Selasa, Juni 14, 2011

Bagaimana kabarmu, Ibu?

Oleh: Fariha Ilyas

Dulu kusaksikan sendiri, kurasakan sendiri

Wujud dan ketulusan kasihmu


Suatu hari kusaksikan sendiri

Nafasmu mulai jarang dan akhirnya hilang


Kau rasakan sendiri

Nikmat perihnya kematian itu


Empat bulan ini sudah beberapa kali aku pulang ke rumah, dan setiap kali pulang aku merasa masih akan menemuimu duduk dan tersenyum melihatku. Ya, aku masih saja sulit menghilangkan harapanku ini walau kenyataan telah tertanam di memoriku. Kenyataan bahwa kau takkan lagi duduk di beranda rumah dengan daster dan rambut berubanmu yang kau ikat. Banyak sekali peristiwa yang terlewat diantara kita. Beberapa hal memang tak bisa dibagi, kau tahu itu.

Kita memang dekat sekali secara emosional, entah sejak kapan tepatnya, namun semenjak aku mulai dilingkupi kesadaran akan kesementaraan kebersamaan ini, aku sangat menikmati waktuku bersamamu. Saat memasak di dapur adalah saat-saat paling mengesankan bagiku, karena selalu saja saat itu penuh dengan pembicaraan kita tentang banyak hal, walau tak semua. Ada hal-hal yang belum kau ketahui tentangku.

Kau tak pernah tahu, bahwa sedari kecil aku gemar menghabiskan waktuku di pemakaman. Siang, sore, malam, sering kuhabiskan waktu menyendiri di sini. Bahkan beberapa tahun terakhir ini saat malam lebaran tiba dan takbir bersahutan di mana-mana, aku lebih memilih perkampungan sepi ini untuk merenung, perkampungan yang hanya berisi jasad-jasad yang dulu pernah menjejakkan kakinya di bumi yang sekarang masih kudiami. Beberapa tahun lalu jasad kakek menjadi warga perkampungan sepi ini. Sesuatu yang sudah kuduga sebelumnya. Aku tak pernah merasa heran dengan kematian, karena ia niscaya. Aku tak pernah merasa kaget dengan berita-berita kematian yang sering terdengar sebelum akhirnya kau juga diberitakan dalam kematian itu.

Semenjak kau terbaring lemah di rumah sakit, aku telah mempersiapkan diriku menyambut hari yang bisa saja merupakan hari terakhirmu, atau hari terakhirku sendiri. Karena seperti kematian, perpisahan itu juga niscaya datangnya. Kematian-kematian itu adalah salah satu jalan saja. Namun sekuat-kuat batinku, sesaat sebelum kau kembali ke asalmu, tiba-tiba saja seluruh cairan di dalam tubuhku naik, dan tumpah ruah keluar dari kedua mataku. Sesaat sebelum aku menangis keras bapak berkata: “Kalau memang ibu harus diambil sama Alloh, kita harus ikhlas”, entah kenapa hingga hari ini jika aku teringat kata-kata bapak itu aku masih saja menangis keras.

Dadaku masih saja terasa sesak dan air mataku masih saja tak terbendung jika aku ingat lagi beberapa kata-kata bapak bahwa: “Tugas ibu mengantarkanmu telah selesai, ibu hanya mengantarkanmu sampai di sini, setelah ini, kamu dan kita sekeluarga harus mampu berjalan tanpa Ibu”. Mungkin kata-kata bapak itu benar. Kau tak harus mengantarkanku dan saudara-sauadarku hingga ke puncak-puncak pecapaian yang kami impikan. Namun tak pelak kepergianmu membuatku tak punya kesempatan lagi untuk mengundangmu menghadiri hari-hari yang penting dalam hidupku. Semenjak dahulu aku tak pernah lupa meminta restu kepadamu menjelang aku menempuh ujian, dan saat-saat seperti itu adalah saat-saat terindah menjadi seorang anak, dan memiliki seorang ibu. Hidup dengan iringan do’a Ibu adalah hidup yang paling menggairahkan karena dunia ini terasa kecil saja di pandangan mata, terasa mudah saja ditaklukkan, bukan karena kemampuanku namun karena keyakinanku akan do’amu yang tulus untukku.

Berat sekali rasanya kau tinggalkan, kau adalah kekuatanku yang tak kentara. Hanya kau yang mampu meredam segala gejolak dan gundah hatiku. Untuk itulah aku selalu pulang jika tak ada tempat lagi yang dapat membuat perasaan resahku reda. Untuk itulah aku masih sering berbaring di sampingmu hingga aku dewasa.

Aku tak pernah memberimu apa-apa. Karena itulah semenjak masa sekolah dulu aku sudah punya keinginan untuk memberimu hadiah istimewa, aku ingin suatu ketika aku berucap kepadamu “Bu, minggu depan aku wisuda, pencapaian ini untukmu”. Aku tak pernah ingin kau hadir dalam seremonial macam itu, sebelum aku menyelesaikan jenjang S2. Itu tekadku. Untuk itulah kenapa dulu aku tak menyampaikan undangan wisudaku saat aku lulus dari pesantren. Malam itu hampir semua orang tua santri wisudawan bergembira dan berbangga. Aku masih malu untuk berdiri dan disaksikan olehmu. Aku harus mencapai sesuatu yang kurasa pantas kau pandang, kau banggakan. Walau waktu itu aku adalah lulusan terbaik tapi di benakku itu tak ada artinya, tak pantas untuk kubanggakan dan kupersembahkan. Hingga akhirnya aku kuliah dan keinginan itu masih terus kupendam, aku belum ingin kau menyaksikanku lulus S1. Aku ingin kau hadir nanti, saat aku merampungkan S2 dan itu bukan sebuah target yang muluk untuk saat ini, bahkan hal itu masih tak ada artinya dengan pencapaian-pencapaianmu dalam merawat dan mendidikku.

