Rabu, Oktober 19, 2011

Kita dan Waktu Ini

Oleh: Fariha Ilyas

Kawan, entah dari mana datangnya gejolak untuk menuliskan surat sederhana ini. Aku sendiri tak pernah benar-benar mengerti apa sebenarnya yang membuat kita memikirkan sesuatu, yang kadangkala begitu kuatnya hingga sesuatu itu tak hanya ingin bersemayam di dunia pikiran, ia ingin menerobos keluar, bergabung dengan khidupan kita senyatanya.

Kawan, bisa jadi apa yang kita katakan sebagai hubungan persahabatan itu palsu belaka, karena toh kita berhubungan atas dasar dorongan kepentingan-kepentingan kita sendiri. Kita hampir tak pernah melakukan sesuatu dalam dunia tanpa tendensi.

Sore ini aku tak peduli dengan apapun yang memotivasi kita dalam hubungan ini. Aku hanya ingin membicarakan nilai, kualitas, dan kebermaknaan.

Kawan, mungkin aku tak mengerti apa-apa dalam hidup ini, aku hanyalah pelaku biasa yang tak punya pendapat khusus tentang apa sebenarnya hidup ini. Namun, walau aku tak mengerti, aku sedikit bisa merasa, sepertimu juga yang berperasaan.

Aku pernah, dan kalian juga pernah mengalami berbagai gejolak universal dalam hubungan kita yang walau tak langgeng namun selalu ingin kita simpan dan awetkan ini. Rasa benci, curiga, dan berbagai perasaan lain tentu sering hinggap dalam perasaan kita masing-masing. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan itu semua, karena berarti kita masih punya reaksi terhadap hal-hal yang mengusik diri kita, walaupun semua itu terjadi dalam bingkai yang kita sebut sebagai persahabatan.

Persahabatan tentu tidak akan membuat kita meniadakan diri kita sendiri. Kita adalah sekumpulan individu yang masih mengerti berupa-rupa perbedaan yang menjadikan diri kita unik. Kita mengerti bahwa perbedaan-perbedaan itu tetap ada, yang kadang tetap perlu kita perdebatkan dengan kepala dingin. Kita sama-sama tak suka diam dengan perbedaan karena kita terbuka kepada kemungkinan akan pendewasaan diri yang bisa kita peroleh dari proses interaksi kita.

Sering aku bertanya kenapa kita seolah tak pernah merasakan saat ini, waktu ini. Hingga kita sering tiba pada suatu titik di mana kita merindui sebuah peristiwa. Kita seringkali membangun monumen sejarah usang yang mati. Kenapa kita masih senang terdampar di suatu waktu yang mengasingkan kita dengan hari ini? kemudian kita mulai menangis.

Sahabat, apakah kita mampu menghidupkan segala peristiwa yang terjadi? Mencegahnya menjadi beku dan lambat-laun tak bernyawa lagi.

Kita dan waktu ini, adalah sebuah gerak sejarah yang hidup. Yang sedang menuju yang absolut.

(18 Juni- 25 September 2011)

Baca Selengkapnya... → Kita dan Waktu Ini

NERAKA VERSI SETAN

Oleh: Fariha Ilyas

Di sebuah tempat yang tidak tercatat dalam kitab suci, setan baru saja kembali dari perjalanannya bercengkerama dengan rekan-rekannya di planet tempat tinggal manusia. Tak seperti biasanya, kali ini ia pulang lebih cepat dari biasanya. Jutaan setan masih berada di tempat manusia berada, mereka masih bersatu dengan banyak manusia.

Setan berdiri tegak memandangi bumi, matanya dengan tajam melihat setiap peristiwa yang terjadi nun jauh di benda kecil seperti butir pasir. Tiba-tiba ia merasa limbung, entah kenapa. Ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa matanya tiba-tiba menjadi berat. Pikirannya seolah mengambang, memori-memori yang hampir saja ia lupakan melesat-lesat tak terkendali. Terlintas masa saat ia masih bernama malaikat, saat ia mengerjakan titah tuhan membangun infrastruktur semesta. Pelan-pelan setan itu kehilangan kesadaran. Saat itu tuhan membuatnya tertidur.

Dalam tidurnya, setan melihat neraka. Di sana ia melihat banyak sekali malaikat yang sedang berkerumun, berkelompok-kelompok. Para malaikat itu sedang berunding. Setan mendengar percakapan para malaikat itu. Mereka ramai-ramai membicarakan keputusan tuhan.

Tuhan memerintahkan para malaikat untuk menutup pintu neraka. Tuhan berkata bahwa seluruh umat manusia tidak layak hidup di neraka. Setan terkejut mendengar apa yang mereka bicarakan itu. Ia merasa Tuhan sembrono karena mengingkari janjinya sendiri. Begitulah pikiran picik setan.

Ia kemudian menuju tuhan.

“Tuhanku, apakah arti dari seluruh upayaku jika pada akhirnya seluruh umat manusia kau masukkan ke dalam sorga?”, setan bertanya.

Tuhan diam. Tapi sebenarnya ia berkata dalam segala.

“Tuhan, dimanakah janjimu dulu? Bahwa kau akan membalas setiap perbuatan yang dilakukan manusia. Bukankah kau adalah tuhan yang maha adil?”

Tuhan diam. Tapi sebenarnya ia berkata dalam segala.

“Tuhan, apakah kau tak mau mendengarkanku lagi? Aku adalah setan, hambamu yang paling patuh, aku dulu tak sudi bersujud pada makhlukmu yang engkau katakan paling mulia. Aku hanya bersujud kepadamu. Sekarang kau saksikan sendiri makhluk-makhlukmu itu. Mereka sama sekali tidak mengenalmu. Yang mereka kenal adalah kami, yang selalu memberi mereka kesenangan dan menghapuskan rasa bersalah dari hati mereka sepanjang hidup.”

Tuhan diam. Tapi sebenarnya ia berkata dalam segala.

Setan terbangun dari tidurnya dan ia menemukan dirinya dalam surga. Ya, ia sekarang berada di sorga. Ia kebingungan.

Dilihatnya seorang manusia yang berjalan di dekatnya.

“Hey, apakah kau manusia yang menghuni sorga ini?”

“Ya, aku mendapat rahmat tuhan dengan tinggal di dalam sorga”

“Berapa lama kau tinggal sini, wahai manusia?”

