Sabtu, Februari 18, 2012

Bayi Sang Nabi

Oleh: Fariha Ilyas


Rambutmu tergerai ditiup angin

Seperti gelombang di samudera

Kau berdiri di padang Sahara


Tubuhmu kotor mandi keringat

Matamu tajam seperti elang

Kau menangkap kilau kedalaman


Kau rengkuh mentari

Kau sirami tubuhmu dengan kemilau cahaya

terpancar ke seluruh penjuru jagat raya


Kau dekap rembulan

Kau lumuri wajahmu dengan sinar keteduhan

Menyelimuti bumi beserta isinya


Kami menangis merinduimu,

kami merintih mencintaimu


Dalam doa 'ku selalu memuja

Keselamatanmu dan sahabat

Serta seluruh umat di dunia


Kau rengkuh mentari

Kau sirami tubuhmu dengan kemilau cahaya

Terpancar ke seluruh penjuru jagat raya


Kau dekap rembulan

Kau lumuri wajahmu dengan sinar keteduhan

Menyelimuti bumi beserta isinya


Kami menangis merinduimu

Kami merintih mencintaimu


(Kau Rengkuh Mentari Kau Dekap Rembulan, Ebiet G. Ade)


Kepada yang sama dengan kami, inilah ungkapan dari kami yang kehilanganmu, yang luput dalam membaca jejak-jejak manusia paripurna:

Salamku kepadamu yang tak lekang dalam ingatan alam, yang pelan-pelan mulai terkikis tipis-tipis dalam memori kami yang menjadi pikun saat namamu disebut. Maafkan kami jika saat ini kami masih saja sering bertanya: siapa kau sebenarnya?

Kau yang sama dengan kami, yang telah diperkenalkan oleh jagad sebagai raja sejati kemaharajaan manusia. Tak ada kebanggaan selain dipimpin oleh seseorang yang merupakan bagian dari kami sendiri, jiwa kami sendiri. Karena kau mengerti rasanya menjadi kami. Kau tahu rasanya menjadi kita.

Kau yang sama dengan kami, adalah pancaran cahaya yang menerangi dalam gulitanya hati, mengiring langkah, menuju titik tujuan tak terukur. Kami selalu lupa bahwa kau tak mati, bahkan kau selalu lahir kembali. Untuk itulah kami tak pernah berpikir mengingat hari kematianmu karena itu hanya akan membuatmu benar-benar mati. Kami hanya ingin memperingati hari kelahiranmu, untuk meneguhkan bahwa kau selalu ada menemani kami berjalan ke arah asal, pulang.

Tanpamu kami merasa nyaman dengan pikiran-pikiran kami, keasyikan dalam simpulan-simpulan yang kami rajut sendiri. Untuk itulah kemudian kami menerawang sejarah, mencarimu lagi yang tak lagi jelas dalam ingatan. Kami ingin melahirkanmu lagi di sini, di zaman yang kadang sulit kami mengerti sendiri.

Akan kami timang bayimu, Sang Nabi, dengan rasa bahagia, dengan syukur tak terkira.

Lucunya, tapi memang, di Zaman ini kau seperti bayi, ucapmu tak terpahami.


(Surakarta, 17 Februari 2012)

Baca Selengkapnya... → Bayi Sang Nabi

Tangis Rindu dalam Rahim Ibu

Oleh: Fariha Ilyas

Barangkali kita lupa bahwa dulu kita menjerit-jerit dalam rahim ibu, saat ruh kita terpisah dari ruhnya. Saat diri kita terpisah dari dirinya, memasuki alam kasar, kehidupan fisik ini. Tangis itu tak pernah terdengar hingga ke luar, karena itulah tak ada orang yang tahu.

Kita menjerit sejadinya tatkala kita keluar dari rahim ibu, itulah tangis kita yang pertama terdengar orang lain, yang merambat ke telinga mereka melalui udara. Namun sebenarnya itu adalah tangisan kesekian kalinya yang keluar dari mulut kita. Itu hanyalah sisa-sisa. Dapat kita bayangkan betapa dahsyatnya tangisan kita sebelumnya, saat perpisahan itu baru terjadi.

