Minggu, Agustus 29, 2010

Resah

Oleh: Fariha Ilyas


Angin, glagah yang bergoyang-
goyang, dan jalan setapak ini..
Rasanya telah begitu akrab..
Semua ini telah lama menjadi bagian dari hari-hariku..


Jalan ini seperti lorong waktu…
Setiap jengkalnya adalah cerita tentang anak manusia yang kelelahan..
Menjalani satu demi satu hari-harinya..

Di ujung sana ada sebuah tonggak..
Titik dimana semua harus berhenti dan selesai..
Aku tak yakin sampai ke sana..

Karena di sekelilingku ternyata juga terdapat tonggak-tonggak serupa..
Mungkin akhir adalah dimana seseorang menghentikan langkahnya..
Karena letih atau memang ujung jalan ini bukan tujuan..

Angin masih semilir, tak pernah berubah..
Kakiku juga tak pernah beranjak..
Ternyata jalan ini yang bergerak dan berjalan..

Baca Selengkapnya... → Resah

Prasangka

Tak pernah kusangka matahari pagi ini terlihat lagi….
Menghangatkan bumi yang sempat membeku semalam….
Menggantikan kegelapan dengan sinarnya….

Kutapaki lagi jalan kemarin….
Kulihat lagi bunga kemarin….
Rumput-rumput kemarin….
Rindangnya pepohonan kemarin….

Akhirnya kutemui lagi orang-orang kemarin….
Kawan-kawanku kemarin….
Tak ada yang baru, pikirku….

Oh, ternyata hidup hanya pengulangan….
Pengulangan hidup kemarin….
Hari-hariku sekarang hanya pengulangan hari-hari kemarin…

Sampai suatu kali kutemukan kesadaranku….
Bahwa setiap detik segala sesuatu memperbarui dirinya….
Akulah yang menganggap semua ini sisa-sisa....
Dan aku telah salah sangka….
Baca Selengkapnya... → Prasangka

Eksistensialisme Jean-Paul Sartre

“Sungguh, berdasarkan pada fakta tunggal, bahwa saya sadar tentang sebab-sebab yang mengilhami tindakan saya, sebab-sebab ini sudah merupakan objek-objek transenden bagi kesadaran saya; mereka berada di luar. Sia-sia saja saya berupaya untuk menangkap mereka; saya terlepas dari mereka karena eksistensi saya. Saya dihukum untuk eksis selamanya untuk melampaui esensi saya, melampaui sebab-sebab dan motif-motif tindakan saya. Saya dihukum untuk menjadi bebas. Hal ini berarti tidak ada batas-batas bagi kebebasan saya, yang dapat ditemukan kecuali kebebasan itu sendiri atau, jika amda lebih suka, bahwa kita tidak bebas untuk berhenti menjadi bebas “ (Jean-Paul Sartre)



Mendengar nama Jean-Paul Sartre, ingatan kita langsung dibawa pada sosok filsuf asal prancis yang pemikirannya cukup radikal namun berbobot. Sartre lahir di paris tahun 1905. Belajar di sekolah nomor satu prancis, Ecole Normale Superieure. Bersentuhan secara intelektual dengan pemikir macam Hegel, Edmund Husserl, Henry Bergson, dan Martin Heidegger. Kesemuanya membuatnya menjadi pemikir nomor wahid yang karya-karyanya selalu menggoncang jagad pemikiran kontemporer. Eksistensialisma adalah nama filsafatnya.

Eksistensialisme adalah filsafat yang menyibukkan dirinya dengan persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi manusia. Sebeleum Sartre, memang filsuf macam Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, dan Soren Kierkegaard telah membahas persoalan eksistensi manusia. Namun oleh Sartre konsep itu dibuat lebih gamblang dan mudah dipahami.

Seperti halnya Kierkegaard, Sartre mengemukakan bahwa eksistensi selalu berupa yang individual, unik, bukan yang universal. Artinya, eksistensi tidak bias direduksi pada esensi, kodrat, hakikat yang universal sifatnya. Yang individual bukan eksemplar dari yang universal. Contoh, manusia x, y, z bukan sekedar eksemplar dari konsep universal manusia sebagai animal rationale, animal symbolicum, homo ludens dan lain sebagainya.

Eksistensi mendahului esensi. Begitu tesis eksistensialisme Sartre. Sartre membalik tradisi filsafat barat sejak Plato yang selalu menyatakan esensi mendahului eksistensi. Apakah yang dimaksud dengan eksistensi dan esensi? Eksistensi adalah adanya hal-ihwal, sedang esensi adalah apa-nya. Ketika kita bertanya apa pohon itu, sesungguhnya kita bertanya tentang esensi, sedang eksistensi adalah kenyataan bahwa pohon itu ada, seperti mobil, rumah, rumput, anjing ada.

Kembali pada tesis Sartre di atas. Sartre menegaskan bahwa kita tidak bisa menjelaskan esensi manusia seperti esensi benda-benda buatan tangan (manufaktur). Ketika kita melihat sebilah pisau dapur, kita langsung tahu bahwa ia dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep di kepalanya tentang tujuan dan prosedur pembuatannya. Sebelum dibuat, sebilah pisau dapur telah memiliki tujuan tertentu dan merupakan produk dari sebuah proses pembuatan yang tertentu pula. Esensi pisau dapur oleh karenanya mendahului eksistensinya, karena konsep mendahului keberwujudan pisau tersebut.
Kita cenderung melihat manusia seperti pisau dapur tadi. Kita cenderung menjelaskannya sebagai produk dari perajin agung, yaitu Tuhan. Sebelum manusia ada, Tuhan telah memiliki konsep tentang manusia seperti halnya perajin pisau memiliki konsep tentang pisau buatannya. Setiap individu adalah realisasi konsepsi tertentu yang telah ada di pemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat adalah dua hal yan tak terpisahkan.