“Aku sudah lama sekali di sini, aku tak sanggup mengungkapkan berapa lama waktu yang kulewati di sini, lama sekali. Di sorga lain banyak sekali manusia yang tinggal lama sekali sepertiku”

Setan terdiam. Ia kebingungan dengan situasi ini. Jangan-jangan apa yang ia temui tadi benar, pikirnya. Setan tidak mengerti bahwa pertemuannya dengan malaikat dan tuhan adalah mimpi.

Ia kemudian berniat menghadap tuhan. Lalu sampailah ia kepada tuhan.

“Tuhanku, apa sebenarnya arti semua ini? kenapa banyak sekali manusia yang masuk sorga? Dulu aku banyak sekali menggoda manusia, tapi kenapa banyak sekali manusia yang berhak tinggal di sorga?”

Tuhan diam. Tapi sebenarnya ia berkata dalam segala.

Lalu tiba-tiba muncullah setan yang lain. Setan itu segera menarik tubuh setan yang masih diliputi kebingungan.

Setan yang baru saja tiba itu berkata: “Wahai sahabatku, diamlah kau! Jangan terlampau bingung dengan keadaan ini. Kuberitahukan kepadamu setan yang bodoh! Manusia yang kau temui di sorga itu memang berhak tinggal di sana! Semasa hidup, ia memang meminta sorga, dan tuhan memberi apa yang mereka minta! Mereka akan tetap tinggal di sana selamanya! Tenanglah kau sobat! Misi kita telah berhasil sempurna! Banyak sekali manusia yang masuk sorga! Itulah sebenarnya neraka yang dulu dijanjikan karena mereka tidak kembali kepada tuhan, mereka terperangkap di dalam neraka yang sebenarnya! kenapa kukatakan demikian? Karena aku pernah berjumpa dengan manusia-manusia penghuni sorga dan mereka benar-benar menikmati kehidupan mereka sekarang. Mereguk segala kenikmatan yang mereka anggap tiada tara. Padahal mereka tidak mengetahui bahwa ada sebagian kecil manusia yang mendapat kenikmatan yang jauh lebih besar. Sebuah kenikmatan yang tak terkatakan. Mereka itu, sebagian kecil itu, telah sepenuhnya kembali kepada tuhan. Mereka itulah manusia yang tidak terjebak oleh apa-apa. Karena sepanjang hidup, yang ada di benak mereka, yang paling mereka rindui adalah tuhan. Dan tuhan memberi apa yang mereka inginkan”

Setan pertama diam, sedang setan kedua menatap setan pertama dengan tatapan penuh makna. Neraka menurut setan kedua adalah sebuah penghalang bagi pertemuan manusia dengan sang asal.

Setan pertama tersenyum lega. Tanpa mereka sadari, ada setan ketiga yang mendengar percakapan mereka berdua. Setan ketiga ini juga tak mengerti bahwa ia sedang tertidur dan bermimpi. Ia merasa hidup wajar seperti manusia. Ia merasa ia adalah manusia.

(Ditulis langsung oleh Setan ketiga. Surakarta, 24 September 2011)

Baca Selengkapnya... → NERAKA VERSI SETAN

MODI

Oleh: Fariha Ilyas

“Aku melihatnya sekali berdansa di depan patung Balzac. Wajahnya sangat tampan, tangannya sangat anggun, sama seperti ia melambaikan senyumannya. Ia adalah semua diriku dulu, maka aku curi momen itu dan menyimpannya ke dalam pikiranku, untuk menghiburku di akhir hayatku” (Pierre Auguste Renoir, dalam The Winner)

Yang dimaksud dalam catatan Renoir tersebut adalah Modigliani, nama lengkapnya Amedeo Modigliani, yang lebih suka dipanggil “Modi”, seorang seniman asal italia. Modi yang semasa hidupya bersinggungan dengan Pablo Picasso saat ia merantau di Paris merupakan seorang seniman yang unik. Hidupnya yang berliku, kegemarannya mabuk-mabukan dan sifatnya yang cenderung temperamental (walau sebenarnya ia juga seorang pria yang sangat romantis) membuat ia selalu dikenang sebagai seniman yang eksentrik.

Modi terkenal dengan lukisannya yang tidak lengkap pada bagian mata. Ia memiliki aturan untuk dirinya sendiri bahwa ia akan melukis mata orang yang dilukisnya saat ia telah mengetahui jiwa orang tersebut. Lukisan-lukisan pertamanya yang modelnya adalah Jeanne yang tak lain adalah istrinya sendiri juga tak bermata lengkap.

Malam pembukaan kompetisi lukis, tepuk tangan yang gemuruh tak henti setelah kain penutup lukisan dibuka. Sesosok perempuan berpakaian biru duduk dengan kepala tertunduk, sebuah pose yang tak terlalu istimewa. Namun yang menakjubkan adalah kedua bola mata perempuan dalam lukisan tersebut, yang menjadi pengundang tepuk tangan yang bergemuruh. Mata perempuan itu mengungkapkan seluruh dunianya, hidupnya, cintanya. Mata perempuan itu laksana lembar-lembar kehidupan yang terbuka, seperti sebuah buku, namun lebih ajaib daripada buku. Buku harus dibaca, sedang sorot mata perempuan itu bicara, dan yang mendengar adalah mata setiap orang yang menatapnya.

Itulah karya Modigliani, lukisan yang berjudul “Jeanne” itu tak pelak membuat hampir seluruh pengunjung galeri menangis, reputasinya dalam melukis potret yang sangat terkenal membuat orang terhenyak pada malam itu saat mereka menyaksikan karyanya. Akhirnya ia melukis mata seseorang.

Jeanne-seperti pengunjung galeri malam itu- juga terisak, air matanya mengalir deras sekali, ia tersedu, haru, sebiru lukisan pria yang amat dicintainya. Malam itu Jeanne menemukan keutuhan cintanya dengan Modi. Ya, Modi telah mengenal jiwanya. Terngiang-ngiang di telinganya kata-kata Modi dulu saat mereka baru saja merajut cinta, saat Modi menjadikannya objek suci untuk lukisan-lukisannya: “Jika aku mengenal jiwamu, aku akan melukis matamu”.

Di saat yang sama, pria yang selalu setia dengan botol minumannya, sekarat di atas salju tebal, berdarah dan merintih tak berdaya. Malam itu Modi dianiaya oleh perampok jalanan.

Tak lama berselang Modi menghembuskan nafasnya yang terakhir. Perasaan Jeanne hancur saat pria yang paling ia cintai telah tiada. Mereka telah lama saling mencintai, tak ada yang meragukan itu. Namun Modi, sebagai seseorang yang benar-benar ingin mencintai Jeanne sepenuhnya tak ingin membuat sesuatu tentang Jeanne tanpa benar-benar yakin tentang apa yang ia ketahui tentang Jeanne.