Entah apalagi yang hendak kukatakan tentangmu, sulit sekali rasanya. Tempo hari aku tak sengaja menemukan sebuah file rekaman suara di handphoneku, kudengarkan baik-baik, ternyata suara itu adalah percakapanku denganmu waktu di rumah sakit, entah bagaimana percakapan itu terekam, karena aku tak pernah dengan sengaja merekan obrolan-obrolan kita. Terbersit keinginan untuk itu pun tak pernah. Rekaman itu tak sengaja. Rekaman itu kini kusimpan baik-baik sebagai sebuah kenang-kenangan bersamamu. Sedikit sekali aku memiliki kenangan-kenangan berbentuk fisik denganmu, aku tak pernah dengan sengaja berfoto bersamamu. Aku lebih suka menuliskan hal-hal berkesan di catatan harianku.

Aku juga masih ingat pertengahan Desember tahun lalu, saat kau mulai merasa tubuhmu sakit. Kau memintaku memijit kedua kakimu seperti biasanya kulakukan saat kau merasa tak enak badan. Aku beruntung sekali karena masih diberi kesempatan untuk merawatmu walau tak sepenuh waktu karena masih harus sering ke berada di Solo. Aku menikmati saat-saat aku merawatmu Ibu, saat aku memasak untukmu. Ya, kau lah yang selama ini memasak untukku. Aku juga bangga masih diberi kesempatan membantumu mandi karena kaulah yang selalu memandikanku saat aku belum mampu membersihkan diriku sendiri. Hingga saat-saat terakhirmu tiba, aku memangkumu, saat kau mandi untuk yang terakhir kalinya. Ya memang begitulah semestinya.

Belum lama aku bersama ayah, adik, dan mbak berziarah ke makammu. Hari itu aku sebenarnya merasa enggan, semenjak kau pergi aku selalu takut pergi ke makam tempat di mana sering kuhabiskan waktuku. Aku merasa belum sanggup menanggung rindu yang kian hari kian berat kurasakan. Aku merasa belum memberimu kebanggaan apa-apa. Itulah yang selalu membuatku malu kepadamu.

Tak pernah, takkan pernah lagi akan kutemui manusia yang lembut hati dan menyayangiku sebesar dirimu. Untuk itulah kehilangan ini telah lama ingin kutangkal, ingin kuhindari. Untuk itulah aku pernah berdo’a kepada tuhan, agar aku pulang lebih dahulu daripada kau.

Do’aku memang do’a yang angkuh. Seolah-olah aku telah siap menghadapi kematian itu dengan segala kelengkapan kehidupan yang akan kujalani setelahnya. Namun saat itu aku benar-benar tak ingin kehilangan dirimu. Do’a itu tak terjawab sesuai dengan apa yang kuminta.

Baru saja aku berpamitan kepada bapak, mencium tangannya, dan masih kurang lengkap rasanya. Langkahku kurang mantap sebelum restumu mengguyur diriku yang selalu tak yakin ini.

Kau tetaplah yang tak tergantikan.

Petang ini aku didera sakit yang sering membuatku tak berdaya, aku sempat tidur sejenak, saat bangun aku masih saja merasa badanku tak enak. Namun sekilas ingatan tentangmu membuatku ingin bertanya dan selalu saja ingin bertanya:

Bagaimana kabarmu, Ibu?

Sebentar lagi bulan puasa tiba dan lebaran tahun ini jelas akan berlangsung tanpamu. Entah, apa aku sendiri juga masih akan diberi umur untuk melewatinya atau tidak. Namun rasanya jika aku harus mengunjungi pemakaman lagi saat malam idul fitri, aku mungkin tak tahan untuk terus diam seperti biasanya. Sekuat-kuatnya kukatupkan mulut ini, saat itu hatiku pasti akan tergelitik untuk bertanya:

Bagaimana kabarmu, Ibu?

Hari ini, entah, apakah cita-citaku sekarang masih mampu kulanjutkan. Langkahku limbung, do’a-do’amu tak lagi mengiringiku, dan aku pun kembali menjadi seorang peragu. Pada titik ini aku merasa tak punya kekuatan apa-apa. Semangatku luruh, berguguran. Hanya petuah-petuah bapak yang seringkali masih bisa mengangkat moralku yang sering jatuh setelah kepergianmu. “Kamu harus menjadi orang yang berjiwa besar”. Saat kata-kata itu meluncur dari mulut ayah tak banyak yang dapat kutafsirkan. Tetapi lambat laun sebenarnya kata-kata itu juga bermakna “Kau harus meneladani Ibu”.

Ya, tak dapat kusangkal lagi memang, bahwa kau adalah wujud nyata dari jiwa besar itu. Aku, kami sekeluarga menjadi saksinya. Orang-orang juga berkata hal yang sama. Hingga kemarin, masih saja orang membicarakanmu, lebih tepatnya membicarakan kebesaran jiwamu. Tak salah memang jika kita sering mendengar bahwa jiwa itu akan terus hidup, ia akan tetap menjadi bagian dari kehidupan yang ditinggalkan, setelah jasadnya sendiri kembali ke asalnya: Tanah.