Sartre membalik ini semua. Dia mengambil jalur ateisme. Logikanya berbunyi “Jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia, pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang memasangnya dan terus-menerus mengawasinya”. Manusia pertama-tama ada dan baru kemudian mewujudkan esensi/ kodratnya. Manusia adalah semata-mata apa yang dirajutnya sendiri. Manusia menurut Sartre lebih tinggi derajatnya dari entitas lainnya, karena ia tidak memiliki kodrat yang telah ditentukan sebelumnya. Manusia, singkatnya, adalah sosok yang bebas.

Manusia, seperti entitas lainnya, juga bereksistensi. Namun, eksistensinya berbeda karena dimuati kesadaran. Kesadaranlah yang menjadi dasar pemikiran eksistensialisme Sartre.

(Sumber : Percik Pemikiran Kontemporer)
Baca Selengkapnya... → Eksistensialisme Jean-Paul Sartre

Sabtu, Agustus 28, 2010

Aku dan Diriku

Huh, rasanya seperti dihantam sebuah kelemahan, kelemahan yang lama sekali kuidap: Rasa bosan. Entah kenapa aku sering sekali dihinggapi rasa bosan ini...hhmmm rasanya seperti termakan oleh segala tekad yang pernah kuikrarkan dan sampai saat ini belum terwujud.

Barangkali perlu banyak waktu untuk kembali ke jalur yang benar. Tapi berapa lama waktu yang kuperlukan untuk itu? Jangan-jangan itu semua justru akan semakin membuatku sulit keluar dari jeratan rasa malas dan bosan. Sulit sekali mengenali diri ini. Saat semua orang menjadi nampak berjalan cepat, aku dicekam was-was, merasa tertinggal dan sama sekali tak punya energi untuk berlari lebih cepat dari yang lain.

Entah sejak kapan aku mengidap penyakit ini, penyakit yang tanpa kusadari telah membuatku berubah dalam sikap, fokus dan ketekunan. Aku lambat sekali matang. Dan saat kesadaran akan semua itu muncul, lagi-lagi yang kulakukan hanya menulis saja. Hhmm....

Buku-buku di rak masih diam berjajar, sesekali beberapa diantaranya berteriak untuk kubuka dan kubaca lagi. Menyenangkan sekali bisa mencerap banyak hal yang dituliskan orang. Buku-buku selalu menjadi teman terbaik di saat-saat senggang dan sendirian.

Namun ada kalanya kesendirianku tak bisa diisi oleh hal apapun selain diam, rasa sendiri yang begitu sesak. Sepertinya saat itu aku kehilangan banyak hal dalam diriku, hal-hal yang sekain lama kurasa selalu ada, namun ternyata semua telah menguap tanpa kusadari. Akupun mencari-cari, betanya-tanya pada diriku sendiri.

Apakah hidup ini adalah sebuah pembuktian? Apakah segal hal yang aku lakukan nanti akan menjadi sebuah kebaikan tanpa “embel-embel” apapun? Atau sebenarnya aku melakukan semua hal hanya karena aku mendamba sebuah pengakuan? Embel-embel?

Tidurku semakin pendek, karena pikiranku tak pernah tenang, tak pernah sempurna membaca diri ini. Apakah tindakanku menarik diri dari gerak kehidupan justru semakin membuatku jauh dari diriku sendiri? Mungkin saja iya, karena bisa jadi diriku bukan di sini, dalam sepi ini, namun di luar sana, di keramaian.

(Malam Resah. Surakarta, 27 Agustus 2010)

Baca Selengkapnya... → Aku dan Diriku

Jumat, Agustus 27, 2010

Ke Mana Lagi Aku Harus Mencarimu?

Oleh: Fariha Ilyas


Ke mana lagi aku harus mencarimu?
Ke lembah mimpi sudah, ke bukit hayal sudah, ke lautan harap pun sudah!
Di mana kau bersembunyi?

Apa kau tahu? aku hampir saja mati digigit angin putus asa di lembah
Aku pun nyaris terperosok di jurang-jurang kecewa tanpa dasar
Apa justru kau ingin aku musnah dilamun ombak?
Kau gila.

Dulu kau sering berjanji padaku tentang pertemuan. Pertemuan apa?
Janjimu ternyata palsu saja, agar aku mau hidup lebih lama
Kau katakan padaku bahwa kau akan menemuiku suatu waktu
Tapi diam-diam kau hentikan waktuku agar kita tak bertemu
Kau gila.

Katamu kau akan selalu membimbingku, menemani langkahku
Tapi apa? Kau tinggal aku dalam sepi, kau bebat aku dalam sendiri
Sementara aku tak pernah tahu kau hidup di dunia macam apa
Kau gila.

Aku tahu orang-orang juga mencarimu, ingin menemuimu
Tapi kau diam saja saat yang mereka sebut-sebut itu nama berhala
Apakah kau tak ingin namamu disebut lagi?
Atau sebenarnya kau tak punya nama?
Aku lelah, dan kau gila.
Baca Selengkapnya... → Ke Mana Lagi Aku Harus Mencarimu?

Kisah Tanpa Akhir

Oleh: Fariha Ilyas

Ini adalah sebuah kisah tanpa akhir, kisah janggal di dunia yang sering tak masuk akal. Hari berganti-ganti, namun zaman selalu menghadirkan banyak sekali kisah tentang rindu yang itu-itu saja, atau tragedi yang mudah sekali dicari referensinya di roman-roman usang. Sudahlah, ini bukan kisah cinta masa lalu, ini adalah kisah cinta masa kini tentang aku dan cinta.

Aku adalah wanita kebanyakan, tak ada yang berbeda denganku kecuali hal-hal kecil yang biasa. Lama sekali rasanya hidup ini, walau batang usiaku belum seberapa tinggi. Aku seperti merasa menjalankan skenario hidup orang lain, orang lain yang tak sezaman denganku. Kenapa aku merasa demikian? Aku tak tahu pasti. Namun saat kubaca beberapa cerita lampau di buku-bukuku, aku seperti ada di dalamnya, atau sepertinya cerita itu sedang berlangsung bukan di zaman yang telah lewat, namun di zamanku.