Langsung saja setelah kita lahir, di telinga kita dibacakan nama tuhan, agar kita tak merasa asing di sini, agar kita tak kebingungan, agar kita yakin bahwa yang kita rindui-yang kita berpisah darinya-juga berada di alam ini.

Namun yang selalu dirindui itu tak pernah berperilaku biasa. Ia selalu membingungkan, membuat kita nyaris selalu meleset mengenalnya, mengenal sang kekasih yang kini sering menjadi asing. Orang-orang yang merinduinya mencoba menggambarkannya dengan beragam bentuk, citra, dan cerita. Itulah akibat dari sebuah kerinduan hakiki yang tak terobati, seperti tanya yang kunjung terjawab, yang memaksa si penanya menggagas jawaban sendiri.

Sayang memang, kembali ke rahim adalah hal tak mungkin, untuk mendekat kepada saat tangis kita yang pertama. Ialah mimpi, ialah ujung pangkal perjalanan umat manusia. Yang hidup memekik tangis, iri kepada yang telah kembali kepada tangisannya. Yang kembali menangis lagi dalam rahim ar-rahiim.

Seperti para sahabat yang merinduimu, maka kubentangkan jalan menujumu yang selalu membuatku rindu untuk menangis. Datanglah, datanglah wahai inti kehidupanku. Dalam garang, dalam warna-warna, dalam suara membahana. Obatilah rindu ini. Sejenak saja.

(Surakarta, 17 Februari 2012)

Baca Selengkapnya... → Tangis Rindu dalam Rahim Ibu

Semalam Aku Pergi ke Sorga

Oleh: Fariha Ilyas


Inilah cerita, yang katanya tabu

Inilah cerita yang tak seorangpun tahu, termasuk aku

Yang belum mati, yang masih takut mati


Semalam aku pergi ke sorga

Dengan angan-anganku sendiri

Kugendong sekantong cinta

Yang di sana tak berarti


Semalam aku pergi ke sorga

Melewati dingin, dihantar ingin

Kutemui kau di sana

Menyajikan kehangatan yang tak mungkin


Di sorga ada kau, ada mereka semua

Lalu datang aku, turut serta

Kita bicara, lagi-lagi tentang cinta

Yang di sorga tak berguna


Tak ada lagi cinta dan cita-cita, harusnya

Tapi apa nikmatnya mendapat tanpa pinta?

Lalu kita ubah sorga itu

Dengan beberapa cuil nafsu


Entah, tak pernah kita dapat yang kita minta, semalam

Namun kita tak protes, kita hanya diam

Mungkin semalam aku memang berada di sorga

Merasakan semua hal jadi tak berguna


Karena di sorga, kita tak butuh apa-apa



(Surakarta, 17 Februari 2012)

Baca Selengkapnya... → Semalam Aku Pergi ke Sorga

Hidangan & Filsafat

Oleh: Fariha Ilyas



Daging panggang medium, bukan hanya makanan semata. Ia adalah sebuah filsafat. Duduk di meja makan kehidupan, dengan menu moral di hadapan anda. Mata anda menjelajahi hidangan utama, penyelera, dan hidangan dengan pelbagai cara meski anda tahu bahwa daging panggang medium adalah pilihan yang aman, waras, dan pasti. Edna Feber (1887-1968)

Di hadapanku ada beragam hidangan yang seharusnya menggugah selera makanku. Jika tadi aku tak berjumpa dengan seorang gelandangan yang sedang mengais-ngais sampah di dekat sebuah warung makan. Seharusnya tak ada lagi yang kupikirkan saat ini, di hadapan hidangan kegemaranku yang biasanya kusantap tak bersisa.

Namun sekarang tak ada yang tersaji selain nilai-nilai yang mengganggu pikiran, menghilangkan selera makanku. Aku teringat sebuah do’a yang sedari kecil diajarkan untuk selalu dibaca sebelum makan:

Ya Tuhan, berkahilah kami dalam segala rizki yang kau berikan kepada kami, dan cegahlah kami dari api neraka.

Mengucap kata kami dalam do’a itu membuatku tercekat, kerongkonganku seperti tersumbat, sehingga nafasku macet di sana. Betapa rumitnya semua ini.