Kematian itu niscaya

Ia hanya memisahkan sejenak

Sesungguhnya ia adalah pintu

Untuk sebuah pertemuan abadi


Biarlah gumpalan rindu ini

Kubungkus dalam kantong

Akan selalu kubawa dan kugendong

Hingga pintu itu kembali terbuka


(Petang hari, 13 Juni 2011)

Baca Selengkapnya... → Bagaimana kabarmu, Ibu?

SEBUAH PERJUMPAAN (2)

Oleh: Fariha Ilyas

Han dan Kumandang Adzan

Sinar matahari menerobos sela-sela ventilasi kamarku, ia masuk setelah melewati jarak yang jauh sekali, menembus lapisan atmosfer bumi, luput dari hadangan awan dan setelah dengan mudah menembus kaca ventilasiku yang agak buram, tanpa ampun ia menghantam mataku.

Aku terbangun dari tidur yang entah seberapa lama. Dengan sedikit melihat ke arah cahaya kemerahan yang tajam itu aku tahu bahwa sore ini matahari memamerkan kuat cahayanya tanpa dibiaskan oleh awan-awan.

Kulangkahkan kaki menuju tempat biasa setelah membasuh muka dengan air yang sore ini terasa dingin sekali. Rupanya cahaya bergerak yang tadi hanya sebentar melewati ventilasiku merupakan isyarat bahwa aku harus bangun dan melangkah di sebuah jalan yang mestinya kulewati dalam rancangan takdir hidupku. Hal inilah yang baru kuketahui belakangan, setelah peristiwa yang akan kuceritakan ini usai.

Di pematang sawah yang tempatku biasa duduk, terlihat sosok yang tak asing, Han. Mungkin inilah hari yang memang telah ditentukan sebelum kelahiranku, hari yang mempertemukanku dengan Han untuk yang kesekian kalinya dan berdialog dengannya untuk yang pertama kalinya dalam hidup.

“Han....”. sapaku.

“Ya”

“Apa kabar kau, Han? Kemana saja kau selama ini?”

“Aku baik-saja. Aku pergi ke suatu tempat yang tak dapat kau bayangkan”

“Tempat macam apa yang kau maksud?”

“Suatu tempat yang penuh dengan cahaya, hingga aku tak mampu melihat apapun, bahkan diriku sendiri”

“Adakah tempat seperti itu di bumi ini, Han?”

“Ada”

“Di mana?”

“Tempat di mana saja kau berada”

“Bagaimana kau tahu itu, Han?”

“Aku mencari”

“Kemana kau mencari? Dengan apa?”, cecarku.

“Ke dalam diriku sendiri. Dengan diam dan melupakan”

Aku tak mengerti apa yang dikatakannya, namun tak lama kemudian adzan berkumandang. Suara pengumandang adzan itu akrab sekali, dan hampir setiap hari aku mendengarnya. Ya, itu suara bapak.

“Pulanglah! adzan maghrib telah berkumandang”, kata Han.

Aku diam saja tak menjawab apa-apa.

“Masih saja kau keras kepala rupanya”, Han membaca pikiranku.

“Aku tak bisa lagi Han, suara itu tak menggetarkan lagi”, aku berujar lirih.

“Hatimu telah mengeras, karena tak kau hiraukan lagi hal-hal di sekelilingmu, kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”, kata Han dengan suara yang meninggi.

“Kau pikir semua hal bisa kau tentukan ukurannya lewat dirimu sendiri? Kau pikir kau berhak menentukan apa yang sebenarnya harus dan tak harus kau lakukan? Kau pikir kau sedang berjalan di atas kebenaran?”, ia melanjutkan.

Aku diam saja karena aku memang tak sanggup berkata apa-apa. Han, kembali berucap:

“Kehidupan ini sudah cukup panjang, dan memang kita berhak memaknai kembali hal-hal yang hanya dikabarkan itu, dari situlah hidup menemukan artinya. Namun bukan berarti kita punya kebebasan mutlak menafsirkan segala hal dengan pandangan kita sendiri. Segala sesuatu itu tetaplah memiliki batas-batas, walau terlingkupi oleh relativitasnya masing-masing. Kau tetaplah harus memilih, dan pilihan itu mencakup segalanya, tak ada yang bisa kau tinggalkan dalam keutuhan sesuatu yang akan mengantarmu menuju hakikat dirimu. Hidup memang harus punya arti, itu semua hanya mungkin tercapai, dengan meleburkan diri kita ke dalam sebuah aturan yang lengkap, bukan setengah-setengah!”

Suara Han yang bertubi-tubi melebur dengan suara adzan itu, suara bapak. Hatiku seperti ditusuk-tusuk. Aku gemetar. Kedua kakiku yang sedari tadi terasa begitu kuat berdiri tiba-tiba terasa lumpuh.

Han berdiri, memandangku dan mengucap salam. Kemudian ia berjalan ke sebuah horizon maha luas yang mulai tak jelas lagi garisnya. Cahaya yang kian surut mempercepat lenyapnya sosok itu dari pandanganku.

Adzan hampir usai, menuju kalimat terakhirnya yang masih sangat kuhafal. Namun sebelum itu jasadku telah roboh.

(Madiun, 12 Juni 2011)

Baca Selengkapnya... → SEBUAH PERJUMPAAN (2)

Jiwa Malam

Oleh: Fariha Ilyas

Malam dan segalanya

Apakah manusia telah begitu terbiasanya denganmu?

