantu, katanya.
Ada sepatah kata menunggu. Biarkan.
Sekarang giliranmu membebaskan suka. Aku menurut saja saat kamu melompat tinggi dengan menyeretku serta. Kita melayang, menatap hutan pekat yang memucat. Di sana ada sebatang pohon yang pucuknya menjadi puncak tertinggi di hutan itu. Sebuah tanda. Di bawahnya ada lubang yang dalam dan gelap. Tak seorang pun tahu pasti seberapa dalam, seberapa lebar dan seberapa dingin, seberapa pengab dan seberapa membahayakan. Mungkin tak akan pernah diketahui. Tak semua hal dapat terengkuh oleh hasrat kita mengetahui hal yang telah lama ada. Namun kegelapan lubang itu setidaknya membuat kita merindui cahaya yang terlalu biasa ini.
Sore menghabiskan tak banyak menit, tapi kita mesti kembali ke kafe tadi. Segelas minumanmu habis tandas. Kudapati kursiku berubah posisi. Ada jejak kata dan suara kutangkap. Sepertinya ada yang sempat menduduki tempatku menatapmu tadi dan mengajakmu bicara. Diam-diam aku curiga jangan-jangan ada orang lain yang senang menatapmu selain diriku. Jika benar demikian, aku harus segera berkeputusan; Baiknya aku pergi saja.
Seseorang itu tentu bukan orang biasa. Ia mampu menatapmu dan mengajakmu bicara saat kamu tak ada sedang aku yang sedari tadi bersamamu tak kuasa berkata. Aku hanya menggumamkan sesuatu yang belum dapat disebut kata karena tak pernah lengkap.
Keputusanku pergi kurasa sudah tepat. Sedari tadi ada kata yang menunggu. Bukan menunggu untuk diucapkan tetapi menunggu huruf-huruf yang akan membentuknya. Kamu tahu, aku belum memilikinya lengkap. Kamu juga tahu aku akan mencarinya entah di mana. Mungkin dalam cerita-cerita lainnya.
Baca Selengkapnya... → Kata yang Menunggu

Kejahatan yang Bernyawa

Sekar, malam ini aku tak pulang. Kubalikkan arah setelah hampir saja aku tiba di halaman rumah. Jalanan sepi malam ini. Lebih senyap lagi gang-gang kecil yang kulewati. Di salah satu gang kudapati tikus got yang sepertinya baru saja mati.

Ah, seekor tikus yang mati. Pikiranku melayang jauh ke tanah seberang. Di mana banyak sekali manusia yang mati. Mati dibunuh. Ya, dibunuh dengan keji. Tiada kata yang cukup kasar untuk menggambarkan kebiadaban yang begitu nyata membuat manusia sendiri menjadi cemar namanya. Ya, pelakunya adalah manusia seperti kita juga.

Beberapa jam kuhabiskan di pertigaan jalan yang temaram. Aku merasa ingin pulang. Kubayangkan kau sedang menyeduh kopi dengan dua sendok gula seperti biasanya. Kau tentu mulai gelisah karena aku tak kunjung datang. Aku pun juga. Aku gelisah karena malam ini tak kutemukan alasan untuk pulang agar kita bisa berbincang sebentar sebelum terlelap beberapa jam ke arah pagi.

Sekar, kematian samasekali bukan sesuatu yang mengherankan. Biasa dan wajar adanya. Namun jika kematian itu menggores luka bagi yang hidup maka sebab-sebab kematian itu tentu patut dipertanyakan. Apalagi jika yang tergores tak hanya sekadar luka, melainkan dendam dan kebencian.

Tuhan memang sering membingungkan. Sungguh, dia mengizinkan semua ini terjadi. Tak hanya mengizinkan, tuhan bahkan menginginkannya. Kita lalu mengidamkan perdamaian yang kita yakini bahwa itulah yang diinginkan tuhan. Sekarang apa yang dapat kita simpulkan dari segala kerancuan ini?

Kurasa tak ada yang rancu atau saling meniadakan dari semua ini. Memang benar sepertinya keterbatasan kita tak cukup untuk menampung segala sifat tuhan yang paradoks. Pada akhirnya tugas kita hanyalah memilih diantara sifat-sifatnya yang bisa kita kenakan sebagai jubah. Malam ini kukenakan sehelai jubah tuhan yang paling kelam: kutukan. Sebagaimana banyak orang lain yang memilih mengenakan jubah itu untuk meneguhkan sikapnya pada peristiwa perih yang menyentuh rasa kemanusiaan kita yang terdalam.