Tahukah kau bahwa setiap malam mataku sembab oleh air mata rindu, rindu yang tersesat. Aku tak tahu bagaimana rindu itu harus kuperlakukan, aku takut mengucapkannya, namun juga takut membuangnya begitu saja. Aku seperti terkurung dalam sebuah dunia yang melarangku untuk rindu kepada seseorang yang sangat kucintai sekaligus sebuah dunia kebebasan tanpa etika cinta. Mungkin aku seperti Puteri Budur yang hatinya kelu karena rindu kepada Qamaruzzaman. Tapi aku bukan Budur, aku adalah aku, wanita biasa, bukan wanita dalam cerita yang begitu kuat menghadapi segala badai kesulitan hingga cerita usai dengan bahagia. Bahkan sekarang pun aku tak tahu apakah aku sanggup hidup seperti ini hingga kisahku usai. Aku tak tahu.Aku tak tahu.

Hanya bait-bait ini yang selalu kubaca saat malam semakin renta:

Malamku panjang, sementara para pengekangku itu tidur
Dan hatiku yang gelisah terasa pedih akibat luka perpisahan
Aku bertanya, sementara malamku diperpanjang dengan sengaja
“Kapankah cahaya siang akan datang lagi?”

Apakah demikian yang terjadi pada setiap wanita sepertiku?
Datangnya cinta yang bertubi-tubi melukaiku
Seperti ratusan mata lembing yang menghujam
Aku lebih suka menjadi tiada, daripada nyawaku diselamatkan


Kisah ini tanpa akhir, tanpa akhir, karena dimulai dalam waktu yang melingkar. Saat kusadari semua itu, aku memilih diam.

(Untuk wanita yang kehilangan cinta dalam tumpukan cinta. Malam rembulan, 28 Juni 2010)
Baca Selengkapnya... → Kisah Tanpa Akhir

Ketakutan yang Tak Terbatas

Oleh: Fariha Ilyas



Suatu ketika, saat dirimu dikungkung rindu yang tak tertahankan, saat bayang-bayang seseorang tak mampu kau hilangkan dari kepalmu, maka carilah dia. Karena mengusir bayang-bayang adalah mengusir kekosongan, sedangkan kekosongan yang kau akrabi itu akan terus ada.

Diamlah beberapa saat untuk kembali menata setiap ingatan di kepala. Temui dia di alam nyatamu, agar bayang-bayangnya lenyap. Karena mengusir bayang-bayang akan mendatangkan rindu yang tak putus-putus. Menghantuimu dengan sesal yang terus mengganjal.

Jika yang kau dapati adalah keyakinanmu tentangnya, berlarilah sekencang-kencangnya meninggalkan bayang-bayang, songsonglah ia segera. Jangan pernah ragu, karena ragu yang telah memisahkanmu.

Sedikit keberanian cukup untuk mengubah kehidupan, namun sebesar apapun rasa takut takkan pernah cukup untuk membenarkan sesuatu yang kau lakukan dalam kebimbangan. Kau adalah bagian dari semuanya, maka jika kau menginginkan sesuatu maka berkatalah kepada setiap yang ada. Agar semuanya berpadu, mengantarmu ke sebuah tujuan yang kau idamkan.

Jika tak ada sedikitpun keberanian itu, bersujudlah pada pemilik rasa takut yang akan menghujanimu dengan ketakutan yang tak terbatas. Hingga kau sendiri takkan pernah tahu bahwa sedang berada dalam ketakutan.

Dan yang demikian itu adalah satu-satunya jalan agar kau tidak merasakan hal yang paling tak kau inginkan. Namun sebenarnya siapapun takkan mengerti apa yang kau inginkan dan apa yang tidak.


(Untuk Pemilik Boneka Minke, 7 Juni 2010)
Baca Selengkapnya... → Ketakutan yang Tak Terbatas

Malam dan Syair Langit

Oleh: Fariha Ilyas




Malam terus bergulir, seiring gerak jarum jam yang telah melewati angka dua belas. Sepi. Di luar sana angin sepertinya enggan berhembus, seluruh alam malam itu seperti sedang beku oleh beberapa bait syair yang dibacakan malaikat entah dari lapisan langit keberapa.

Daun-daun cemara kaku seperti besi yang sebenarnya. Kuncup-kuncup bunga yang siap mekar rupanya juga tak ingin buru-buru memamerkan keindahannnya kepada rerumputan yang sejak tadi berdiri bukan layaknya rumput, melainkan paku-paku yang tajam.

Saat itulah sebuah jendela terbuka, sebuah jendela dari rumah yang dikelilingi pagar kayu bercat putih. Dari dalam menyembullah kepala gadis berambut panjang yang berwajah muram. Matanya sembab karena menyerah saat beberapa tetesan bening memaksa keluar dari pelupuknya, membawa banyak sekali tetesan lain yang hampir tak tertahankan beberapa malam ini. Gadis itu adalah pusat segala sunyi malam ini, titik tengah segala kesedihan yang memaksa setiap ekor jangkrik menahan suaranya, beberapa malam ini.

Sepanjang malam gadis itu hanya diam, memandang semua hamparan pilu yang tercermin di setiap jengkal pandangan matanya. Segalanya nampak pilu karena hati gadis itu kelu karena rindu yang sekian lama tenggelam dalam kekalutan.

Dan di langit sana, malaikat terus saja membacakan bait-bait syair agung yang menembus kegelapan, mencairkan hati setiap orang yang mampu mendengar dan meresapi syair malam. Namun gadis itu tak pernah mampu mendengarkan bait-bait syair yang sebenarnya adalah sebuah sejarah yang dilantunkan, sejarah yang telah memberi banyak sekali pelajaran bagi manusia-manusia yang tinggal dalam sebuah bingkai besar bernama ruang-waktu.

Enyahlah segala cinta. Teriak gadis itu, sebuah teriakan yang tak terdengar, karena hanya sebuah teriakan hati yang sekarat. Hati yang sekian lama dibebat paksa di tonggak aturan yang tak peduli. Segumpal hati itu kini pelan-pelan menjadi sepotong daging biasa, tanpa sifat-sifat istimewa. Semua berubah menjadi begitu tragis, seperti yang diinginkan dunianya, dunia yang tak peduli.