Itulah kenapa Jeanne sangat mencintai Modi. Ia memang ingin dicintai dengan sungguh-sungguh, tidak hanya dengan dasar perasaan, namun juga berdasar pada kenyataan yang apa adanya tentang diri, hidup, dan perjuangannya mempertahankan cinta yang mendapat banyak tantangan karena ia Kristen dan Modi adalah seorang Yahudi.

Kisah cinta berbalut upaya manusia mencapai kebenaran lewat seni yang merupakan jalan hidup Modi dan Jeanne mungkin sudah cukup untuk menjadi penjelasan tentang apa itu kebenaran cinta. Cinta tak melulu romantis, ia kadang datang terlampau dramatis, menerjang, mengoyak, dan saat ia ada di hadapan kita, kita dipaksa menangis. Itulah saat kebenaran tiba.

Mungkin saja.

(Surakarta, 23 September 2011)

Baca Selengkapnya... → MODI

Mbok Nar dan Rindunya

Oleh: Fariha Ilyas

Jam dinding tua tak berdetak, jarum panjangnya berhenti di angka lima, jarum pendeknya terpaku di angka sembilan. Sudah tujuh tahun roda-roda mekaniknya tak saling merengkuh, bergesek dan menggerakkan.

Di bawah jam kotak yang kacanya buram dan berdebu itu duduk seorang perempuan renta, mbok Nar, begitu ia biasa dipanggil. Sedari subuh tadi mbok Nar hanya duduk termangu di kursi tua yang terbuat dari kayu dan anyaman rotan, tatapannya kosong, mulutnya terkatup rapat, dan badannya seperti beku, tak bergerak. Di sampingnya terdapat meja kayu berbentuk bundar yang tak terlalu besar, di atasnya terpampang foto seorang pria yang berjaket tebal, menyandang tas carrier dan mengacungkan tangannya tangan terkepal ke udara.

Sementara di luar angin musim kemarau yang kencang dan dingin terus saja berlalu, menghampiri orang-orang, daun, dan rerumputan. Beberapa layang-layang masih menghiasi langit pagi, layang-layang yang sengaja dipanjer oleh pemiliknya. Suara takbir yang tak putus-putus sejak sore sebelumnya terdengar jelas dari pengeras suara masjid, takbir itu kian terasa penuh semangat pagi itu.

Dunia mbok Nar ternyata tak setenang tubuhnya yang seolah beku. Pagi itu adalah pagi paling riuh dalam hati dan pikirannya. Ia tak mempersoalkan dirinya yang mulai pikun atau seringkali terhuyung saat berjalan, keadaan itu bagi mbok Nar sudah disadari sebagai kelaziman, usianya memang sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi mbok Nar kadangkala menjadi manula yang sangat kesepian, itulah yang paling membuatnya sering bersedih hati. Tiga puluh satu tahun yang lalu anak mbok Nar satu-satunya yang kala itu beranjak remaja meninggal saat mendaki gunung di wilayah timur pulau Jawa. Mbok Nar dan suaminya merasa sangat terpukul dengan berpulangnya anak meraka yang terkasih.

Mbah Ram, suami mbok Nar, menyusul puteranya tujuh tahun lalu, mbok Nar pun mau tak mau harus menjalani sisa umurnya seorang diri. Dalam kesepian inilah kesedihan sepertinya menjadi mudah hinggap di hati perempuan tua yang baik hati itu. Kesedihan mbok Nar memang tak terlampau menyentuh hati tetangga atau kerabatnya, karena seolah seorang yang telah berumur tua itu memang harus kuat dan tabah menghadapi cobaan hidup, salah satunya adalah cobaan ditinggal orang-orang terkasih. Umumnya orang tentu lebih iba kepada anak yang ditinggal mati orang tuanya, daripada seorang tua yang ditinggal mati anaknya.

Mbok Nar memang tak hidup kekurangan karena suaminya mewariskan sawah yang cukup luas, yang selama ini digarap oleh beberapa buruh tani. Mbok Nar sendiri sebenarnya tak terlalu memikirkan hasil sawahnya yang digarap, ia hanya perlu sedikit saja dari hasil yang dapat dipetik, ia hanya bituh sekedar untuk makan sehari-hari, selebihya ia serahkan sepenuhnya pada para menggarap sawahnya yang rata-rata memang kurang layak hidupnya.

Sehari-hari mbok Nar membunuh waktu dengan menjaga warungnya yang sederhana, yang menyediakan minuman teh dan kopi beserta beberapa makanan sederhana. Orang-orang kadang heran kenapa mbok Nar yang sudah tercukupi mau bersusah-susah dengan membuka warung. Namun lambat laun orang mengerti kalau mbok Nar sebenarnya butuh teman bercengkerama, tak lebih.

Pagi itu, saat semburat merah di langit timur semakin hilang dan cahaya pagi semakin terang, pagi itu diantara gema takbir yang mengiringi langkah orang-orang menuju masjid, saat banyak orang merasakan kebahagiaan, saat itulah rasa rindu bagi mbok Nar semakin terasa keras, dan rindu yang keras itu berhenti di kerongkongannya.

Rindu memang tak pernah permisi, seperti halnya cinta dan kesedihan yang mudah saja datang dan pergi dalam hati manusia. Rindu juga tak pandang usia, status, dan jenis kelamin, ia adalah atribut perasaan seluruh manusia yang kadangkala merasa berat menanggungnya.

Butir-butir bening meluncur dari mata sayu itu, yang kelopaknya telah rapuh dan cekung. Butiran hangat itu terus meluncur pada permukaan kulit yang kisut keriput, berhenti sebentar di dagu mbok Nar, kemudian jatuh meresap di kain jariknya. Air mata yang masih sempat tertahan di pekuburan, mbok Nar urung menangis karena di sana ia menjumpai benyak sekali orang yng kehilangan sepertinya, Warto yang bapaknya baru saja habis selamatan kematiannya, Nisa dan Alfi, kakak- beradik yang cantik itu terpejam matanya, mereka khusyu’ dalam do’a di depan makam ibunya, atau mbok Warsi yang setiap tahun juga tak pernah absen nyekar ke makam mbah Din, suaminya. Semua orang yang sama-sama merasakan kehilangan itu membuat mbok Nar merasa lebih tegar.