Hingga gagal menangkap setiap kalimat yang kau bisikkan


Malam dan segalanya

Apakah kau adalah rutinitas yang tak bermakna?

Sampai-sampai tak satupun hurufmu yang tercerna


Kami berdiri di sini, menatap malam dan segala

Dari tempat yang berbeda, dengan pikiran yang tak sama

Biarlah segala pikiran kami ini berpadu

Dengan malam dan segalanya


Tak pernah kering, tak pernah habis

Malammu kami tafsirkan

Dalam gerak, nada, kata, dan warna


Musim kemarau seperti pembuka tabir antara kita, rembulan, dan bintang gemintang. Bersihnya langit malam membuat keindahan samawi leluasa memamerkan pesonanya. Kita selalu bersuka cita menikmati itu.

Keluasan langit dan benda-benda angkasa semenjak dulu telah menggetarkan jiwa manusia. Karena ketakterjangkauannya oleh pikiran, di berbagai belahan bumi manusia menyembah kepada langit. Namun yang disembah terlalu jauh, terlalu luas, terlalu tak terpahami, maka sesudah itu manusia membuat dewa-dewa yang merupakan proyeksi dirinya yang diletakkan dalam dunia ideal yang didamba manusia.

Hingga akhirnya tuhan mewartakan dirinya dalam sejarah. Wahyu turun mengabarkan kepada manusia tentang hakikat semesta yang tak lebih adalah ciptaan yang sederajat dengan manusia sebagai makhluk yang bersifat baru. Karena kesetaraan derajat itulah alam tak layak disembah. Posisi alam semestapun bergeser.

Ilmu pengetahuan berkembang, dengan demikian pemahaman manusia terhadap alam semeta menjadi semakin mendalam. Di pihak lain, alam imajinasi manusia yang masih bertalian dengan kemampuan inderawinya terus saja bergejolak, menafsirkan alam dengan cara kerjanya sendiri. Untuk itulah kita bisa menikmati gemerlap bintang dan dalam diri kita muncul rasa keindahan. Kita mengabaikan pengetahuan kita tentang bintang-gemintang yang jika ia dekat sekali dengan kita, ia akan menjadi bencana. Inilah titik di mana kita memahami betapa relevannya jarak ideal antara kita, dan seluruh benda-benda demi bangkitnya rasa keindahan.

Kita tentu tahu betapa banyaknya karya seni yang diciptakan manusia yang sumbernya adalah alam semesta yang terindera. Malam ini, sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu, kita mencoba memahami di titik mana para maestro mencipta. "Moonlight Sonata", sebuah komposisi agung rekaan Beethoven menjadi sesuatu yang sangat mengherankan, karena masih mampu menggetarkan jiwa banyak manusia lebih dari 200 tahun semenjak ditulis untuk pertama kalinya. Di titik manakah Beethoven berdiri dan mengambil jarak dalam menghayati segala sajian malam yang mungkin tak jauh beda dengan yang kita alami?

"Starry Night", sebuah lukisan tentang malam yang penuh cahaya bintang yang gilang-gemilang karya Vincent Van Gogh tak ayal menjadi tonggak pencapaian manusia dalam mencecap keindahan malam. Kita tentu akan kembali bertanya: di titik mana Van Gogh berdiri dan mengambil jarak terhadap pesona malam gemintang?

Masih banyak lagi karya-karya manusia dari era yang lebih modern yang tak kalah mengagumkannya dibanding karya-karya maestro-maestro itu. Lagi-lagi mestinya kita tergelitik untuk kembali bertanya.

Siklus alam kali ini kembali menghadirkan bentang mahaluas itu di hadapan kita, berbagai kemungkinan sudut pandang telah tersimpan di pikiran dan benak kita masing-masing. Malam dengan rembulan dan bintang-bintang kembali menjadi obyek penafsiran kita yang plural. Malam bisa menjelma sebagai gadis yang elok, atau menjadi makhluk yang menakutkan. Malam bisa menjelama menjadi apa saja setelah melewati kompleksitas imajinasi manusia yang tak terduga kemungkinannya.

Kita hanya perlu berdiri di tempat yang tepat, mengambil jarak yang proporsional dengan malam yang begitu kaya akan keindahan, dan keindahan itu hanya mungkin tergali dengan membuka jiwa kita seluas-luasnya dihadapan sesama makhluk tuhan yang bernama malam. Kita buka ruang-ruang percakapan sunyi antara jiwa kita dengan jiwa malam. Kita hidup dan salah satu tugas kita adalah menerjemahkan kalimat-kalimat tuhan yang tidak semuanya termuat dalam teks-teks suci yang kita kaji saban hari. Di alam semesta inilah termuat kaidah-kaidah kehidupan yang masih sangat luas kemungkinannya untuk diselami. Di alam semesta inilah sebagian diri kita menanti untuk kita rengkuh, demi mencapai keutuhan diri yang kita impikan bersama.

Ya, barangkali inilah saatnya kita kembali melempar pandangan ke luar diri kita, sebagi sebuah upaya refleksi terhadap keberadaan kita sebagai kesatuan dari semesta raya ini. Kita seringkali terjebak dalam keasyikan kita memandang ke dalam diri kita. Tak salah memang, karena hal itu juga merupakan sebuah upaya identifikasi diri, sebuah proyek yang memakan waktu ribuan tahun dalam sejarah manusia, dan hingga kini belum rampung sempurna.

