Kamis, Oktober 08, 2009

Layar Tancap

Saat saya masih kanak-kanak di kampung saya beberapa kali digelar layar tancap, sesuatu yang jarang kita temui di saat sekarang ini , dan saya masih ingat dulu hampir seluruh warga kampung saya tumpah ruah di lapangan desa tempat layar tancap digelar, saya pun begitu gembira karena jika ada layar tancap maka akan banyak penjual mainan yang berdatangan mengais rezeki. Seingat saya dulu yang menggelar layar tancap adalah perusahaan jamu yang cukup terkenal, kemudian juga perusahaan rokok, dan pernah sekali diadakan secara pribadi oleh warga kampung dalam rangka syukuran khitanan anak lelakinya.

Layar tancap memang merupakan hiburan yang mewah di kampung saya, karena pada saat itu tidak banyak yang memiliki televisi, dan kalaupun ada hanya 2 stasiun TV yang siarannya bisa ditangkap di kampung saya. Maka malam pemutaran film di lapangan terbuka menjadi semacam pesta yang meriah bagi warga kampung saya. Hampir tidak ada yang melewatkannya, semua berkumpul, berbaur, larut dalam kegembiraan hingga tengah malam setelah film ketiga selesai diputar.

Waktu dan segala perubahan yang dibawanya memang tak dapat dihindari, pada pertengahan tahun 90-an di kampung saya mulai banyak yang memiliki video player sendiri, mayoritas dibawa oleh warga kampung yang bekerja di kota atau yang pulang kampung dari perantaun sebagai TKI. Lambat laun layar tancap mulai menghilang.

Baru-baru ini saya melihat berita di televisi bahwa sekarang di Washington DC sedang digandrungi acara nonton film di lapangan terbuka yang disebut screen on the green. Banyak sekali warga kota yang antusias dan berdatangan nonton ke lapangan bersama keluarga mereka, sampai-sampai mereka rela datang beberapa jam sebelum film diputar agar mendapatkan tempat terbaik untuk nonton film yang sebenarnya sama dengan layar tancap yang dulu menjadi primadona di kampumg saya. Yang menjadi pebedaaan adalah dulu layar tancap digandrungi di kampung saya karena keterbatasan, ketertinggalan, dan kami warga kampung tidak pernah berfikir sesuatu selain daripada hiburan gratis yang memang dapat memberi suasana berbeda di bagi kampung kami, bagi keseharian kampung kami. Dan di Washington DC mungkin layar tancap digadrungi bukan karena keterbatasan, karena jelas di Negara maju seperti itu hamper setiap orang sudah memiliki sarana hiburan pribadi, mereka dapat dengan leluasa menggunakannya kapan saja mereka mau. Tapi manusia tentu tidak akan pernah tahan dengan segala sesuatu yang terlalu lurus, stabil, tanpa perubahan. Entah perubahan itu berupa kemajuan atau kemunduran, dan sebenarnya hal itu memang sulit dinilai sama rata mengingat kebudayaan di setiap bangsa yang berbeda-beda.

Mungkin individualisme yang sangat kental dalam sosiologi baratlah yang menjadi sebab layar tancap menjadi primadona, mungkin mereka bosan dengan segala yang mereka jalani sendiri, yang mereka kerjakan sendiri, sesuai dengan kepentingan masing-masing. Mereka butuh semacam penyegaran dengan menghadirkan suasana berbeda, dengan kebersamaan, dengan kesederhanaan. Aneh memang ketika di suatu tempat kesederhanaan itu timbul karena keterbatasan, tapi di tempat lain kesederhanaan menjadi barang mewah karena kelangkaannya. Dan yang paling menarik adalah sekarang warga kampung saya sedang menikmati kehidupan yang jauh individualistis setelah kondisi ekonomi warga kampung mengalami kemajuan. Tidak ada lagi kebersamaan yang dulu dihadirkan oleh layar tancap. Tetapi saya yakin suatu saat nanti warga kampung kami akan merindukan layar tancap, akan rindu kebersamaan dalam kesederhanaan seperti dulu. Perubahan memang hanya tinggal menunggu waktu, dan ternyata semua telah tertata dalam siklus yang sedemikian rapi.
Baca Selengkapnya... → Layar Tancap