Mengucap kata “kami” adalah ujian, bukan soal teks, tapi makna, dan bukan hanya makna yang mengambang, tapi sebuah kenyataan terbentang. Kami adalah ilusi, sementara ini. Karena kami telah mengkerut menjadi aku. Dan rizkimu bagi yang di luar aku kadang-kadang kusita dalam serakahku sendiri.

Aku seringkali berpikir bahwa kau adalah yang memelihara mereka. Tak perlu kupikirkan dalam-dalam masalah ini. Namun menuntutmu bekerja, memelihara mereka seperti layaknya merpati yang langsung menyuapi bayi-bayinya adalah ilusi yang keterlaluan.

Kenapa ada orang miskin? sering hatiku bertanya. Ada yang miskin karena ada yang serakah, begitu kata para tetua.

Keserakahan membuat kita jatuh kepada pelayanan kepada diri sendiri yang melenakan, yang sungguh jahat namun tak terasa.

Kuiris sebongkah daging di hadapanku, tanganku gemetar. Kumasukkan sepotong kecil ke dalam mulut, kukunyah. Rasanya jijik tak terperi, seperti mengunyah tubuh manusia, dan mengunyah sebuah kehidupan yang tak berarti, selain sekedar pengenyang.

Inilah filsafat, batinku. Ialah sumber segala keresahan, yang tak enak, yang menunda, yang meragukan pikir. Tapi di sana ada kemanusiaanku, yang penuh lobang keterbatasan, penuh ruang berisi kebodohan. Di sana terbentang jalan, untuk selalu memahami dan mencari arti.

(Surakarta, 16 Februari 2012)

Baca Selengkapnya... → Hidangan & Filsafat

Setahun: Untuk Ibu, dariku

Oleh: Fariha Ilyas


Setahun.

Kau berada dalam keadaan yang tak kumengerti. Setelah isak tangis dulu, yang kulihat dalam hidupku hanyalah celah, yang ada karena ketiadaanmu. Sekarang isak tangis itu tak ada lagi, yang ada hanyalah sebuah kerinduan yang sangat. Rindu itu seringkali datang menghampiri saat aku hendak tidur di tengah malam.

Seringkali aku mendengar suaramu, memanggilku, menyuruhku mandi saat hari sudah mulai gelap sedang aku masih bermain di gundukan pasir di halaman rumah. Sesekali aku seperti merasakan sentuhan kulitmu, seperti dulu saat aku jatuh sakit dan selalu kau rawat dengan penuh kasih.

Dulu, jauh sebelum kau meninggalkan kefanaan aku seringkali berdiam diri di pemakaman, siang, sore, malam. Aku senang berada dalam kesepian pemakaman. Aku sadar bahwa seluruh kehidupan jasmaniah kita, tubuh kita, akan berakhir di pemakaman ini. Kita dan semua penduduk kampung hanya menunggu saatnya tiba bagi diri masing-masing.

Sekarang aku jarang pergi ke pemakaman, walau ayah hampir setiap kali ke sana, aku tak pernah ikut serta. Memandang pusaramu adalah sesuatu yang terlampau berat untuk kutanggung, karena setelahnya pikiranku akan terserang rindu yang besar, dan aku menjadi sakit. Sering-sering tangisku yang tertahan membuat dadaku sesak, panas, dan nafaskupun rasanya mampat. Tak akan kutemui lagi kau dalam dunia fana ini, begitu batinku berkata.

Hanya cintalah barangkali yang masih membuat aku masih memilikimu dalam pikir dan benakku. Cinta itu menembus jauh, tak hanya hati dan pikiran manusia yang mampu dimasukinya. Cinta bahkan mudah saja menjelajah batas-batas dunia untuk menghampiri siapa saja yang berhak atasnya. Kau adalah seseorang yang selalu dituju oleh cintaku, cinta anak-anakmu.