Namun hati tetaplah hati, dan manusia yang serba terbatas tentunya wajar jika ia tetap merasakan kesedihan, seberapa kuatpun ia, seberapapun rentanya, seberapapun banyak ilmunya, manusia tetaplh boleh bersedih atau menangis. Selama hidup memang kita hanya bergulat secara lahir dan batin dengan sesama kita, bahkan lewat orang lain pula tuhan menyentuh kita.

Di bawah jam dinding kuno yang dulu selalu diputar oleh suaminya, di bawah penanda waktu yang tak berfungsi itu, di samping foto anak lelakinya, pagi itu mbok Nar berada dalam rindu. Hanya rindu. Rindu yang sunyi, sunyi sekali, menahun, membatu dan menggerogoti jiwa. Rindu itu hanya berhenti di kerongkongan, tak terkatakan.

Sementara takbir terus saja berkumandang. Namun mbok Nar sedari tadi tak mendengar apa-apa. Hanya ada butiran bening yang semakain sering.

Dan rindu selalu riuh, ia menari-nari, dalam sunyi.

(Untuk rindu yang tak kupahami. Madiun, 30 Agustus 2011)

Baca Selengkapnya... → Mbok Nar dan Rindunya

Anak-anak Cinta

Oleh: Fariha Ilyas

Dari cinta kita bermula, begitulah kira-kira. Kita lahir dari buah cinta dua manusia yang ingin berpadu menapak hidup, bersama menjejakkan langkah menuju kehidupan yang paripurna, begitu katanya. Seperti kita pula, mereka-orang tua kita- adalah manusia yang hidup dengan menghirup wewangian cinta yang menembus zaman. Barangkali cinta adalah makhluk yang dikaruniai usia paling panjang di alam ini, seperti halnya antitesisnya: Kebencian.

Saat kita tumbuh dan mengakrabi semesta kenyataan, dengan sendirinya kita mulai meraba-raba hakikat sebuah rasa yang karena begitu kompleksnya membuat kita pantas memprotes perihal terlalu singkatnya nama yang diberikan untuk melabelinya: Cinta. Ringkas, tak serumit kenyataannya. Ya, bahasa kadangkala hanya menjadi tempat bersembunyi bagi hal-hal yang kadang terlalu dahsyat untuk bermanifestasi dalam bentuk lain. Maka dari itu kita cukup mengetik pesan singkat: “I love U”, misalnya, untuk memadatkan kecamuk dalam dada, gelora yang paling universal dalam benak manusia ini. Yang kadangkala saking besarnya bisa-bisa ia membinasakan orang yang kita cintai jika ia dapat mewujud dalam benda.

Dalam perjalanannya, cinta menjadi sesuatu yang begitu lentur untuk dimaknai, ditafsirkan. Banyak sekali makna cinta yang lahir dan terus membiak, yang berkaitan erat dengan kebudayaan dan spirit zaman di mana manusia menjadi bagian yang ada di dalamnya, melahirkannya, sekaligus terpengaruh olehnya.

Tarik ulur makna cinta itu sendiri menjadi sebuah epik yang rupanya menjadi kekhasan daripada cinta. Ya, kita tak pernah mendapati cinta yang mati dalam kebekuan makna, ia selalu hidup dan bergerak, berubah betuk tanpa kita sadari. Itulah kenapa kita selalu bisa bicara tentang cinta, atau diam-diam menghidupinya dalam hati, tanpa alasan yang jelas. Kita sulit mengerti kenapa cinta mampu mengambil tempatnya sendiri dalam benak kita, seperti yang juga dilakukan oleh antitesisnya: Kebencian.

Untunglah cinta itu abstrak, jika tidak, maka kita tak punya ruang kecuali hanya sejengkal saja untuk menafsirkannya. Cinta, kadangkala mengambil tempat yang jauh lebih sublim daripada tuhan. Jarang orang ingin adu mulut, saling menyakiti, atau membunuh karena berselisih paham tentang cinta. Karena bisa jadi orang masih merasa bahwa cinta memang punya fungsi dalam menggerakkan batin dan pikiran kita, atau setiap orang secara tak sadar mengakui bahwa mereka dilahirkan dari cinta, mereka adalah anak-anak cinta. Cinta sesuatu yang melingkupi manusia dengan disertai banyak keterlibatan manusia dalam membentuk gambarannya. Cinta tak menjadi terlalu kabur saat ia disebut dengan berbagai nama, bermacam istilah. Bahkan sehari-hari kita biasa meminjam istilah dari kebudayaan yang lain untuk mengatakan cinta kepada sesama kita, kekasih, atau keluarga.

Kali ini tuhan kalah mampu dengan ciptaannya sendiri dalam memengaruhi dan mengakrabi manusia. Jangan-jangan tuhan telah melakukan kesalahan dengan menyebut namanya sendiri dalam kitab suci. Hingga kita seakan telah benar-benar mengenalnya dengan mengetahui namanya, lalu kita berhenti, atau memang kita yang terlalu bebal dengan panjangnya sejarah, yang bisa jadi telah terlalu rumit untuk diurai kembali, agar kita bisa menerima jika memang ada kemungkinan bahwa tuhan juga memperkenalkan diri dengan nama lain kepada kita. Kita lebih akrab dengan cinta tuhan barangkali, daripada dengan tuhan itu sendiri. Karena tuhan rajin bersembunyi di balik teks, sedang cinta rajin menyeruak ke dalam perilaku dan buah karya manusia. Tuhan tak beranak, tapi cinta telah beranak cucu, kita adalah anak cucunya.

Kita, anak-anak cinta, kita lahir bukan dari cinta yang beku makna, kita lahir dari proses bergulirnya makna cinta dari zaman ke-zaman, dari generasi ke-generasi, kita lahir dalam pergulatan manusia dengan sesuatu yang selalu ingin ia pahami. Untuk itulah sampai hari ini kita pun tak lelah bicara tentang cinta, karena cinta tak pernah selesai, ia adalah roh kehidupan. Bisa jadi kehidupan inilah cinta yang sebenarnya.

Tak mengherankan jika kita selalu mencari makna cinta dengan berbagai cara, karena tak lain tak bukan kita sedang mencari asal-usul kita sendiri, dengan membaca jejak-jejak antara yang usang-yang terpatri dalam sejarah, sambil mencoba merasakan yang aktual, yang sedang berlangsung, yang bergetar dalam hati sanubari kita.