(Malam, 10 Juni 2011)

Baca Selengkapnya... → Jiwa Malam

Kematian Sekuntum Mawar

Oleh: Fariha Ilyas


Sekar, malam ini aku kembali harus membayar hutang-hutangku kepadamu. Entah disebabkan karena apa, tidurku selalu tak nyenyak jika aku belum menuliskan sesuatu untukmu, atau tentangmu, atau karenamu. Mungkin karena belum lama ini kusadari bahwa aku berhutang sebuah kehidupan kepadamu. Ya, aku sadar bahwa tak ada sesuatu pun dalam diriku ini yang dapat kupakai untuk membayarnya, namun setidaknya kisah-kisah ini akan menghadirkanmu lagi di sini, di tempat yang telah kau ceraikan.

Waktu itu aku baru saja pulang setelah seharian menghabiskan waktu di perpustakaan. Jam empat sore, aku masih ingat bahwa sore itu adalah sore yang menawan, sinar matahari menebar warna keemasan. Sesampainya di rumah, aku langsung ambruk karena sejak siang aku sebenarnya telah didera sakit kepala yang seringkali membuatku tak berdaya. Kupejamkan mata sambil meringis dalam lekukan bantal di mana kepalaku kubenamkan.

Entah berapa lama aku dalam keadaan seperti itu, aku tak tahu. Hingga kudengar suara Ibu memanggil namaku dan menyuruhku keluar kamar. Aku pun bangkit membuka pintu kamar dan dengan langkah gontai berjalan menuju ruang tamu. Rumah yang sedari tadi terasa berputar sepertinya telah kuketahui di mana porosnya, kaulah poros itu. Kau tak ikut berputar karena pandanganku tersedot oleh ketenanganmu.

Sikap dudukmu yang sangat kukenali membuat semua terasa akrab. Kau tersenyum kecil dan matamu melirik ke arah meja di depanmu. Aku langsung mengalihkan pandangan dari wajahmu menuju meja. Di atas meja mataku menatap sekuntum mawar putih. Saat itu juga kau berdiri dan berucap singkat: “Untukmu”, kemudian kau tersenyum dan berjalan keluar, pergi. Hanya itu.

Setelah kau pergi sore itu kita tak pernah bertemu lagi. Kau hilang entah ke mana, namun sekuntum mawar itu selalu melahirkan pertanyaan di benakku, setidaknya hingga malam ini. Aku tak bisa mengorek apapun dari bayang-bayangmu, Sekar. Bayang-bayang tak mampu bicara, ia hanya bergerak-gerak saja. Tak kudapatkan keterangan apapun tentang mawar putih itu. Aku mulai menebak-nebak segala kemungkinan yang mampu menjawab rasa penasaran sekaligus kegundahanku.

Aku heran karena tak biasanya kau memberiku sekuntum bunga, kau tak suka romantika biasa karena bagimu romantika tak pernah terlepas dari kemanusiaan dan kelembutan. Itulah kau yang kukenal. Dalam pikiranku kau pasti akan memilih bunga tebu dan kau pun pasti takkan mengambil bunga tebu yang masih menancap di batangnya, kau takkan mematahkan glagah yang masih berdansa dengan hembus angin. Kau hanya akan memungut glagah patah dari tanah di mana glagah itu terbaring, lunglai, dan diam. Itulah kau yang kumengerti. Aku tak habis pikir kenapa kau memberiku mawar putih yang masih segar?

Malam itu, setelah sakit kepalaku mereda aku duduk diam memandangi mawar putih yang kuletakkan di atas meja bacaku. Lembar-lembar mahkotanya bersih sekali, melingkar saling memeluk. Beberapa helai daunnya mulai nampak layu. Duri-durinya masih tajam kuraba, namun batangnya buntung, tak terhubung lagi dengan tanah yang membuatnya hidup. Mawar putih itu hanyalah jenazah keindahan dan kekuatan. Sejak malam itu aku selalu memikirkan perihal mawar putih pemberianmu. Namun tetap saja tak dapat kusimpulkan apa-apa.

Malam ini aku masih tak bisa memahami maksudmu. Aku mulai mengingat, menyibakkan tumpukan peristiwa yang tumpang tindih. Diantara tumpukan itu ada suatu peristiwa yang semakin membuatku bingung kenapa kau memberiku sekuntum mawar putih yang masih segar?

Ada sebuah peristiwa yang mungkin masih kau ingat:

Suatu hari saat kita berjalan bersama, kau bercerita tentang keelokan bunga-bunga liar di sepanjang sungai. Katamu kau ingin sekali memetik bunga-bunga liar itu untuk kau jadikan penghias meja kecil di kamarmu. Namun perasaan tak tegamu muncul, karena kau tak bisa berbuat semaumu memetik tumbuhan yang sedang hidup dan bernafas seperti kita. Ya, bunga-bunga itu seperti kita, katamu. Kau berkata jika tak mampu membuat sesuatu yang lebih indah dengan bunga-bunga liar itu, kau takkan memetiknya. Kau merasa tak sanggup dan karena itulah kau urungkan niatmu.

Pembunuhan, katamu, tidak hanya soal nyawa. Tapi juga soal peniadaan kehidupan-kehidupan yang lain. Biarlah orang lain berkata bahwa segala sesuatu itu diciptakan untuk manusia, namun kita semua tahu pasti bahwa orang yang berkata seperti itu tak lebih dari seorang manusia yang kesepian, manusia tak berkawan.