Saat malaikat hampir selesai membacakan syairnya di langit, sayup-sayup terdengar syair yang serupa, mengalun lirih, seirama gerak alam yang pelan-pelan mulai terasa. Diawali dengan kuncup bunga yang mengembang, lalu daun-daun cemara yang mulai bergoyang.

Dari jendela itulah berhamburan syair-syair tandingan, syair-syair yang menyamarkan syair-syair langit. Malaikat pun diam, menyimak dengan seksama setiap kata yang terucap dari seorang gadis yang tak berdaya. Syair itu dibawa angin yang mulai lembut bertiup, jauh sekali, menusuk jantung malam.

Sejak saat itu, tak terdengar lagi syair-syair malaikat. Karena syair-syair gadis itulah yang kini menjadi pengisi malam. Syair-syair itu memenuhi setiap kekosongan yang ditinggalkan oleh manusia-manusia. Bahkan syair itu memenuhi kosongnya bentang langit. Menggema di sebuah ruang luasnya yang tak terbayangkan.

Jarum jam terus bergerak, semakin dekat dengan angka-angka yang sudah sedemikian akrab. Lalu sebuah kepastian datng lagi, kepastian yang menggelisahkan hati gadis itu, dan hati setiap orang yang menyadari arti gerak jarum jam.

Alam semakin menggeliat, gadis itu surut ke peraduan, tersungkur dalam kepastian yang mengherankan, terjerembab dalam lingkaran tanpa batas. Jarum jam sepertinya tunduk kepada takdir, tanpa sedikitpun ragu akan sifat waktu yang ambigu. Hanya gadis itu yang menyadari, bahwa kepastian yang akan menjemputnya adalah : sesuatu yang tak pasti.

Membalut luka dengan air mata
Terseok membaca jejak-jejak pengembara
Apa dayaku? Jika udara menyesakkan rongga dadaku
Dan ruang-ruang menghimpitku


(Untuk Pemilik Boneka Minke, 7 Juni 2010)
Baca Selengkapnya... → Malam dan Syair Langit

Senja (2)

Oleh: Fariha Ilyas



Pernah kusaksikan senja yang begitu memesona
Membius, melukai
Itulah senja

Senja menyeretku ke dasar jurang kerinduan
Ke puncak kegelisahan
Itulah senja

Aku terjebak dalam diam
Lenyap tergulung langit



(18 Maret 2009
Baca Selengkapnya... → Senja (2)

Untuk Han (4)

Oleh: Fariha Ilyas



Mudah saja mengusir sepi

Pergi saja ke tempat sepi

Namun tak mudah mengundang sepi

Jika tak ada rongga di sudut bumi


Siang ini seperti suatu siang yang pernah lewat, mirip sekali. Sepertinya aku pernah menemui siang seperti ini, apakah aku sedang mengalami de javu? Aku tak tahu pasti. Yang kutahu sejak dulu adalah: sebuah pertemuan abadi tak pernah hilang, pergi, atau berlalu tanpa kembali. Ia akan datang lagi, selalu, dan selalu.


Di depan sebuah langgar-begitu orang kampung kami menyebut musholla-aku temenung. Siang ini rasanya seperti sebuah fragmen tak lengkap tentang aku dan Han, harusnya dia ada dan kembali menemui siang ini sepertiku, harusnya ia menuliskan hal serupa ini, jika pun ada perbedaan cerita darinya toh itu hanya karena sudut pandang yang berbeda saja, bukan karena kami melalui siang yang tak sama. Namun apa yang terjadi siang ini?


Beberapa hari lewat sudah tanpa pernah kusadari bahwa dua hari yang kuanggap biasa ternyata membawa serta sebuah hari yang telah tua tertimbun minggu, bulan, dan tahun. Dan setebal timbunan itulah rinduku dapat tergambar, rindu kepada siang serupa ini. Entah apa yang membuat banyak hal seperti tersusun kembali dengan komposisi yang hampir sama persis seperti sebuah copy dari sesuatu yang pernah bersemayam dalam pikiran.


Saat lembar daun pisang yang lebar bergerak, mengepak seperti sayap, saat itu rasanya aku tertampar keras dan sadar bahwa segala kemiripan siang itu dengan siang dulu adalah seutas tali tambang raksasa yang menarikku untuk segera tahu bahwa yang ada sekarang hanyalah aku, tanpa Han. Cerita selanjutnya tentu sudah menjadi sangat klise, seperti yang pernah dialami oleh banyak orang yang memiliki rindu yang tanpa obat.


Siang ini, di depan sebuah langgar, dengan harmoni yang melenakan, aku tak menemukan Han atau siapapun, namun aku menemukan diriku sendiri, sendirian.


(Surakarta, 12 Agustus 2010)

Baca Selengkapnya... → Untuk Han (4)

Untuk Han (3)

Oleh: Fariha Ilyas



Bertahanlah, karena kesendirian adalah nafasmu
Atau pergilah, jika kau ingin
Pergilah sesudah hilang

Kabut pegunungan mengurungku. Han, aku ingin bercerita banyak hal sekarang. Entah, setiap kali aku melewati tempat-tempat yang indah, aku selalu ingin berhenti, menghirup udaranya, mengamati setiap jengkal tanah di sekelilingku, pepohonan, atau apa saja yang masih ada dalam jangkauan penglihatanku. Aku tak ingin melewatkan setiap inci panorama.

Aku hanya ingin menceritakannya kepadamu, Han. Kabut, hawa dingin, pohon pinus yang menjulang, bunga-bunga liar, dan perasaan sepi ini yang selalu membuat semua menjadi berbeda. Apakah kau bisa merasakannya, Han?. Kadangkala aku merasa aku tak cukup waktu untuk merekam semuanya, Han. Maafkan aku. Tapi kemarin sempat kupetik beberapa bunga untukkmu, walaupun orang-orang berkata dengan nada mengejek kepadaku. Tapi aku tak peduli. Bagi mereka, bagiku, bunga-bunga ini biasa saja. Tapi buatmu tentu bunga-bunga ini adalah sesuatu yang baru, Han.