Tak ada satupun yang dapat menghindar dari kutukan kita, termasuk dia yang menginginkan semua ini terjadi. Memang kadang-kadang kita perlu nampak terlalu berani menantang. Yang kita tantang tentu bukanlah dia yang tuhan itu, melainkan suatu ruang kosong yang digunakan manusia menempatkan segala alasan untuk membenarkan tindak-tanduknya yang membinasakan dan melenyapkan sesuatu yang samasekali tak mampu ia ciptakan: jiwa-jiwa manusia.

Pada suatu malam yang sama dengan malam ini aku tentu akan benar-benar pulang. Aku takkan memutar langkah seperti malam ini. Memang, malam ini aku sengaja melakukannya. Aku sedang menemui ruang kosong itu. Sungguh, di sana ada berjuta alasan yang membuatku masih memelihara sifat jahat dalam diriku.

Melalui sebuah pintu kecil yang malam ini terbuka, kumasuki ruang itu. Dengan berjuta alasan itulah aku berkelahi. Semoga jiwaku tak mati malam ini. Jika aku mati maka esok hari yang datang kepadamu bukanlah aku si manusia, melainkan kejahatan yang bernyawa.

Sungguh, para pembunuh itu sebenarnya telah mati terlebih dahulu daripada yang dibunuh. Jiwa manusia dalam diri mereka telah kalah dan binasa. 
Baca Selengkapnya... → Kejahatan yang Bernyawa

Surat Malam: Jiwa yang mencari Jiwa

I


Sekar, malam-malam lalu sempat gemuruh, langit memerah. Sebongkah gunung muntah. Aku mendapati diriku di kamar bersama setumpuk buku yang hampir lekat selalu, meski kadang tak perlu. Ingatan-ingatan membawaku pulang ke rumah, di pangkuan ibu. Dua hari lalu tepat tiga tahun ia pergi ke sang maha tahu. Aku merindukannya sekarang.

Sekar, pernah suatu malam aku tengadah ke langit. Aku bicara kepada yang maha luas itu. Bukankah dulu kita pernah berdo’a di tepian samudera biru? Kita selalu butuh hal-hal yang mirip dengan apa yang ada di dalam keyakinan kita. Do’a-do’a kita terus terucap berpadu dengan gemuruh ombak yang tiada berjeda. Kau tentu masih ingat apa yang kita pinta dalam do’a kita dulu: kita mengharap tak pernah dihinggapi rindu sepanjang hidup kita. Di perjalanan pulang kita sempat menyimpulkan hal itu mungkin terwujud jika kita bersama selalu, atau jika tidak, kita saling terjangkit lupa satu sama lain.

Entah kenapa do’a kita tak terkabul. Kita terpisah dan tak jua saling lupa. Aku menyimpan delapan helai mahkota bunga mawar putih yang sekarang telah menjadi kering dan rapuh. Kerapuhan kadang adalah tempat terbaik untuk sesuatu yang kokoh, yang tak terhancurkan, yang tak terkalahkan oleh waktu. Dalam gurat-gurat mahkota mawar itulah kusimpan segala peristiwa yang tak ingin kulupakan. Semacam pahatan imajiner tentang masa lalu di atas batu maha keras yang bernama pikiran. Pikiranku sendiri. Karena pahatan itulah aku merindukanmu sekarang.


II


Sekar, apa yang terjadi di akhir sebuah perjalanan seringkali memberi kesan tersendiri. Semacam aksentuasi dalam suatu peristiwa. Pelukan yang kau berikan malam itu selalu datang sebagai bayang-bayang dan mimpi yang menyentuh tak hanya pikiranku, tetapi seluruh pancainderaku. Hampir sebagai suatu kenyataan yang konkret. Aku nyaris kehilangan kewarasan.

Aku mencari-cari. Aku selalu mencari pelukan itu, aku ingin menemukannya lagi. Aku berharap akan menemukannya dalam sisa hidupku yang tak kuketahui ini. Aku ingin melekatkan diri pada imajiku tentang kamu, tentang pelukanmu, dan tentang sebuah waktu yang beku saat dua tubuh menyatu. Kurasa tak ada lagi yang lebih indah dari itu.

Malam-malam adalah saat yang paling menakutkanku. Aku selalu mengurung diri dalam gelap. Aku melakukannya semata karena kupikir dengan begitu bayang-bayangmu tak lagi dapat kulihat. Namun ingatan manusia adalah cahaya yang selalu sanggup membuat bayang-bayang menjadi begitu jelas. Aku tak pernah berhasil membuat bayangmu sirna. 