Hari ini kita lihat di etalase, di televisi, di majalah-majalah. Sekarang semakin banyak benda-benda yang ditawarkan untuk mengungkapkan cinta, banyak sekali acara di televisi yang menampilkan berbagai cara yang unik dan nyeleneh untuk mengatakan cinta, berbagai tips untuk menyatakan cinta. Menarik sekali sepertinya, kita menjadi kreatif sekali membiakkan semesta simbolis dari cinta. Tapi kadang ada semacam tanya dalam hati, jangan-jangan semua ini adalah akibat dari frustasinya umat manusia dalam menjelaskan cinta.

Saya sendiri juga masih belum ngeh. Makin saya tulis, makin membuat kepala saya sendiri pening. Hehehe.....

(Dini hari. Surakarta, 15 Agustus 2011)

Baca Selengkapnya... → Anak-anak Cinta

Pertemuan dengan Tubuh

Oleh: Fariha Ilyas


Kadangkala ada yang janggal saat banyak ritual ibadah yang pelan-pelan berubah wujud menjadi sebuah rutinitas belaka. Memang dimensi waktu yang dipadu dengan titik-titik pemberhentian yang nyaris sama seringkali membuat kesan bahwa rutinitas adalah sesuatu akan lahir dengan sendirinya seiring gerak kontinyu kita. Ya, rutinitas adalah anak sah dari kontinuitas. Namun di saat yang sama, kehadiran yang lain (the other) menjadi sebuah kerinduan tersendiri dalam memoles rutinitas menjadi sesuatu yang selalu sarat makna, sesuatu yang aktual, yang tak boleh usang karena sudah menjadi terlalu biasa.

Sepanjang hari selama sebulan ini kita yang berkewajiban menjalankan ibadah puasa dituntut untuk mengurangi apa yang dirasa berlebihan dalam diri kita. Apa yang dirasa berlebih itu tentu menjadi sesuatu yang berbeda dalam diri masing-masing orang. Tetapi toh kita perlu sebuah aturan yang jelas untuk mengawal segala bentuk ritual ibadah, yang tujuannya adalah sebuah ketertataan. Menahan diri dari makan dan minum adalah salah satu bentuk simbolisme dari upaya untuk mengarungi samudera makna dari: menahan diri.

Namun fenomena yang terjadi dalam keseharian seringkali tak sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari ritual ibadah yang diperintahkan untuk dijalani dan dihayati para penganutnya. Entah kenapa ritual ibadah yang sarat simbolisme seringkali hanya berhenti pada tataran permukaannya saja, kering, dan hampa makna. Puasa yang menjadi medan berlatih untuk membentuk pribadi yang mampu menahan diri-tidak selalu meloloskan keinginan- selamanya hanya menjadi medan berlatih, tanpa hasil berarti.

Sering orang mempersiapkan ibadah puasa layaknya orang yang akan menjalani sebuah hukuman. Makan dengan porsi yang sekiranya mampu membuat tubuh tak merasakan efek yang jauh berbeda dengan kondisi normal. Tak salah memang, karena selama kita berpuasa kita mestinya memang beraktifitas seperti adanya. Rasa lapar, haus, memang sebuah kondisi yang disimulasikan untuk membuat diri kita menemui tubuh kita yang sebenarnya tak dapat dilepaskan dari asupan nutrisi yang menghidupinya, dan yang lebih penting lagi adalah berjaraknya tubuh dengan keinginan yang selalu muncul dari rasa kurang yang kita miliki. Tubuh adalah penampung sebagian dari keinginan-keinginan kita yang bendawi. Dengan berjaraknya tubuh dengan akibat-akibat dari keinginan itu, ada peluang bagi diri untuk mendapati tubuh yang apa adanya.

Sekiranya memang demikian makna berpuasa, maka akhir dari bentuk ibadah ini tentunya akan jauh dengan sebuah perayaan yang penuh dengan kegiatan yang kembali mengasingkan tubuh, yang hanya menjadikan tubuh sebagai penampung benda-benda yang kita inginkan. Tubuh membutuhkan sesuatu yang takarannya sering kita manipulasi atau termanipulasi oleh nafsu yang tak kita sadari.

Kemenangan, yang sering kita teriakkan bisa jadi hanya sebuah kekosongan belaka jika kita gagal menemui tubuh kita. Dengan gagalnya pertemuan dengan tubuh, kita tentunya akan sulit menggapai yang batin, yang rohani, yang maknawi. Karena dalam keseharian, tubuh sringkali malah menjadi korban dari keinginan-keinginan yang tak diperlukannya.

Puasa adalah jalan pertemuan dengan tubuh, yang wajar, yang biasa, yang selayaknya. Pertemuan dengan tubuh membuat kemunculan yang lain (the other) menjadi jelas, yang kita sering sebut sebagai kepekaan, empati, dan timbulnya rasa kebersatuan dengan sesama makhluk tuhan. Hal inilah yang menegaskan bahwa segala bentuk ritual ibadah tidak hanya berfungsi sebagai bentuk ketaatan dan jalur komunikasi vertikal dengan tuhan, melainkan (yang utama) adalah sebuah upaya perbaikan diri yang mengarah kepada kehidupan sosial kemasyarakatan yang horizontal.

Niat, selalu kita tujukan kepada yang memiliki otoritas dalam menilai kualitas ibadah kita. Sedang akibat, selayaknya kita tujukan dan buktikan kepada sesama yang walaupun tidak memiliki otoritas dalam menilai kualitas ibadah kita, namun akan menjadi indikator tingkat keberhasilan kita menata diri selama berpuasa.

Semoga puasa kita tidak selalu menjadi latihan. Dan yang lebih menakutkan hanya menjadi budaya yang hampa makna.


(Surakarta, 9 Agustus 2011)

Baca Selengkapnya... → Pertemuan dengan Tubuh

HARI

Oleh: Fariha Ilyas


Untuk kawan-kawanku

Hari ini mungkin adalah hari biasa, hanya sebuah keberlanjutan dari hari kemarin. Tak ada yang berbeda dengan hari ini, kemarin, atau esok. Hari hanyalah penanda untuk mematok perjalanan waktu yang tak pernah berhenti.

Hari ini menjadi berarti karena sesuatu yang kita lekatkan kepadanya. Banyak hal yang selalu ingin kita ingat, kita kenang, kita maknai, kita peringati. Bisa jadi hal itu terjadi karena rasa takut kita akan kehilangan sebuah ingatan. Namun sebenarnya bukan hanya itu, kita selalu mendamba kebermaknaan, kita selalu ingin melahirkan makna-makna.