Kau berkata lagi bahwa setiap hari hidup dengan banyak sekali kawan, kawan yang selalu berbag. Kita berbagi udara dengan pohon, semak-semak, rumput, ilalang, dan semuanya yang hidup. Setiap hari kita berbagi air dengan sapi, kambing, kuda, dan semuanya yang hidup. Setiap saat kita berbagi ruang dengan burung-burung, belalang, bermacam unggas, dan semuanya yang hidup. Bahkan dengan jenaka kau menyindirku bahwa aku pun telah lama berbagi kamar dengan cicak-cicak. Itulah mengapa saat itu aku tersipu, aku malu karena saat mananti kepulanganmu aku selalu merasa kesepian, aku selalu merasa sendirian. Padahal seringkali saat kutatap langit-langit aku melihat cicak yang kadang diam, kadang berkejaran, aku melihat semut-semut, aku digigit nyamuk. Ramai sekali sebenarnya, tapi aku merasa semua yang di luar label manusia bukanlah kawanku, kalaupun aku berkawan dengan kucingku yang lucu, itu hanya sekedar dalam hal bermain-main saja, bukan berbagi. Karena bagiku kucing bukanlah kawan yang sepadan bagiku yang merasa sebagai manusia.

Ya, merasa sebagai manusia kadangkala membawa konsekuensi yang mengerikan, ia seringkali mengundang banyak perangai buruk yang bisa menimbulkan tindakan merusak keharmonisan segala kelengkapan ciptaan ini. Merasa sebagai manusia melahirkan keyakinan atas keluasan hak kita sebagai makhluk yang boleh memperlakukan makhluk yang bukan manusia semau kita.

Kita sama-sama pernah mendengar kisah lama tentang Sunan Bonang yang menangis saat ia secara tak sengaja mencabut rumput. Ya, menangis untuk rumput segenggaman. Rumput itu tercabut saat ia tersungkur karena anak muda berandalan yang kelak dikemudian hari akan menjadi Wali termashyur mendorong tubuhnya dengan kasar.

Sunan Bonang tidak sekedar menangis karena pembunuhan kecil yang dilakukannya dengan tak sengaja, yang ia tangisi adalah pembunuhan terhadap rumput itu disertai dengan kesia-siaan. Rumput itu mati sia-sia karena tak digunakan untuk apa-apa. Lain halnya jika rumput itu sengaja dipangkas untuk dijadikan pakan ternak, rumput itu justru akan mencapai kesempurnaan kemakhlukannya.

Secara tak sengaja, malam ini, saat aku memulai menuliskan kisah tentangmu, diantara kisah mawar putihmu yang tak kupahami dan ingatan tentang kisah Sunan Bonang yang entah dapat dipercaya atau tidak itu kutemukan jawaban dari enigma mawar putih yang berkepanjangan.

Aku mengerti bahwa kau memang sengaja membunuh mawar putih itu. Kau sangat mengenalku, kau tahu bahwa suatu saat aku akan mengisahkan mawar putih yang pernah kau berikan dulu, kau tahu bahwa aku akan selalu kebingungan menelusuri berbagai alasanmu membunuhnya. Kau tahu aku takkan berhenti mencari jawabannya.

Aku pun mengerti kenapa saat itu kau hanya berucap sepatah kata: “Untukmu”. Itulah alasan yang membuatmu tak ragu lagi memetik mawar dan memberikannya padaku, karena kau tahu mawar itu akan kuhidupkan lagi malam ini, akan kugambarkan lagi keindahaanya yang tak sempurna. Aku baru saja mengenalmu dengan sebenar-benarnya, Sekar.

Kau selalu ingin aku yang menuntaskan semuanya, separuh pekerjaanmu selalu kau serahkan kepadaku. Malam ini, aku mencoba membuat sesuatu yang lebih indah dari sekuntum mawar putih yang kau berikan dulu. Karena sebenarnya kau yang memaksaku. Kau selalu saja mampu membuatku tak bisa menolak.

Kau memang bukan Sunan Bonang. Kau pasti tak ingin meratapi sekuntum mawar karena tindakanmu.

Aku berharap dengan berakhirnya kalimat dalam kisah ini kematian mawar putih itu tak sia-sia. Semoga inilah jawabannya.

Atau kita berdua harus menangis.

(Dini hari, 10 Juni 2011)

Baca Selengkapnya... → Kematian Sekuntum Mawar

Antara Aku, Sekar dan Tuhan yang Bermetamorfosa

Oleh: Fariha Ilyas


Sekar, diantara kita mungkin tak ada yang melupakan pelbagai peristiwa. Segalanya, pahit manisnya.

Aku masih ingat sekali hari paling berkesan dalam hidupku. Mungkin hanya satu hari, namun hari terindah itu hanya mungkin terjadi karena akumulasi peristiwa-peristiwa yang kita alami sebelumnya, perdebatan-perdebatan kita, senda gurau kita yang hangat, dan tentu saja diam kita berdua.

Pagi itu dingin sekali, kau dan aku sama-sama mengenakan jaket tebal dan berkaus kaki rangkap dua. Di tanganmu kau pegang sebuah buku catatan yang selalu kau bawa-bawa. Kau tersenyum padaku saat kuketuk pintu kamarmu. Aku pun terperangah melihat kecantikanmu pagi itu, senyumanmu serta-merta menghangatkanku.

Kugandeng tanganmu dan kita berjalan berdua menyusuri jalan setapak diantara hutan pinus yang asri. Aroma getah pinus yang disadap menyeruak mengiringi setiap langkah kita, khas sekali. Sepanjang jalan kudengarkan semua celotehmu, dan aku terkagum-kagum pada letupan kecerdasanmu dalam memandang sebuah fenomena. Jarak yang kita tempuh pun habis tanpa terasa, kita berdua sampai di tepian jurang yang dalam. Dari tempat kita, terlihat hamparan hutan yang samar-samar, memucat terselubung kabut.