Kemarin aku sempat berhenti sebentar, memotret semua hal dengan ingatanku, membingkainya dengan kokoh di pikiranku. Agar semua tetap untuh. Lalu kuhadirkan kau dalam potret itu, dalam bingkai itu. Aku selalu rindu padamu, Han. Selalu. Aku tak bisa melewatkan ini sendirian, aku selalu ingin mengajakmu. Kadang-kadang tak kuajakpun, kau selalu mengikutiku. Tak mengapa, Han. Kau membuatku tak bisa sendiri. Tak bisa.

Han, beberapa waktu mendatang aku ingin kembali ke tempat itu. Akan kutuliskan nama kita di bongkahan batu besar. Suatu saat jika datang kesempatanmu melewati jalan itu. Kau akan percaya kepadaku, percaya bahwa aku tak bisa sendiri. Tapi apakah kesempatan itu akn datang kepadamu, Han? Atau sebenarnya kesempatanmu telah kau titipkan padaku? Mungkin karena itulah kadangkala aku merasa berdosa saat aku menutup mata pada banyak hal, aku telah menhalangi pandanganmu, Han. Tapi aku berjanji kepadamu, hal itu takkan kuulangi. Aku akan membiarkanmu menyaksikan semuanya melalui mataku. Hanya itu yang bisa kulakukan untukmu, Han.

Han, selama ini telah banyak sekali cinta datang dan pergi, apakah kau sempat melaluinya dulu? Han, aku sebenarnya ingin bertanya kepadamu, apakah arti cinta bagimu? Apakah kau pernah merasa dicintai atau kau pernah mencintai seseorang? Aku tahu cintamu pada seseorang akan abadi, Han. Kau tidak seperti diriku. Aku bingung, cinta yang kutemui sungguh tak bisa kumengerti. Cinta yang datang kepadaku mengusir sepi, tapi menggiring kesendirian ke arahku. Kau pasti mengerti, karena kesendirian adalah nafasmu.

(Malam biasa, 29 mei 2010)
Baca Selengkapnya... → Untuk Han (3)

Untuk Han (2)

Oleh: Fariha Ilyas



Siang itu aku berjalan ke arah sungai, tidak seberapa jauh dari rumahku.
Aku tidak ingin berbaring di gubuk kecil di tepi sungai, atau mencelupkan kedua kakiku ke air sambil melihat pak Gito mendorong gethek. Aku ingin bertemu Han, sahabat masa kecilku.

Dari kejauhan kulihat Han sedang terdiam. Kuhampiri kawan yang sebaya denganku itu. Kuucapkan salam kepadanya seperti biasa, namun ia tetap diam.

“Han, aku baru saja datang kemarin dari Solo, sudah 3 minggu aku tak pulang, maafkan aku”

“Han, beberapa malam ini aku selalu teringat tentang dirimu, aku ingat saat kau ke rumahku siang itu. Dengan layang-layang dan segulung benang di tanganmu, aku masih ingat saat kita beradu cepat menyentuh putri malu di sepanjang tepi jalan dekat sawah. Aku belum bisa lupa saat kau kalahkan aku sdalam permainan gasing sore itu. Aku yakin kau pun masih mengingatnya”

Han hanya diam, membisu.

“Han, aku sering lupa bercerita padamu tentang teman-teamn kita dulu. Aku tak tahu apakah mereka sering menjengukmu? Atau mereka telah melupakanmu? Aku tak bisa menceritakan semua padamu karena aku pun jarang bertemu teman-teman kita dulu”.

“Han, maaf jika aku selalu menganggapmu seperti dulu, aku tak bisa mengerti apa maumu sekarang. Dalam benakku kau adalah teman yang riang dan tak pernah sekalipun menyakitiku. Bagiku kau tak tergantikan. Walau kau tak sudu menemaniku bersekolah, tapi tak mengapa. Aku tahu kau sebenarnya juga ingin menyertaiku”.

Han tetap membatu.

“Han, beberapa waktu lalu aku berniat memperkenalkan kekasihku padamu. Dia sangat cantik, tubuhnya tinggi semampai, rambutnya lurus, panjang dan hitam. Dapatkah kau bayangkan dia, Han? Aku rasa sudah saatnya kau juga memiliki kekasih, Han. Dan aku yakin pasti kau juga akan memilki kekasih yang cantik, karena aku tahu jika kau dewasa, aku juga akan menjadi pemuda yang tegap dan tampan”.

“Tapi kenapa, Han? Kenapa kau ingkari janjimu padaku? Kenapa sore itu kau pergi dengan tiba-tiba? Kau belum sempat membuktikan bahwa kau mampu mengalahkanku di kelas, kau juga belum sempat menyaksikan gasing baru yang kusiapkan untuk mengalahkan gasingmu, Han”.

“Han, aku tak pernah menerti kenapa sampai saat ini aku belum mampu merelakan kepergianmu. Kau selalu menjelma saat aku kesepian, kau selalu muncul dengan tawa dan teriakanmu yang tak pernah berubah. Kau samasekali tak berubah. Tapi jika kau muncul, kau tak pernah menyapaku. Apakah kau lupa padaku, Han? Inilah aku sekarang, Han. Aku sudah dewasa. Bukan anak-anak lagi seprti dulu. Apakah itu yang membuatmu tak mengenaliku lagi?”

“Han, kenapa kau tak beranjak dewasa sepertiku? Apakah di sana kau juga bisa bersekolah sepertiku? Apakah kau punya kekasih sepertiku juga?