Ibu, sebagaimana kau, aku pun sekarang menjalani sebuah kehidupan yang semestinya teralami, seperti masa remaja selayaknya, aku sering sekali dihinggapi kebimbangan, kegamangan, untuk bersikap dewasa, untuk bertanggung jawab atas segala tindakanku sendiri. Kau tak perlu khawatir, Ibu. Semuanya akan kulewati semampuku. Kau telah mengajarkanku apa itu cinta yang sesungguhnya, maaf jika aku baru mengerti setelah kau tak ada lagi bersama-sama kami di sini.

Belum lama, kami, anak-anakmu, telah memiliki ibu lagi, yang akan mendampingi kami meneruskan jalannya hidup yang tak seorangpun tahu bagaimana akhirnya nanti. Kami bahagia di sini, kami selalu berusaha dan berdo’a demi kebaikan keluarga kita sepeninggalmu. Barangkali, dan memang, tugasmu mendampingi kami, tugas hidupmu di dunia fana ini telah selesai, telah kau rampungkan semuanya dengan sangat baik dan bijaksana. Tak ada lagi yang mesti kau lakukan, dunia ini memang bukan tempatmu lagi. Aku yakin kau menyaksikan semuanya dengan kasih, karena kau ada di sisi yang maha kasih, maha agung, maha mengayomi.

Ibu, dalam gelap malam, dalam sendiri dan dalam penziarahan batinku, aku selalu berharap menemuimu, entah dengan cara apa. Bisikkanlah kepadaku tentang hidup, tentang kebijaksanaan, dan tentang kematian yang sering-sering masih membuat banyak orang takut menghadapinya. Kabarkanklah kepadaku tentang duniamu sekarang, apakah seperti yang sering terbayang dalam benakku atau tidak. Aku mendamba sebuah berita, yang terucap langsung dari mulutmu, Ibu.

Jika tak mungkin kudengar bisikmu......

Aku hanya ingin kita bertemu kembali nanti, bersama-sama, dalam sebuah perbincangan hangat, yang kekal, yang tak usai.

Entah kapan dan di mana itu semua akan berlangsung.

Aku tak tahu, Ibu.


(Madiun, Surakarta, 13-16 Februari 2012)

Baca Selengkapnya... → Setahun: Untuk Ibu, dariku

Jumat, Februari 10, 2012

Pelenyap dalam Kefanaan

Oleh: Fariha Ilyas


Angin masih, menggoyang rerumputan yang lembut dan bersahaja, pada sore yang tak kalah sederhananya. Aku pun masih, meniup-menghisap harmonikaku yang mengeluarkan nada-nada acak, karena kumainkan dia tanpa peran otak, tanpa rencana. Melodinya liar namun rapat seperti rerumputan yang bergerak bebas, tanpa tercerabut dari tanah, tempatnya tumbuh.

Lama sekali rasanya waktu, jika benak tak mau beranjak dari satu titik yang mengikat, membelenggu, mengabadikan rindu. Saat ini sekarang seperti hilang tertelan pusaran yang begitu kuat menghisap kesadaranku akan kekinian. Pusaran itu datang dari sebuah titik di masa lalu yang sangat jauh, jauhnya seperti cakrawala, di mana batas bumi dan langit berhimpit.

Kesadaranku pulang, tanpa kusangka, saat terasa ada sentuhan di bahuku, lemah sekali sentuhan itu, namun tetap kurasa. Ah, rupanya kau.

Kau datang, dan selalu datang menggerakkan waktuku. Tak pernah kita lewatkan pertemuan seperti ini tanpa rasa, tanpa makna. Untuk itulah setelah itu -- dalam berjalannya waktu – kita tak pernah merasakan jemu. Entah apa yang membuat kita terpisah dari sifat waktu yang sering mengundang bosan, kejenuhan.

Mungkin karena kita sama-sama tak hirau lagi pada diri, pada angin, pada rerumputan. Tak ada yang kita perhatikan, tak ada yang kita biarkan menancap di pikiran kita, lalu menjadi imaji, ingatan, dan sering-sering menjadi bosan.

Kau adalah pelenyapku dalam kefanaan. Terimakasih atas hadirmu. Sore menjadi sederhana, akhirnya, tanpa rindu, tanpa belenggu, seperti kataku tadi.

(Surakarta, 10 Februari 2012)

Baca Selengkapnya... → Pelenyap dalam Kefanaan