Satu jam, dua jam, tiga jam. Tak terasa kita berdua larut dalam pembicaraan yang mengasyikkan, kau ceritakan semua hal yang pernah kau temui dalam banyak perjalanan panjang yang penuh dengan kejadian menantang. Aku senang sekali karena ceritamu bukan sebuah reportase biasa, melainkan sebuah ungkapan seorang anak manusia yang mampu mendedah segala peristiwa hingga ke dasarnya. Aku senang sekali kau mendapatkan banyak pelajaran berharga dari berlikunya jalan pencarianmu, dari kerasnya hidup yang kau pilih dan kau pertanggung jawabkan. Aku senang sekali terutama karena kau membaginya denganku.

Senja mengumbar pesonanya dengan cepat seperti ingin mengatakan kepada kita bahwa keindahan tak ingin berlama-lama menetap. Ia muncul dalam sebuah perubahan yang tak kentara, ialah gradasi warna yang terlukis di bidang waktu, sebuah lukisan yang pasrah kepada takdir kefanaannya. Ia berbeda dengan mahakarya ciptaan kita yang mencoba menembus sekat-sekat zaman, warna senja adalah keindahan yang selalu berjalan beriringan dengan kefanaan kita.

Senja kemudian lenyap dengan tak kentara pula dan malam turun menjejakkan kakinya. Kita berjalan pulang menapaki jalan yang sama sebenarnya namun menjadi lain bukan karena saat ini adalah malam dan bukan lagi pagi hari, melainkan karena kita tak lagi berada di waktu tadi, yang kini surut dan entah ke mana perginya. Dunia ini, Sekar, selalu baru karena waktu yang tak henti mencacah kenyataan hingga menjadi belahan-belahan yang halus sekali, yang tak nampak oleh kita, hingga kita tak mengetahui bahwa kenyataan benda-benda ini hanyalah belahan yang tipis dan sangat rapuh. Kenyataan ini sangat rapuh, Sekar.

Setelah bersantap kau dan aku berbaring di lantai kayu, menatap langit-langit kamar berwarna coklat muda. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kita berdua, yang ada hanya diam. Diam itulah yang hari ini membuatku mampu menulis penjelajahan pikiran kita dalam memahami satu sama lain dan merasakan saripati hidup.

Malam itu, dalam diam itu, jika kau tahu, Sekar, aku tak lagi merasakan perbedaan di antara kita. Kau bukanlah perempuan di benakku saat itu, dan aku pun tak merasa lagi sebagai seorang laki-laki. Sebagian sifat bawaanku telah luruh dalam perjalananku mencarimu, dan sebagian yang lain kudiamkan saja agar ia tak lagi punya sangkut paut dengan pikiran dan keinginanku. Itulah kenapa malam itu tak ada ciuman hangat yang biasanya selalu menjadi ritual yang kita pilih untuk mengungkapkan perasaan kita atau meloloskan gejolak yang bercokol dalam diri kita, gejolak yang telah berumur sangat tua, menembus zaman, dan selalu melahirkan cerita yang sama.

Itulah kenapa diam tetap saja menggumpal saat kau beringsut mendekati tubuhku, kemudian kau letakkan kepalamu di dadaku. Udara malam di luar sana beku dan waktu terasa sama bekunya, ia seperti enggan bergerak, karena ia tahu bahwa di benak kita tersimpan sebuah keinginan yang bukan apa-apa, semacam kerinduan terhadap kekosongan. Waktu ingin mengabadikan keseluruhan peristiwa yang rapuh itu. Jika waktu bergerak, ada banyak sekali kemungkinan yang akhirnya membuat kita menggores cerita yang sama dalam sebuah tema besar :cinta yang berlumur kegairahan badaniah.

Beruntungnya kita malam itu, karena waktu diam, bahkan lenyap dan kisah tak bertambah dalam sejarah. Kita telah menjadi abadi sesaat. Jika kita selalu berpikir keabadian itu adalah kemampuan mengarungi waktu yang sangat panjang, itu hanyalah keabadian khayali karena tak ada keabadian hakiki yang masih melibatkan keterbentangan waktu sebagai tolak ukurnya. Keabadian itu ketiadaan waktu. Itu yang sering kau katakan kepadaku.

Malam itu membuatku menemukan kesejatian. Sederhana sekali ternyata. Kesejatian kutemukan dalam diam, bukan dari kata-kata yang riuh-rendah kupakai untuk membicarakan kesejatian yang kudambakan. Saat diam menjadi sempurna, kesejatianlah yang mengambil alih diri kita. Namun kau tentu mengerti bahwa diam yang mengantarkan kita kepada kesejatian itu bukanlah diam yang sederhana, diam itu adalah sebuah totalitas dari berhentinya aktifitas seluruh sifat yang selama ini kita kenal sebagai ciri kita sebagai manusia, dan lucunya kita selalu saja menerima ciri-ciri itu untuk memaklumi diri kita sendiri.

Tanpa kita sadari waktu tiba-tiba bergerak lagi. Malam mulai terasa begitu lama, kita kembali menjadi diri yang apa adanya, kita sama-sama menahan segala dorongan yang akan mengulang kisah yang tidak kita ingini, setidaknya untuk malam itu.

Aku yakin sejak awal kau juga mengalami hal yang sama denganku. Kita memang sama-sama tak ada saat itu. Yang ada hanyalah dua tubuh yang berbaring di lantai kayu.