“Han, aku mulai gelisah, aku gelisah tentang hidup ini. Apakah di sana kau juga gelisah, Han? Apakah kau punya banyak keinginan, Han? Apakah kau juga pernah merasa kecewa di sana? Apakah kau merasakan cinta, kebencian, sakit dan perih? ”

“Han, aku tahu kau takkan pernah bicara, tapi aku juga tahu kau pasti mendengarkanku, dan aku yakin kau pasti mengerti apa yang kupikirkan sejak dulu. Karena kau adalah satu-satunya teman sejatiku”

Aku berdiri, kuucapkan salam pada Han, lalu kuambil satu-persatu langkah berat meniggalkan Han. Han telah mengingkari janjinya padaku 16 Tahun lalu. Ia sengaja ingkar padaku, karena ternyata ia memilih untuk memenuhi janjinya pada Sang pemilik janji.
Baca Selengkapnya... → Untuk Han (2)

Untuk Han

Oleh: Fariha Ilyas

Han, Senja datang lagi...
Senja yang dulu sering kita lepas berdua...
Kita tangisi bersama...

Han, kali ini senja berwarna jingga...
Gumpalan-gumpalan awan menutupi ufuk barat...
Han, aku masih ingat teriakanmu saat itu...
Saat angin bertiup dan membuat batang padi menari-nari...

Han, sekarang aku sendirian...
Hanya ada sepi...

Tapi senja-senja terus membuatku terkenang akan masa lalu, Han...
Takkan kulupakan, seperti saat ini di masa depan...
Baca Selengkapnya... → Untuk Han

Kamis, Agustus 26, 2010

Saat Semua Harus Kutuliskan


Harusnya tak kukatakan hal ini padamu, jika aku berpikir esok pasti datang lagi, lusa pasti datang lagi. Terus saja begitu, tanpa pernah usai. Namun terlalu sombong untukku untuk yakin bahwa kesempatan ini akan terus menjadi bagian dari perjalanan hidupku.

Aku sangat merindukanmu, walau baru saja kita berjumpa, hatiku kering sekali, seperti padang gersang yang tak bertepi. Aku kehilangan diriku sendiri di sini, di padang gersang hatiku. Dan kau adalah seseorang yang paling aku ingat dan kau adalah oarang yang membuatku merasa ada di antara timbunan sepi ini.

Entah apa yang akan terjadi kepada kita esok, lusa, atau setelahnya. Namun sebuah perpisahan yang niscaya sudah pasti menghadang. Kau tentu mengerti apa yang kurasakan, karena kau juga ada dalam rasa yang sama denganku. Gula-gula yang kita kecap kemarin, hari ini, sepertinya akan selalu meninggalkan rasa manis yang takkan hilang.

Aku masih ingat saat-saat kita dipertemukan dulu, sebuah hari yang telah membeku. Siang itu adalah titik di mana kehidupanku saat ini mulai dirajut oleh kehadiranmu. Takkan pernah kulupakan hari itu. Tak akan. Harusnya aku juga tak sesentimentil seperti malam ini, saat hidup sepi dan dunia masih sudi berdamai dengan orang-orang seperti kita. Namun jujur kukatakan kepadamu bahwa tulisan ini adalah semacam bisik ketakutanku akan perpisahan yang niscaya itu. Siapa yang tersisa dan menyisakan?

Apakah perlunya kukatakan semua ini kepada orang-orang, jika segala sisi hidup kita telah terbungkus oleh perasaan yang serupa, yang kata orang-orang adalah hal yang biasa. Aku justru merasa perlu menuliskan ini semua di catatanku ini hanya untukmu saja. Maaf jika segala yang kusampaikan terlalu emosional dan tergesa-gesa. Aku hanya tak ingin terlambat, seperti menulis sebuah berita duka dalam linangan air mata.

(25 Agustus 2010)
Baca Selengkapnya... → Saat Semua Harus Kutuliskan

Selasa, Agustus 24, 2010

Angka-angka Kalender

Oleh: Fariha Ilyas


Tahun-tahun lewat saja, berganti-ganti. Angka-angka kalender di atas meja layaknya tanda tanya sekaligus jawaban-jawaban untuk dirinya sendiri. ” Ada saat-saat di mana kau merasa kehilangan kepalamu sendiri”, begitu yang tertulis pada sebuah biografi yang pernah kubaca. Pergulatan, itu kata kuncinya.


Nasib seolah membawa kita ke arah yang hampir tak pernah terpikir oleh seseorang, walau angka-angka kalender rasanya seperti telah menjalin kontrak dengan masa depan. Lebih tepatnya janji-janji masa depan yang nampak pasti. Ya, masa depan itu pasti datang, katanya. Kapan? Tak ada yang punya hak untuk menjawab. Namun setiap orang berhak untuk terus bertanya-tanya tentang masa depan itu. Bagaimana jika masa kini ternyata begitu cepat, hanya sekejap saja dapat terkecap oleh kesadaran, dan sedetik kemudian segala waktu langsung menjelma menjadi masa lalu.


Di mana hidup sesorang? Masa kini, itulah yang sering dikatakan orang, tak ada masa lalu, tak ada masa depan. Lalu apa yang ada di dalam pikiran para visioner? Apakah benar seorang visioner menempatkan daya kreatifnya di waktu yang akan datang? Sehingga pada akhirnya seorang visioner mampu meramal zaman? Dari mana zaman dapat diramal tanpa bayang-bayang?. Sulit sekali membayangkan masa depan itu tanpa ada pengetahuan yang memadai tentang masa lalu. “ Carilah masa lalu, maka akan kau dapatkan masa depan!”. Itu yang pernah kudengar dari seseorang. Masa lalu siapa? Untuk masa depan siapa?


Titik-titik waktu adalah misteri terbesar untuk sebagian orang. Ada yang hanyut dalam nostalgia-nostalgia masa lalu dan abai pada masa kininya, ada pula yang abai kepada masa kini karena terpaku pada masa depan yang samar-samar. Ada yang menyandarkan dirinya pada keyakinan akan masa depan itu, ada pula yang bergelayut pada keragu-raguan.


Angka-angka kalender masih terasa mengintimidasi. Saatnya mulai berpikir dengan kepala sendiri, menemukan kepala yang hilang. Tapi kadangkala memang terasa penting untuk berpikir dengan kepala orang lain. Setidaknya untuk melepas belenggu pikiran sendiri yang kadangkala mampu membunuh benih-benih harapan yang dimiliki seseorang, namun tak pernah disadari.