Hari ini adalah hari yang berarti, karena kita temukan diri kita dalam kehidupan, dan menjadi bagian dari kompleksitasnya. Kita tentu akan tertarik mundur ke belakang, ke hari kelahiran kita. Karena lahir atau mati bukan berada dalam kekuasaan kita maka selayaknya kita memperingati ketakberdayaan.

Hari ini kita sama-sama menginsyafi bahwa awal mula hidup kita adalah ketakberdayaan. Kita tak dapat mengatur atau merencanakan hari kelahiran kita sendiri. Bagi orang lain itu mungkin dapat diterka, tapi tidak dalam sudut pandang kita sendiri sebab kita dahulu pun tak tahu bahwa kita akan lahir.

Hari ini dengan berlalunya waktu, kita tentu mensyukuri ketidakberdayaan itu pada akhirnya mengantarkan kita pada sebuah kesadaran akan peran orang-orang yang mencintai kita, merawat kita, dan merasa bahagia atas kehadiran kita di tengah-tengah mereka. Kita takkan pernah sampai pada hari ini sendirian.

Hari ini kita tentu mulai menemukan arti hidup kita diantara rimba kehidupan yang multisubyek ini. Kita menyadari bahwa hidup kita adalah rajutan dari apa yang kita miliki dan apa yang orang lain artikan tentang semua hal yang kita miliki itu.

Hari ini aku ingin kau mengerti bahwa aku adalah salah satu dari orang yang ingin memaknaimu dengan segala yang kau miliki.

Hari ini ingin kutandai dalam satu kata: Kejujuran.

Sederhana memang, karena kejujuran adalah nama lain dari apa yang senyatanya, apa yang mamang ada dan terjadi. Tak perlu ada upaya apapun dalam kejujuran itu selain kembali kepada kenyataan itu sendiri.

Bagiku kejujuran adalah sebuah ruang yang menampung segala kenyataan, sebaik atau seburuk apapun kanyataan itu. Dalam kejujuran baik dan buruk bukan merupakan predikat lagi, nilainya menjadi sama. Kejujuran membuat yang baik dan yang buruk berubah wujud menjadi satu hal, melebur menjadi satu kata: Kebenaran.

Hari ini aku ingin mengatakan bahwa aku sangat menyayangimu, kawan. Aku juga ingin mengatakan kepadamu bahwa aku bukanlah sosok manusia sempurna yang tak bercacat. Kadangkala aku menyayatkan luka yang tak nampak olehmu. Aku melukaimu dengan jalan melukai segenap perasaan yang kita hidupi bersama selama ini. Sebenarnya aku sendirilah yang layak merasakan sakitnya luka itu, karena perasaan yang kusayat dengan pisau keserakahanku adalah perasaan yang ada dalam benakku sendiri yang semestinya aku jaga layaknya engkau menjaganya di benakmu.

Hanya itu kejujuran yang ingin kukatakan saat ini. Semoga ucap singkatku tentang kejujuran itu mampu meleburkan dua hal yang berlawanan. Semoga kebenaran ini kau ketahui.

Hari ini semoga kau mampu menggapai kebermaknaan yang diimpikan semua manusia, yang akan menjadikan keterbantangan waktu ini tak hanya kosong. Yang akan membangkitkan nilai-nilai dalam kehidupan yang telah, sedang, dan akan kau jalani.

Hari esok tentu masih kita harap menjelang menjemput kita, memberi kita kesempatan untuk merampungkan berbagai persoalan yang muncul dan membiak di benak kita. Aku ingin merampungkan banyak hal denganmu. Bahkan jika tuhan memang setuju dengan inginku, aku ingin merampungkan hidupku bersamamu.

(Surakarta, 21 Juni 2011)

Baca Selengkapnya... → HARI

Surat Untuk Dua Kekasihku yang Satu

Oleh: Fariha Ilyas

Empat belas hari, empat belas hari aku berusaha menjelajahi apa yang dapat kupahami atau kuterka dari semua hal yang pernah terjadi.

Satu hal saja telah membuatku kehabisan tenaga, aku berpikir tentang satu hal yang menjadi puncak pencarian manusia, Cinta. Sebelum membicarakan hal itu banyak sekali tahap-tahap yang mestinya kita lewati.

Dalam alur pikirku yang tak beraturan ini aku mulai merasakan sempitnya dunia kita masing masing. Aku merasa hidup dalam sangkar kecil saja, ada ketakutan luar biasa untuk keluar, berdiri dengan gagah dengan keseluruhan diri kita yang sebenarnya. Aku berada di lingkaran nyaman yang hanya sejengkal saja luasnya.

Aku hanya mampu menjadi diriku dihadapan sedikit orang. Selebihnya aku hidup dengan topeng dan jubah-jubah yang menyembunyikan diri dari keasliannya. Denganmu aku merasa jauh lebih baik, walau tetap saja ada sesuatu yang kusembunyikan jauh di dasar hatiku. Hal itu membuatku bertanya-tanya, apakah setiap orang juga mengalami hal yang sama? Apakah setiap orang memang memiliki rahasia-rahasia yang akan terus disimpan jauh di dasar hatinya. Sebuah rahasia yang bagiku merupakan kata kunci yang akan membuat kita selalu memiliki ruang untuk tuhan sepanjang hidup kita.

Aku merasa berat sekali menjalani hidup tanpamu yang paling mengerti aku. Betapa tidak nyamannya hidup ini saat kita menjalaninya dengan menipu diri kita sendiri, menghianati sesuatu yang walaupun belum tentu benar namun telah kita pilih dan tetapkan di hati kita. Aku merasa jijik saat aku memaksa diriku untuk melupakanmu.

Pernah kukais-kais rasa benci dari dasar hatiku hanya untuk memudahkan diriku melupakanmu. Pernah kuyakinkan diriku bahwa kau tak pantas terlalu kucintai hanya untuk membuang diriku sendiri dari perasaanku yang sebenarnya.

Betapa sulit bagiku untuk melupakan kisah. Sepertinya kita memang dihukum untuk mengingat banyak hal. Bisa saja kita tak merasa ada yang salah perihal ingatan yang kita miliki ini. Namun menurutku butuh lebih dari sekedar hati yang luas untuk menampung segala ingatan yang tak seluruhnya dapat kita terima dengan lega, atau kadang justru kita ingkari, naif sekali.

Saat aku mengingat segala kebaikan masa lalu, aku tersenyum dan ingatan mendatangkan semacam kebahagiaan yang rasanya selalu aktual. Kebahagiaan yang tak habis-habis, tak pernah hilang. Saat kuingat beberapa kesalahan masa laluku, aku hanya sedikit tersenyum karena saat ini aku telah mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Hanya terjadi riak kecil dalam pikiranku saat mengingatnya. Namun saat aku teringat tentang sesuatu yang belum terjawab, sesuatu yang enigmatik, aku menjadi seperti dihantam gelombang mahadahsyat yang menghempaskanku ke karang-karang tajam, sakit sekali dan aku terluka lagi.