Sekar, rasanya sulit sekali mengisahkan kembali hari itu, karena tak semua perasaan dalam sebuah peristiwa mampu kita terjemahkan dengan kata-kata, bahkan dalam kalimat panjang yang meliuk-liuk. Kita betul-betul telah mengerti hal itu. Hanya saja masih tersisa sedikit tanya yang mungkin takkan segera menemukan jawabnya.

Sekar, adakah kesempatan kedua bagi kita untuk mengulang saat-saat terbaik dalam hidup kita? Apakah sorga adalah tempat berulangnya kembali saat-saat terbaik itu?

Jika sorga memang kesatuan ruang waktu yang terbaik, aku yakin sekali bahwa peristiwa itu akan terulang kembali nanti. Aku rasa kita tak perlu mati terlebih dahulu untuk menggapai sorga. Sorga di awang-awang itu hanyalah untuk orang-orang yang tak pernah yakin bahwa dalam kehidupan fana ini terselip kesejatian yang teriris oleh waktu yang menjadikannya lembar yang sangat tipis. Sorga di sana hanya untuk orang-orang pencipta batas yang tak mau berupaya menarik sorga dari yang abstrak menuju yang konkrit. Dalam upaya itulah seharusnya kita hidup.

Hari ini, kau dan aku kembali dalam kehidupan seperti biasanya. Kita akan mendaki kembali puncak-puncak pemahaman kita dengan langkah-langkah kecil, dengan rasa lelah yang sering menghinggapi. Tak mengapa, Sekar. Inilah jalan kita, kelak akan kita jumpai lagi kesejatian dan keabadian itu menampakkan dirinya sesaat, lalu lenyap, dan kita akan mendaki lagi dari bawah, begitu seterusnya.

Yang terakhir aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang selama ini kusimpan karena ketidakmampuanku memilih ungkapan yang tepat. Setelah sekian lama mengenalmu, aku melihat sesuatu yang bermetamorfosa dalam pikiranmu, sesuatu yang selalu menggelitik pikiranmu selama ini. Sesuatu itu selalu berubah, tak pernah menetap dalam pemahamanmu. Itu yang dapat kutangkap dari cerita-ceritamu yang selalu menjadi pengisi utama perjumpaan kita. Aku melihat metamorfosa tuhan.

Ya, biarlah banyak orang yang tak bersepaham dengan kita, biarlah orang lain meyakini tuhan yang definitif, tuhan yang selalu sembunyi di balik namanya sendiri. Namun kita akan tetap membiarkan tuhan itu muncul dan bertumbuh sewajarnya, karena mungkin tuhan baru saja lahir di pikiran dan sanubari kita.

Kita tak beriman dengan kesederhanaan, Sekar. Karena kita masih menghargai kompleksitas pikiran kita yang masih mungkin bergerak lebih jauh sembari terus berubah-ubah.

Esok atau lusa, tuhan di pikiran kita akan terus bermetamorfosa, sebuah proses yang sering diingkari oleh orang yang ketakutan kepada tuhannya sendiri yang definitif, yang terkekang oleh sifat-sifat yang tak diwartakan seluruhnya.

Tuhan, bagi kita berdua adalah tujuan yang tak henti-henti memperbaharui jaraknya, sesuatu yang tak kunjung selesai.

Dalam hidup ini kita hanya mampu menangkap dan mencoba memahami metamorfosanya, dalam diri kita sendiri.

(Surakarta, 8 Juni 2011)

Baca Selengkapnya... → Antara Aku, Sekar dan Tuhan yang Bermetamorfosa

Jeda, Jarak, dan Batas

Oleh: Fariha Ilyas

Jeda memberitahu kita tentang apa yang akan terjadi, jeda membuat kita tak terlampau resah dalam penantian karena kita tahu apa yang sedang terjadi hanya sementara. Kita tahu itu.

Jarak mengirim kabar tentang di mana kita berada, ia membisikkan seberapa besar kemampuan dan kekuatan kita melewatinya. Jarak bukan kekosongan, ia adalah sesuatu yang benar-benar ada. Bahkan kadangkala jarak begitu pentingnya, karena tanpa itu kita tak bisa menemukan diri kita sendiri, kita tak mampu melihat apa-apa tanpa jarak. Jarak kadang mengantarkan kita, bukan melulu memisahkan.

Batas adalah tipuan, kita tak pernah mampu mengetahuinya dengan pasti. Kapankah tepatnya siang digantikan malam? Kapankah tepatnya batas antara malam dan pagi? Semua terasa begitu kabur. Manakah batas antara lautan dan daratan? Pantai? Sedang air laut terus bergerak-gerak tak menetap. Manakah batas terang dan gelap?

Batas itu adalah ciptaan kita sendiri, yang kita katakan karena kebingungan kita pada dua hal yang nampak berbeda, dan mau tak mau kita harus memisahkan itu dengan istilah-istilah agar kita tak terlampau bingung menghadapinya.

Segala hal sambung-menyambung, saling terkait. Banyak hal yang nampak berbeda, bahkan kadang berlawanan. Namun sebenarnya hal-hal semacam itu tak ada.

Batas adalah upaya kita memperjelas, yang alasannya kadang hanyalah paranoia.

Karena jeda nafasku tertata, karena jarak pandanganku lega, karena batas aku berduka.

(Surakarta, 7 Juni 2011)

Baca Selengkapnya... → Jeda, Jarak, dan Batas