“Memang benar: zaman akan menjadi hakim. Zaman akan menentukan siapa yang benar dan siapa salah. Tiap-tiap perjuangan yang besar-besar di sejarah manusia yang telah beribu-ribu tahun itu-zamanlah yang kemudian menghakiminya”.(Bung Karno)


Angka-angka kalender masih saja kukuh pada janji-janjinya. Mengundang harap, sekaligus resah.


(Malam biasa, 23 Agustus 2010)

Baca Selengkapnya... → Angka-angka Kalender

Dari Lubang Kunci

Oleh: Fariha Ilyas



Surau itu masih berdiri, meski nampak tak kokoh lagi namun sepertinya ia masih akan bertahan beberapa generasi lagi. Hal itu sangat mungkin terjadi saat kusadari bahwa waktu cepat sekali berlalu bagiku, anak kampung. Tanpa terasa lembar-demi lembar hari telah tertumpuk, dan tumpang tindihnya peristiwa sepertinya terlalu sulit diurai kembali dengan teratur.


Namun aku takkan lupa sedikitpun pada apa saja yang terjadi di surau itu, bertahun-tahun lalu. Di surau itulah dulu aku belajar mengeja huruf-huruf arab dengan terbata-bata. Setiap hari, selama beberapa tahun. Di surau itulah aku diperkenalkan kepada sebuah nama agung, nama pencipta semesta raya. Pendek kata, di surau itulah aku mengenal nama tuhan.


Tahun berlalu dengan wajar, saat-saat itu kunikmati selayaknya kehidupan anak-anak kampung, tak ada yang terlalu istimewa mungkin, aku masih saja mengaji setiap hari, sebagaimana yang dilakukan kawan-kawan sebayaku. Saat itu tuhan bagiku mungkin hanya sebuah bayangan besar yang menunggui masjid. Itulah pikiran kanak-kanakku. Aku sering sekali berdo’a kepada tuhan saat aku menginginkan sesuatu, atau tak mampu melakukan sesuatu untuk orang lain. Rasanya hidupku saat itu tanpa sebuah keraguan. Setiap hal yang kulakukan adalah sebuah jalan yang juga ditempuh oleh para pendahuluku.


Sampai pada suatu saat tiba-tiba muncul pertanyaan di benakku : Kenapa kulakukan semua ini? Apa gunanya untukku? Untuk kehidupanku?. Namun saat itu semua hanya berhenti di benakku, tak pernah tergiring lebih jauh lagi.


Aku masih mengaji, kali ini di surau yang berbeda, masih di kampungku. Kampungku yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan luar yang berbeda warna. Saat itu jiwaku sudah ingin keluar dari kepompong pikiran yang mengurungku, namun jalan terang belum kutemukan, setumpuk buku dari abad-abad lampau belum sanggup melontarkanku keluar, menghirup kebebasan berpikir, mencari, dan menjumpai berupa-rupa hal yang ingin kuketahui, mencari tuhan yang kukenal dulu.


Aku mulai berhenti mengaji, karena kehidupan yang baru menarikku untuk menghirup segala kesenagan yang ia tawarkan, aku larut namun tak seberapa lama aku merasa asing, karena sepertinya di kehidupan yang baru itu tuhan tak ada, padahal aku mencarinya. Ia adalah pencarian terbesar dalam hidupku.


Masih saja aku tak mengaji, karena banyak sekali hal-hal yang mulai membuatku mengerti tentang hakikat pencarianku. Aku haus sekali kepada tanda-tanda, sandi-sandi, isyarat-isyarat yang terhampar tak terduga dalam setiap langkah dalam perjalanan hidupku. Kuhabiskan waktuku dalam sepi namun memekakkan telinga dan membisingkan pikiranku. Aku terus belajar untuk melihat semuanya dari sebuah mata baru, pikiran baru, dan hati baru. Kubasuh-basuh segala yang pernah melekat di pikiranku dulu. Walau tak sepenuhnya berhasil, namun setidaknya kali ini kehidupan membentang lebih luas dalam pandanganku.


Tuhan masih samar-samar saja, masih kalah jelas daripada tuhan yang kukenal dulu, tapi tak dapat kupungkiri bahwa dalam bayang ketidakjelasan tuhan, aku merasa ada, merasa hidup. Sampai hari ini aku belum menemukan tuhan yang kukenal dulu, mungkin tuhan itu telah mati, dan sekarang berganti dalam hatiku, tuhan mati dalam hatiku, lalu lahir lagi. Mungkin seperti itu. Aku tak tahu pasti.


Aku masih belum mengaji lagi seperti dulu, membaca firman tuhan yang menjadi penuntun manusia dalam kehidupan fana ini. Lama sekali perpisahan ini, hingga rasanya perjumpaan kecil saja dapat membuat aku tak mampu mengendalikan diri ini. Itu yang kupikirkan.


Tuhan datang lagi, datang lagi. Sulit sekali melepaskannya, atau pergi darinya. Saat yang kucari-cari tak mau pergi sekejap saja dariku, aku merasa segalanya menjadi buruk. Aku hilang lagi dalam keakraban ini. Rindu tak indah lagi, remuk oleh pertemuan-pertemuan tanpa kendali. Kubuat sebuah jarak yang tak logis antara aku dan dia, yang akan membuat langkahku punya ruang untuk kuayunkan lagi menujunya. Itu yang kupikirkan.


Rasanya panjang sekali jalan ini, karena yang kutempuh bukan jalan dalam kehidupan, melainkan kehidupan itu sendirilah jalanku. Ia terbentang tanpa batas yang dapat kuperkirakan. Semua serba tak kumengerti. Tiba-tiba aku rindu kepada tuhanku yang kukenal dulu. Pikiranku yang sekarang rasanya berat sekalu kutanggung. Aku ingin sejenak pulang, pulang ke sebuah perkenalan. Aku ingin indahnya perkenalan lagi, perkenalan tanpa inginku, namun karena inginnya.