III


Sekar, aku masih ingat apa yang sempat kita sadari dulu sesaat sebelum kita terpisah: Bahwa kita telah memenangkan segalanya. Kita telah menemukan apa yang kita cari-cari dalam hidup kita, sesuatu yang didamba setiap manusia: sebutir cinta. Kita justru mendapatkan segenggam. Untuk itulah kita merasa cukup kuat untuk menaburkannya lagi ke semesta raya. Kita selalu yakin cinta sesungguhnya tak perlu kita pertahankan sebagai sebuah ego yang membuat kita merasa “harus” begini dan begitu. Kita selalu khawatir. Ego yang selalu membuat kita merasa harus terhubung, baik dalam pertemuan-pertemuan maupun dalam buaian rindu. Yang pertama tak lagi menjeratku. Yang kedua masih saja membelengguku.

Malam ini, meski aku tak yakin mampu menghindari bayangmu, kumatikan lampu kamarku.

***


I


Bara, setelah beberapa waktu tak lagi ada rangkaian huruf B, A, R, A di kepalaku, tiba-tiba tiga hari yang lalu susunan itu muncul. Nama adalah sebuah lambang, dan namaku tak hanya suatu lambang yang pendek arti melainkan suatu lambang dari peristiwa panjang. Seperti yang pernah kau katakan kepadaku dulu. Muhammad, nama yang sering kau ceritakan itu adalah perlambang suatu peristiwa besar dalam sejarah peradaban manusia. Aku menyukai interpretasimu.

Kau pernah mengatakan kepadaku bahwa nama "yang terpuji" itu tak hanya lambang suatu peristiwa peradaban, melainkan juga lambang dari satu peristiwa penciptaan. Dalam kebingunganku kau katakan sesuatu yang menurutku janggal, bahwa nama "yang terpuji" adalah nama tuhan yang lain. Yang terpuji, siapa lagi yang pantas disebut menyandangnya selain tuhan sendiri? Adapun tubuh seorang laki-laki keturunan salah satu suku di arab itu hanyalah tubuh manusia yang terpinjam belaka untuk mewadahi ruh yang terpuji itu. Begitu katamu. Aku belum sepenuhnya percaya. Kau memang orang yang menjejaliku beragam hal aneh yang menjelma menjadi teka-teki tanpa kusadari. Atau kau adalah seorang pembual?


II

Setiap orang memiliki rahasia, begitu juga kau dan aku. Memang ucapmu sering penuh rahasia. Namun tindak-tandukmu bukanlah rahasia atau teka-teki yang enigmatik untukku. Kau adalah seorang pencinta yang klise dalam perilaku. Aku tahu hari-harimu adalah hari-hari kebimbangan, malam-malammu adalah malam-malam pergulatan dengan perasaanmu sendiri. Aku yakin malam ini kau sedang memikirkan dan merindukanku. Aku tahu. Aku selalu tahu.

Kau bukanlah orang yang cukup pandai menyembunyikan perasaan. Kau juga bukan pemilik pikiran yang mudah tergerus lupa. Hal itu membuatku merasa kasihan kepadamu. Kau terjebak muslihat waktu yang selalu lebih licin daripada analisa sintingmu itu.

Kau perlu tahu bahwa aku pun tak sepenuhnya mampu lepas dari jerat ingatan dan kerinduan. Tiga hari lalu senja mengumbar keindahannya. Di barat sana langit memerah dengan sebuah lingkaran menyala yang kian turun. Di langit timur lingkaran yang hampir serupa bercahaya pula. Aku selalu riang karena dengan demikian kita semua tak akan kehilangan cahaya. Senja tiga hari lalu itu benar-benar menghantamku, merusak gembok ingatanku, membuka paksa pintu-pintunya dan membuat semua isinya terhambur keluar. Terseraklah namamu diantara ribuan kalimat kisah yang melayang-layang tak pasti dalam pikiranku: B, A, R, A.


III


Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk bertemu, Bara. Aku memang bersembunyi selama ini. Aku punya kehidupanku sendiri yang sepertinya tak akan bisa kau jangkau. Namun aku telah memecah jiwaku dan menebarkannya setiap malam kepada setiap jiwa yang hidup.

Aku berharap tak ada lagi aku yang kecil, aku yang menangis di bahumu dulu. Aku ingin menjadi aku yang besar, yang tak lagi perlu kau rindukan dalam lorong-lorong pencarian yang sempit, yang egois.

Semoga suatu ketika kau menyadari bahwa aku kini ada dalam diri orang-orang yang kau temui. Semoga kau selalu dapat menatapku dalam diri orang-orang yang kau tatap. Semoga kau dapat memelukku dalam diri orang-orang yang kau peluk.

Kau adalah seorang yang ditakdirkan untuk tak pernah kehilangan. Sayang kau tak tahu itu.
Baca Selengkapnya... → Surat Malam: Jiwa yang mencari Jiwa