Betapa beratnya memiliki ingatan, apalagi ingatan tak pernah memiliki jadwal tetap untuk menyeruak. Saat mata ini baru saja terbuka seringkali yang pertama terjadi adalah sebuah tragedi yang usang, namun selalu melukai. Aku hampir mati dalam tragedi ingatan ini.

Dalam hiruk-pikuk kehidupanku ini, dalam kehidupan yang lengkap ini, sebenarnya tersimpan sebuah ruang kecil dalam ingatanku, yang-walaupun kecil-merupakan sebuah tempat yang tak tersentuh kuasaku untuk menghapuskannya.

Setelah sekian lama aku bergulat dengan pencarian ini, sekarang hadir keinsyafanku akan diri kita, orang-orang biasa ini. Telah kutemui banyak orang yang dikaruniai kemampuan luar biasa untuk melakukan hal-hal yang jauh lebih hebat dari apa yang mampu kupikirkan. Dapat kau bayangkan bagaimana perasaanku saat itu. Aku, orang biasa -yang harus mengalami berbagai kesulitan untuk sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan hidupku yang sederhana- tentu merasa jatuh tersungkur, aku merasa tak pernah mencapai apa-apa.

Kemudian aku teringat tentang kita, anak-anak manusia yang sedang dalam pergulatan, terombang-ambing perasaan yang belum sepenuhnya mapan. Bukan maksudku untuk mengendurkan gairah pencarian kita. Aku hanya ingin kita membaca kembali cerita tentang kita, orang-orang biasa. Kita tak pernah menemui hal-hal yang dihadapi manusia-manusia raksasa itu, kita tak pernah memikirkan hal-hal yang dipikirkan oleh mereka yang telah menaklukkan waktu, menggoreskan nama mereka dalam sejarah peradaban manusia.

Aku ingin kita meresapi kembali dan tak sekedar membaca cetak biru diri kita, orang-orang biasa. Agar kita mengerti bahwa tak ada hal-hal istimewa yang kita miliki. Tak ada benteng baja di hati kita yang begitu mudah lumpuh oleh sedikit kekecewaan. Tak ada gemerlap cahaya kecerdasan yang memancar dari pikiran kita yang mudah suram saat sedikit saja kesulitan membungkusnya. Aku ingin kita tahu bahwa kita adalah orang-orang biasa.

Kita hidup dan menatap hidup sebagai orang-orang biasa, kita pun kelak akan mati sebagai orang-orang biasa. Tak lebih dari catatan kaki sejarah. Hanya pelengkap, bukan bagian utama. Karena kita orang-orang biasa.

Aku sungguh berharap kau selalu menggores kisahmu, dalam lembar-lembar yang telah akrab, dalam keseharian yang sederhana, kita orang-orang biasa hanya mampu menuliskan diri kita sendiri agar tak hilang oleh waktu yang selalu melahirkan pembaharu kita dalam berpikir dan bertindak. Aku berharap kita semua merasakan kegagalan yang menyakitkan, yang menghabisi seluruh semangat yang kita miliki, membunuh ruh perjuangan yang kita hidupi. Aku ingin kita merasakan hal itu. Karena hanya itulah peluang kita untuk merubah jalan hidup ini. Saat kita hampir binasa, di hadapan kita akan terbentang pilihan. Saat itulah akan muncul kesempatan untuk kita. Karena sepanjang yang kuketahui, para raksasa juga mengalami hal itu, dan mereka memilih menjadi raksasa, bukan memilih menjadi orang biasa.

Sayangku, aku sadar bahwa aku sering berpikir bahwa akulah tokoh protagonis dalam cerita hidup ini. Aku selalu merasa akulah yang paling berhak atas segala hal yang kuingini. Aku melenyapkan kemanusiaanmu, mengabaikan bahwa kau adalah pribadi yang punya hak untuk berkeinginan, memilih, dan menikmati apa yang paling kau damba dalam hidupmu. Orang lain yang selama ini kuanggap sebagai antagonis pun tentu demikian. Tak ada lagi pilihan selain mendewasakan diri kita, memperluas jiwa kita, agar kita tak hanya hidup dalam sebuah dunia sempit yang ternyata tak lebih dari hasrat kita yang membatasi. Hasrat yang selalu menjadi penghalang kita untuk mencapai hal-hal yang paling subtil dalam hati kita. Menggapai kemanusiaan kita sendiri.

Cintaku, tak pernah dan takkan pernah ada kata-kata atau karya seni yang mampu menggambarkan cinta dan keindahan sesungguhnya. Keindahan yang bukan dari sudut pandang kita, keindahan yang asali, yang tak mewaktu, tak berubah nilai.

Hari ini, kita semua masih bergulat untuk mencapai itu semua, atau setidaknya mencoba mencari jalan untuk menapaki pemahaman yang terus berubah setiap waktu seperti yang sama-sama telah kita ketahui.

Cinta yang kita pikir sebagai salah satu puncak keindahan itu akhirnya roboh berkeping-keping. Bagiku itu adalah luka, sekaligus petanda bahwa apa yang kita pikirkan masih saja tak mampu melampaui kenyataan yang berisi serba kemungkinan.

Aku akhirnya memutuskan untuk membuang jauh-jauh rasa benci dan kecewa ini. Karena apapun yang kubenci akan berpulang pada diri sendiri. Aku tetap hidup karena aku masih memiliki keyakinan, atau barangkali hanya sekedar hayalanku saja. Aku berkahayal tentang suatu masa, yang kelak akan menimpa kita semua, saat aku bersatu dengan seluruh manusia, seluruhnya, tanpa perasaan apapun, tak ada rasa lagi. Tak ada rasa di saat kita semua bersatu dzat yang merupakan asal mula kita dan asal mula segala.

Pada akhirnya segala resah kudaratkan dari alam pikirku ke dunia melalui kata-kata, aku ingin mengungkapkan cinta lewat huruf-huruf yang sederhana ini, karena aku yakin bahwa kalimat-kalimatku akan mampu bertahan lebih lama daripada ragaku, daripada perasaanku sendiri yang sangat mungkin akan berubah.