Suatu ketika diam-diam kudatangi lagi surau tua tempatku mengaji dulu, tempaku berkenalan dengan nama yang agung. Dari lubang kunci yang sempit kulihat sebuah ruang yang kosong, yang malam nanti akan dipenuhi anak-anak kecil, polos, yang sedang membaca nama agung itu, terus, setiap hari, berdengung-dengung. Anak-anak itu sedang belajar mengenal tuhannya. Yang mungkin saja akan mereka cari nanti, seumur hidupnya.


(Surakarta, 18 Agustus 2010)


Baca Selengkapnya... → Dari Lubang Kunci

Catatan Simpang Jalan (1)

Oleh: Fariha Ilyas



Siang mendidihkan kepala, debu berterbangan meyesakkan nafas, kering, sekering hati seorang bocah yang-karena kepolosannya-bahkan tak menyadari bahwa hatinya telah kering kerontang. Ada sepucuk do’a dari ibu yang terselip di sakunya, lama sudah do’a itu ia simpan sebagai teman dalam setiap langkah kecilnya menyusuri kerasnya kota.


Saat lampu-lampu yang mengirim isyarat berubah warna, berubah pula pikiran bocah yang sehari-hari hanya berkaos kumal dan bersandal beda warna itu. Ada setitik harapan tentang masa depan yang takkan lagi terlalu keras menamparnya, dan menjanjikan sebuah kehidupan yang tak lagi menyingkirkannya dari kehidupan orang-orang.


Namun harapan itu juga cepat sekali berubah, secepat lampu-lampu itu berubah warna, harapan-harapan menjadi timbul tenggelam, tak pernah kokoh seperti gedung-gedung bertingkat yang kian menjamur, menjulang, membuat bocah-bocah sepertinya makin tak nampak. Jika hari ini berlaku baik kepadanya, tak sulit untuk lepas dari rasa lapar yang kadang sudah terlampau parah menyiksa perut mungilnya, membuat sekujur tubuhnya lemas, mencegahnya mengayun langkah gesit menyusuri kota, mengais sisa-sisa makanan yang disantapnya dengan setumpuk rasa terpaksa.


Rasa terpaksa? Mungkin orang yang mempunyai banyak pilihanlah yang harusnya merasa terpaksa jika melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya, namun harus tetap dilakukan. Karena toh sebenarnya ia punya pilihan-pilihan lain untuk melakukan hal yang lain pula. Namun bagi bocah semacam dia, pilihan itu hampir tak ada, rasa terpaksa itu harusnya tak ada, karena demikianlah jalan hidup yang harus ditempuh, apapun rasanya.


Bocah itu tak sendiri rupanya, karena potret bocah yang kering hatinya seperti dia bahkan telah menjadi sebuah kolase raksasa dalam bingkai kehidupan kota. Setiap kali orang menatap bingkai itu, mungkin hanya akan ada satu atau dua tarikan nafas panjang tanda iba, yang kemudian meluncur hilang, menguap bersama hembus nafas yang hanya sejenak tertahan. Itulah kadar kepedulian paling rendah. Sekedar iba.


Matahari mulai condong ke barat, lampu-lampu masih berganti-ganti warna. Bocah itu melangkah pulang, membawa sedikit kepingan logam di saku. Dengan setumpuk letih yang akan di tebusnya dengan berbaring semalaman di gubuk kecil pinggir kali yang bau. Tak ada ruang lega baginya, bahkan untuk tubuhnya yang mungil, apalagi untuk hatinya yang kadangkala lebih besar dari hati orang dewasa.


(Surakarta, 13 Agustus 2010)

Baca Selengkapnya... → Catatan Simpang Jalan (1)

Tentang Kupu-Kupu yang Tak Ingin Terbang

Oleh: Fariha Ilyas




Kenapa kupu-kupu itu tak mau terbang? Padahal ia memiliki sepasang sayap yang sanggup mengantarkannya pergi jauh melihat seisi taman bunga, atau berkejaran dengan sesama kupu-kupu yang riang menari di udara. Apa sebenarnya yang terjadi?


Saat sepasang sayap yang kemilau berlukiskan berupa warna itu hanya diam, rasanya angin enggan berhembus seperti saat kedua sayap itu terkepak lembut namun penuh daya hidup. Jadi sebenarnya selama ini kupu-kupu itu terbang membelah angin yang berhembus melawan, atau justru angin itu berhembus karena kepak sayap kupu-kupu?


Jauh sekali di seberang pulau, di sebuah tempat yang telah lama menjadi tujuan akhir kupu-kupu, ada kejanggalan yang terjadi, bunga-bunga tak merekah, hanya ada kuncup-kuncup beku. Dari mana kupu-kupu tahu hal itu? Jika tak ada angin yang mengbarkan aroma bunga yang tiada? Sedang matahari pun tak pernah membawa warta kepada seluruh penghuni semesta.


Kupu-kupu hanya tak ingin terbang, hanya tak ingin. Itulah jawaban yang kudapat dari seseorang yang mengaku dirinya sebagai pembaca alam. Ia pun berkisah bahwa akan datang sebuah zaman di mana segala sesuatu akan berjalan sendiri tanpa pernah saling terkait satu-sama lain. Jadi sekarang kupu-kupu, musim, angin, matahari, dan bunga-bunga bukanlah sebagai pernak-pernik hari yang padu, melainkan serupa pecahan kaca yang cerai-berai tak beraturan bentuk dan letaknya, yang sendiri dan tak saling memengaruhi.


Lama sekali kupahami semua ini, saat segala yang kuketahui tak mampu menjawabnya, aku mulai melangkah lagi ke suatu tempat, sambil berharap dapat menemui jawaban yang akan meredakan rasa ingin tahuku. Karena aku pun hanya ingin tahu, itu saja.


(Surakarta, 12 Agustus 2010)

Baca Selengkapnya... → Tentang Kupu-Kupu yang Tak Ingin Terbang