Aku memilih untuk memeluk cinta yang kudamba, yang menghangatkanku, menggerakkan pikiran dan jari-jemariku. Aku memilih cinta yang mampu membuatku mencipta keindahan, walau bahan dasar keindahan yang kuciptakan adalah luka.

Tuhan, pernah aku minta kepadamu berbagai macam hal yang kuingini. Saat aku tak sanggup merebutnya dalam kehidupan yang sarat oleh jejaring simbol moralitas ini, aku bersimpuh kepadamu, meratap dan memohon agar kau saja yang melakukan semuanya. Dalam benakku itulah cara yang sah. Hari ini aku menyesal, karena do’a permintaanku tak lebih hanya bentuk lain dari keserakahan dan keculasanku, keinginan merebut apa yang orang lain inginkan, apa yang orang lain impikan.

Tuhan, malam ini aku tak meminta apa-apa, aku hanya ingin menyapamu, terserah kau sajalah, kehendakmu tak dapat kuatur. Aku tak ingin menambah rumit alam cita-cita manusia yang aku yakin sudah sangat kompleks, yang setiap malam menjadi dunia tersendiri entah di mana tempatnya. Tak dapat kusangkal lagi hanya engkau yang mampu dengan sempurna mengatasi keinginan-keinginan manusia yang berlawanan satu sama lain. Aku sebenarnya malu karena tak mampu menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah yang lain. Jika ternyata aku mampu, kudapati masalah itu ada pada ketidakmampuanku untuk memikul risikonya sepanjang waktu.

Sebentar lagi aku akan tidur, akan hilanglah segala hasrat yang menggelayuti pikiranku. Jika ada kesempatan kau berikan, esok akan kukirimkan surat ini kepada seseorang. Namun jika kau ingin memanggilku hari ini, panggillah aku dalam tidur, saat aku tak berhasrat, karena hanya saat tidurlah aku tak punya keinginan apa-apa, tak memikirkan apa-apa, sedang saat mencoba bersujud di hadapanmu aku belum mampu melenyapkan hasratku.

(Pada Suatu Malam Biasa)

Baca Selengkapnya... → Surat Untuk Dua Kekasihku yang Satu

RINDU BAYANG-BAYANG

Oleh: Fariha Ilyas

Tak terhitung lagi hikayat tentang malam purnama yang diwarnai berbagai peristiwa. Rembulan purba yang mencapai puncak terang cahayanya selalu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi makhluk yang berpikir di bumi, walau rembulan di hari-hari biasa tak kalah menariknya.

Malam ini, sebagaimana yang telah kita ketahui, adalah malam pertunjukan bagi sang rembulan purba. Malam ini ketelanjangan sang rembulan terumbar tanpa selubung gelap yang di hari-hari lampau masih menjadi tabir kesempurnaan cahayanya.

Inilah salah satu kisah kecil di malam purnama itu:

Kembara dan suatu malam yang terang oleh cahaya purnama. Ia berjalan sambil menunduk di sebuah jalan panjang tanpa pepohohan di kanan-kirinya. Sebuah hamparan yang luas nampak jelas di hadapannya, namun ia abaikan itu. Ia begumam dalam hati tentang kerinduan akan bayang-bayang.

Suatu ketika di waktu lampau, seseorang pernah berkata kepadanya bahwa yang paling menarik dari malam purnama bukanlah terang cahaya yang berpendar menguningi segala benda, melainkan kepekatan bayang-bayang yang diciptakannya.

Kembara merenungi kembali ucapan seseorang itu. Ia terus berjalan, sembari menatap bayang-bayang diri yang hitam, walau tak sepekat bayang-bayang yang dilukis matahari saat siang. Ia lega karena malam ini segenggam kerinduannya akan bayang-bayang telah terobati. Ia lega sekaligus mulai resah jika harus kembali ke tempatnya semula, sebuah tempat yang penuh lampu. Kembara bukan tak suka kepada bayang-bayang yang dilukis oleh lampu-lampu, ia hanya rindu pada keteraturan yang tercipta saat sang rembulan yang melukiskannya. Bayang-bayang akan jatuh seirama. Itulah.

Namun bukan hanya itu.

Dengan menatap kepekatan bayang-bayang, ia tahu bahwa di atas sana rembulan masih bercahaya terang, mendatangkan keyakinan bahwa matahari masih bersinar dan akan menyapanya lagi esok hari. Cahaya rembulan adalah harapan akan sebuah kehidupan yang akan menjelang.

Bagi kembara memang tak ada yang lebih menenangkan selain dapat menemukan bayang-bayangnya sendiri yang dilukis oleh rembulan. Saat bayang-bayang mulai hilang, kecemasan akan sebuah kehidupan hari esok pun mulai menyeruak. Untuk itulah ia selalu bersujud saat bayang-bayangnya mulai terlukis, walau samar. Ia tahu bahwa rembulan telah muncul kembali, walau hanya sebagai sebuah garis lengkung yang lemah cahayanya. Soal kepekatan bayang-bayang, soal purnama, ia akan datang seiring waktu.

Entah kenapa Kembara sepertinya terbawa oleh pikiran seseorang yang banyak berujar kepadanya tentang keberadaan diri. Orang itu berkata bahwa kita selalu memerlukan pantulan diri kita untuk yakin bahwa kita masih ada. Untuk itulah kita masih senang bercermin.

Bayang-bayang, walau tak sesempurna cermin dalam merepresentasikan diri kita, ia tak mengundang kekecewaan karena ia tak mengumbar banyak tentang ketidaksempurnaan diri kita yang seringkali kita temukan dalam hal-hal kecil. Bayang-bayang hanya menyajikan bentuk kita yang paling mendasar. Tak banyak perbedaan diantara kita yang akan tersaji dalam bayang-bayang itu. Bayang-bayang mencegah kita menemukan perbedaan-perbedaan yang tak terlampau perlu dilihat, apalagi diperdebatkan.

Kembara terus berjalan sembari mematut diri. Menggali hakikat dan berupaya meletakkan dirinya dengan tepat, agar selaras dengan semesta yang melingkupi.

Demikianlah satu dari jutaan hikayat malam purnama.

Malam ini purnama berpadu dengan gerhana, kita tak terlampau cemas akan hilangnya cahaya itu. Karena kita tahu bahwa ia hanya sementara. Kita lebih cemas jika suatu ketika bayang-bayang kita lenyap, karena akan timbul pertanyaan: cahayakah yang tiada? atau diri kita yang sirna?

(Saat rembulan kemerahan. Dini hari, 16 Juni 2011)

Baca Selengkapnya... → RINDU BAYANG-BAYANG